Ishlãh Pada Masa Pra Islam

C. Ishlãh dalam Sejarah

1. Ishlãh Pada Masa Pra Islam

Ishlãh dalam arti perjanjian antar dua kelompok yang bertikai untuk mengakhiri pertikaian sebenarnya telah dikenal jauh pada masa pra Islam. Oleh karena itu, Majid Khadduri menyebutnya sebagai institusi yang sangat tua lagi antik. Institusi ini bertujuan untuk menyelesaikan permusuhan dengan cara damai, untuk merekonsiliasi antar pihak, dengan berusaha mendamaikannya dengan mengadakan pernyataan persetujuan yang bersifat kompromistis, tanpa adanya tekanan dari salah satu pihak yang lebih kuat terhadap lawannya yang lebih lemah. 54 Dikatakan tua karena institusi ini telah ada dan diterapkan prosedur- prosedurnya sejak sekitar millenium keempat sebelum masehi atau tepatnya tahun 3100 SM., yaitu perjanjian damai antara Ennatum, raja Lagash, salah satu negara kota terbesar di Mesopotamia dengan masyarakat Umma, satu negara kota lainnya di Mesopotamia. Perjanjian damai itu dapat menyelesaikan perselisihan yang telah berlangsung lama. 55 Begitu juga yang terjadi di Mesir dan daerah sekitarnya. Pada masa Arab pra Islam, para ketua suku dan ketua adat dukun, biasa memerankan diri sebagai penengah pertikaian dalam sukunya. Salah satu yang terkenal adalah para tetua dari Bani Tamim yang mempunyai reputasi cukup baik dalam menyelesaikan pertikaian antar suku. Orang- orang dengan reputasi tinggi inilah yang biasa diminta atau berperan sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar pihak. Mereka biasa memanfaatkan momen budaya tahunan seperti perayaan pasar Ukãz, di mana bangsa Arab dari berbagai suku berkumpul untuk bergembira dalam 54 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, Clark, New Jersey: The Lawbook Exchange Ltd., 2006, h. 231. Dalam karyanya tersebut, ia menggunakan istilah arbitrase dalam menyelesaikan berbagai konflik. Maka dalam konteks ini, arbiter adalah mediator dari para pihak yang berkonflik. 55 Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 231 festival seni, budaya, dan ekonomi. Atau juga dengan memanfaatkan momen bulan haram di mana perang dilarang selama masa itu. Salah satu kasus peperangan antar suku yang dapat didamaikan oleh para mediator handal ini adalah perang antara suku ‘Abs dan suku Dhubyan yang berhasil dimediasi oleh al-Harits ibn ‘Auf dan Kharija. Begitu juga Rasulullah sebelum kenabian, menjadi mediator dan arbiter dalam menyelesaikan konflik antar pemimpin Arab dalam hal siapa yang paling berhak meletakkan hajar aswad di tempatnya setelah proses rehabilitasi Ka’bah selesai. 56 Bagi mereka, meletakkan kembali hajar aswad di tempatnya adalah tugas terakhir dan paling prestisius. Oleh karena itu wajar kalau kemudian mereka saling berebut untuk menempatkannya kembali. Keberhasilan suatu suku mengembalikan hajar aswad kembali di tempatnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi suku tersebut. Di sinilah letak krusialnya permasalahan peletakan kembali hajar aswad. Dengan kebijaksanaannya, Muhammad SAW. membentangkan selembar kain dan meletakkan hajar aswad di tengah-tengah kain, kemudian mempersilahkan tiap kepala suku memegang ujung kain dan mengangkatnya secara bersama-sama. 57

2. Ishlãh Pada Masa Islam