Upaya Ishlãh yang Telah Dilakukan Contoh Poso

Upaya ishlãh ini diawali adanya perkembangan positif dalam konteks lokal, yaitu munculnya kesadaran yang tulus dan inisitif perdamaian dari kedua belah pihak untuk kemudian meminta kepada pemerintah pusat Menko Polkam dan Menko Kesra mengupayakan perdamaian di Poso. Lobi ini disambut dan ditindaklanjuti oleh Menko Polkam dan Menko Kesra, Yusuf Kalla. Di samping itu, dalam lingkup nasional, kondisi pemerintahan telah mulai stabil. 212 Lebih dari itu, pada tataran internasional ada tekanan dari pihak Amerika Serikat agar Indonesia segera menghentikan berbagai perang komunal yang dapat dijadikan sebagai tempat latihan dan tempat rekrutmen anggota baru oleh jaringan teroris regional yang digalang kelompok Islam garis keras. Dalam bingkai berbagai konteks yang kondusif seperti diuraikan di atas barulah upaya perdamain dalam pertemuan Malino dapat berlangsung. Sebagai mediator dari pemerintah, Jusuf Kalla selain sebagai pebisnis juga sekaligus seorang politisi Golkar asal Bugis yang telah berhasil membangun sejumlah jaringan di wilayah Sulawesi. la mempunyai jaringan bisnis, sosial, dan politik yang luas dan loyal - termasuk di kalangan PPP- yang telah mengakar lama. Jaringan yang luas dan kuat inilah yang dimanfaatkannya dalam proses perdamaian Malino. Keberanian mengambil risiko yang melekat pada dirinya sebagai seorang pebisnis berpengalaman, juga kemampuan berkomunikasi dengan bahasa sederhana dengan para pemimpin lapangan kedua belah pihak, juga ikut menyumbang suksesnya deklarasi Malino. 212 Hal ini ditandai dengan telah usainya pertarungan elit politik di Jakarta dengan diturunkannya Abdurrachman Wahid sebagai presiden, dan militer telah merasa aman karena terakomodasi dalam kabinet Megawati pada posisi-posisi strategis, serta keinginan presiden Megawati kala itu yang menginginkan NKRI tetap utuh dan hanya militer yang dapat menjamin itu. Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 29-30 Dalam proses perdamaian, delegasi muslim mengusulkan sembilan item perdamaian yang harus dipatuhi kedua belah pihak, sementara delegasi Kristen tidak mengusulkan poin apapun karena mereka memang siap untuk berdamai tanpa syarat. Kesembilan item usulan dari delegasi muslim itu diberi judul “Permufakatan Muslim Poso di Malino” yang berisi pertama, menghentikan upaya provokasi dan penyerangan terhadap umat Islam yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, harta benda dan pengungsian. Kedua, menerima kehadiran aparat keamanan dalam rangka menciptakan suasana yang kondusif. Ketiga, penegakan supremasi hukum. Keempat, menghentikan campur tangan asing dan upaya mendatangkan intervensi negara asing. Kelima, belum saatnya memberlakukan darurat sipil dan tindakan represif. Keenam, Sinode GKST dan Crisis Center segera menghentikan fitnah dan upaya pemutarbalikkan fakta terhadap umat Islam. Ketujuh, mengembalikan hak-hak kaum muslimin termasuk menjalankan ajaran agama dengan baik. Kedelapan, setiap warga negara Republik Indonesia berhak untuk tinggal di mana saja dalam wilayah Republik Indonesia termasuk di bumi Poso. Kesembilan, apabila permufakatan ini dilanggar maka umat Islam siap jihad fisabilillah. 213 Pada 19 Desember 2001, semua delegasi menuju Malino yang berada di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Di kawasan wisata yang berudara dingin dan sejuk, serta berjarak sekitar 80 Km dari Kota Makassar itu berlangsung perundingan delegasi Muslim dan Kristen dalam rangka mewujudkan perdamaian. 214 213 Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 77 214 Mengenai proses perundingan itu secara sekilas, lihat foot note no. 164. Setelah delegasi Islam membacakan “Permufakatan Muslim Poso di Malino”, Yusuf Kalla menanyakan tiga kali kepada delegasi Kristen, namun tidak ada yang menjawab. Kemudian ia berkata: ”Sekarang anda semua sebagai anggota delegasi telah bersepakat merancang suatu upaya untuk mencapai perdamaian. Maka tiba saatnya untuk merancang naskah perdamaian .” Lihat Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 79 Kemudian dibentuk tim perumus untuk merancang naskah perdamaian Deklarasi Malino Untuk Poso. Tim Perumus itu berjumlah tiga orang, Sulaeman Mamar mewakili pihak Islam, Pendeta J. Santo mewakili pihak Kristen dan Hamid Awaludin mewakili pemerintah. Saat itu pula dibentuk Komisi Keamanaan dan Penegakan Hukum yang dipimpin oleh Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjend. Zainal Abidin Ishak, serta Komisi Sosial Ekonomi. Tim perumus itu akhirnya menghasilkan 10 poin kesepakatan yang diberi nama ”Deklarasi Malino Untuk Poso.” Sepuluh poin itu kemudian dibacakan oleh Jusuf Kalla di hadapan seluruh delegasi untuk diberikan persetujuan. Setelah semua delegasi setuju, maka diketoklah palu sidang pertanda kesepakatan telah tercapai. Selanjutnya dilakukan penandatanganan deklarasi yang dilakukan secara berpasang-pasangan antara delegasi Muslim dan Kristen. Masing-masing delegasi berjabatan tangan dan saling peluk sebagai simbol perdamaian. 215 Sepuluh poin Deklarasi Malino itu berisi: a. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. b. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar. c. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. d. Untuk terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan keadaan darurat sipil, serta campur tangan pihak asing. e. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua .pihak dan menegakan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama. 215 Thamrin Amal Tomagola, Poso Titik Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia Bagian Timur, h. 80 f. Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang, dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat. g. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung. h. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asalnya masing-masing. i. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh. j. Menjalankan syariah agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati, dan menaati segala aturan yang telah disetujui, baik dalam bentuk undang-undang, maupun peraturan pemerintah dan ketentuan-ketentuan lainnya.

4. Peluang Ishlãh

Sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan terdahulu, bahwa upaya ishlãh dalam Islam merupakan jalan panjang dalam memperbaiki kondisi masyarakat yang rusak khususnya karena konflik dan permusuhan menuju tujuan akhir yaitu terwujudnya masharakat yang shãlih dan bertakwa. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan demi terciptanya ishlãh secara lestari –yang merupakan isi dari mushãlih alaih- adalah meliputi menjauhi prasangka buruk dan hinaan antar anggota masyarakat khususnya yang pernah berkonflik, menciptakan keadilan dalam masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan, mempererat silaturrahmi dalam rangka rehabilitasi situasi, kemauan keras untuk bertaubat dari segala kesalahan dan kejahatan dengan tidak mengulangi perbuatan itu dan menggantinya dengan perbuatan yang lebih baik ishlãh , dan kesediaan untuk memaafkan pihak lain yang telah berlaku salah dan jahat dengan jika perlu disertai kemauan untuk berbuat kebajikan kepada pihak yang telah melakukan kejahatan itu. Di samping itu perlu diperhatikan pula terpilihnya mediator yang adil dan kuat. Mediator hendaknya tidak hanya pihak yang ikhlas berkeinginan untuk memediasi, tetapi juga harus memiliki kapasitas memadai sebagai mediator yang baik dan handal. Kapasitas memadai ini tercermin dari keadilan sikap, reputasi yang unggul dan terjaga, memiliki kekuatan baik secara politis maupun sosial berupa jaringan yang luas, serta kecermatan dalam bertindak. Tidak lupa, tentunya mediator ini dipilih oleh kedua pihak yang berseteru secara sadar dan tanpa paksaan. Di atas kerangka konsep ishlãh sebagaimana diuraikan di atas lah, bangunan ishlãh bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi masyarakat yang -baru saja- dilanda konflik komunal horisontal dapat terwujud dengan lestari. Dalam konteks ishlãh Poso, Deklarasi Malino Untuk Poso yang berisi sepuluh poin kesepakatan perdamaian antara kedua pihak yang berkonflik, secara garis besar telah memuat poin-poin penting ishlãh dalam perspektif fikih sebagaimana telah dijabarkan di atas. Namun, -dari hasil pengamatan penulis terhadap sepuluh poin tersebut- dirasa masih perlu memberikan penekananpenambahan terhadap poin-poin tertentu yang penulis rasa kurang teraksentuasi dengan mantap. Hal ini perlu mengingat isi perjanjian mushãlih ‘alaih haruslah dapat secara meyakinkan menghentikan permusuhan dan menimbulkanmeningkatkan kebaikankemanfaatan bagi kedua pihak secara kontinu. Secara lebih rinci, penulis mencoba membahas sepuluh poin deklarasi Malino tersebut dalam hubungannya dengan konsep ishlãh dalam perspektif fikih dan membandingkannya dengan lima poin mushãlih ‘alaih dalam ishlãh sebagai berikut.