saja akan tetapi termasuk juga tindakan-tindakan ruhani dan jasmani yang dapat memutus konflik sebagaimana akan diterangkan kemudian.
B. Subyek Ishlãh
Sebagaimana telah diterangkan pula dalam bab II bahwa para subyek yang terlibat dalam ishlãh dapat terdiri dari Tuhan, individu, keluarga, sosial,
dan negara dengan perincian keberhadapan antar subyek sebagaimana dijelaskan terdahulu. Oleh karena itu, secara ringkas para subyek ishlãh
tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel ruang lingkup ishlãh berdasarkan subyek konflik
SUBYEK ISHLÃH VS
INDIVIDU KELUARGA SOSIAL NEGARA TUHAN
INDIVIDU √
√ √
√ √
KELUARGA √
√ √
√ √
SOSIAL √
√ √
√ √
NEGARA √
√ √
√ √
TUHAN √
√ √
√
Perlu digarisbawahi, bahwa selain para subyek di atas masih ada subyek ishlãh,
yang secara langsung atau tidak, sangat berperan dalam mewujudkan ishlãh
antara pihak yang berkonflik. Subyek tersebut adalah mediator yang berperan menengahi dan menjadi perantara di antara para subyek ishlãh dalam
mewujudkan ishlãh. Mediator ini bisa hadir dalam kapasitasnya sebagai hakim dalam kasus hukum pidana atau perdata, hakam dalam kasus konflik rumah
tangga, dan arbiter dalam kasus konflik sosial, individu, maupun negara. Hal ini sebagaimana telah diterangkan pula dalam pembahasan ishlãh dalam
konteks sejarah. Memang kehadiran mediator ini tidak selalu diperlukan
dalam setiap konflik, karena memang bisa saja konflik diselesaikan oleh kedua pihak yang bersengketa saja tanpa memerlukan bantuan mediator dalam
berbagai kapasitasnya tersebut. Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa subyek ishlãh pada dasarnya
meliputi dua pihak yang bersengketa sebagai inti dari subyek pelaksana ishlãh. Adapun mediator, meskipun berperan sangat penting, namun karena
keberadaannya tidak selalu dibutuhkan, maka kedudukannya hanya sebagai
subyek pelengkap atau penyempurna terlaksananya ishlãh.
C. Rukum Ishlãh
Setiap akan melangsungkan suatu akad, maka harus diperhatikan rukun dan syaratnya. Rukun dan syarat merupakan instrumen menentukan sahnya
pelaksanaan suatu akad termasuk saat akan melakukan ishlãh. Jika dalam suatu akad tertinggal salah satu rukunnya, maka akad tersebut akan menjadi
tidak sah. Mengenai rukun ishlãh, terjadi perbedaan pendapat. Madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ishlãh itu hanya satu, yaitu adanya
sh ĩghah lafal ijab dan kabul saja.
157
Sayyid Sabiq juga sependapat dengan ulama Hanafiyah, bahwa menurutnya rukun ishlãh itu hanyalah ijab dan kabul
saja dengan lafal apa saja yang dapat menimbulkan perdamaian.
158
Sedangkan Mazhab Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah merupakan kelompok
Jumhur berpendapat bahwa, rukun ishlãh itu terdiri dari tiga yaitu: Sh ĩghah,
al-ãqidain , dan Muhal.
159
Yang dimaksud dengan Sh ĩghah, yakni ijab dan qabul yang dilakukan
oleh dua orang dua belah pihak yang bermaksud untuk melakukan ishlãh.
157
Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syar ĩ’ah al-Islãmiyah, Beirut: Dar al-Syamiyah,
1996, h. 30
158
Adapun lafazhnya seperti ucapan satu pihak “Aku berdamai denganmu”, “Aku bayar hutangku padamu yang lima puluh dengan seratus”
, lalu pihak lain berkata “Telah aku terima”, dapat pula dengan kalimat-kalimat lain yang serupa dengan itu, lihat Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah,
terj., H. Kamaludin A. Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah, h. 190
159
Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syar ĩ’ah al-Islãmiyyah, h. 23
Misalnya satu pihak berkata: “Aku berdamai denganmu tentang masalah ini”
. Sementara yang satu menerima dengan ucapan “aku terima atau aku rela”
. Apabila Sh ĩghah yang sederhana ini diucapkan maka telah terjadi ishlãh
antara dua orang para pihak yang sedang bersengketa tersebut.
160
Adapun yang dimaksud dengan al-ãqidain dua orang yang berakad yang merupakan subyek ishlãh dapat juga disebut mushãlih, Sayid Sabiq
menyatakan bahwa mushãlih adalah orang yang tindakannya dinyatakan sah secara hukum. Maka tidak sah apabila orang yang akan melakukan
perdamaian itu orang gila atau anak kecil. Namun, jika ishlãh itu dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayyiz, hal seperti itu diperbolehkan.
161
Para mushãlih
dapat terdiri atas individu atau kelompok sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab subyek ishlãh di atas.
Adapun berkaitan dengan muhal meliputi mushãlih ‘anh dan mushãlih ‘alaih,
162
fuqaha menjelaskan bahwa berkaitan dengan mushãlih anh, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang tidak berlakunya ishlãh
dalam tindak pidana yang melanggar hak Allah. Untuk itu, menjadi tidak sah apabila ishlãh dilakukan dalam perkara hud
ũd seperti had zina, sariqah, syurb al-khamr
, qadzaf dan lainnya, karena untuk hukuman hãd sudah ditentukan batas-batas maupun kadar hukumannya oleh nash. Sedangkan dalam kasus
qishash diyat yang berkaitan dengan hak hamba, disepakati merupakan ranah
untuk melakukan ishlãh.
163
Begitu pula ishlãh berlaku untuk hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalat duniawi. Sebagaimana telah dijelaskan
dalam pembahasan ishlãh dalan jinayah, posisi ishlãh dalam mashlahah, dan
160
Naziyah Hammad, Aqd al-Shulh fi al-Syar ĩ’ah al-Islãmiyyah, h. 23
161
Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, h. 191
162
Syarat mushalih ‘anhu adalah pertama, bahwa ia dapat berbentuk harta yang mempunyai nilai dan mempunyai manfaat. kedua, bahwa ia termasuk hak manusia yang boleh diganti
sekalipun penggantian itu berupa harta, seperti kasus qishash. Adapun mushalih ‘alaih adalah hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain untuk memutus perselisihan. Lihat Sayid
Sabiq, Fiqh al- Sunnah, h. 189
163
Ibn Qudamah al- Maqdisi, al- Mughni, Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1994, juz ke- 4, jil. ke-7, h. 30
obyek ishlãh. Mengenai mushãlih ‘alaih akan di bahas lebih rinci dalam sub bab berikutnya, yaitu syarat ishlãh.
Apabila ishlãh telah dilangsungkan, maka ia menjadi akad yang mesti dipenuhi oleh kedua belah pihak. Salah satu dari mereka tidak boleh atau tidak
dibenarkan mengundurkan diri dengan jalan mem-fasakh-nya. Tanpa terlebih dahulu memberitahu kepada yang lainnya, serta harus ada kerelaan dari yang
bersangkutan. Pembatalan tidak boleh dilangsungkan sepihak.
164
D. Syarat Ishlãh