Silaturrahmi ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan dalam rangka memperbaiki keadaan. Allah memberikan perumpamaan
menarik sebagaiman difirmankan dalam QS. Al-Baqarah 2: 220
☺ ⌧
☺ ⌧
☺ ⌧
Artinya: “Di dunia dan akhirat. Dan mereka akan bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim. Katakanlah: mengatur baik-baik
keadaan mereka adalah lebih baik. Jika kamu bercampur gaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu. Dan
Allah mengetahui siapa yang merusak dan siapa yang suka memperbaiki. Sekiranya Allah menghendaki niscaya
diberatiNya kamu. Sesungguhnya Allah maha gagah lagi maha bijaksana.”
Ayat ini turun berkaitan dengan “ketakutan” para sahabat terhadap harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaan mereka akan
termakan oleh mereka. Sehingga memelihara anak yatim menjadi tidak menyenangkan karena terlalu banyak ancaman jika ada harta anak
yatim tersebut yang bercampur dan termakan, seperti dicap sebagai pendusta agama atau dianggap seperti memakan bara api. Maka ada
sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang bagaimana sebaiknya memelihara mereka. Maka turunlah ayat tersebut.
172
172
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I-II, h. 190 Lihat juga A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-qur’an,
h. 99
Meskipun ayat di atas turun ketika masyarakat Islam dalam kondisi damai, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa
meningkatnya jumlah anak yatim itu disebabkan karena banyaknya sahabat yang meninggal dalam berbagai peperangan sehingga
meninggalkan anak-anak yatim yang terlantar dan tidak terurus fisik, mental, pendidikan, termasuk hartanya.
Dalam konteks konflik sosial di Indonesia, dengan berjatuhannya ratusan bahkan ribuan korban dari kalangan dewasa dan orang tua,
tentu telah meninggalkan banyak sekali anak yatim yang butuh perhatian, rehabilitasi, dan pemberdayaan. Rehabilitasi dan
pemberdayaan dalam hal ini tidak hanya secara fisik berkaitan dengan ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain, tapi juga dalam hal
psikis. Sebagaimana diungkapkan oleh Tahmidy lasahido dkk. bahwa kondisi traumatis pasca kerusuhan masih dialami oleh masyarakat
termasuk anak-anak. Gambaran suramnya kondisi psikologis masyarakat ini dapat dilukiskan, bahwa suatu ketika diselenggarakan
lomba melukis anak-anak. Sebagian anak menggambar gunung berwarna merah. Ketika ditanya kenapa gunungnya berwarna merah,
maka dijawab bahwa gunungnya terbakar. Ada juga anak yang menggambar beberapa rumah, sebagian rumah diwarnai merah dan
sebagian diwarnai putih. ”Yang merah rumah orang Kristen, yang putih rumah orang Islam, kalau ada perang lagi biar gampang
ketahuan.”
173
Eratnya tali silaturahmi antar masyarakat akan dapat secara langsung menumbuhkan empati terhadap berbagai ketimpangan sosial
dalam masyarakat yang selanjutnya menggerakkan anggota masyarakat untuk melakukan rehabilitasi yang perlu dilakukan baik
173
Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, h. 85-87.
fisik maupun mental bagi seluruh lapisan masyarakat, Karena luka fisik dan mental ini dialami oleh seluruh lapisan masyarakat dari kedua
pihak yang bertikai.
d. Taubat Nashũha
Tentang Taubat Nash ũhaini, sebagaimana firman Allah SWT.
dalam QS. al-Tahrim 66: 8
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan
Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai.”
Taubat Nash ũhabiasa diartikan sebagai taubat yang semurni-
murninya sebagai pintu untuk masuk ke dalam surga, sekaligus –secara fitrah- merupakan sesuatu yang menjadi kecenderungan hamba.
Nash ũhamerupakan bentuk mubãlaghah dari kata nashaha yang
berarti kejernihankemurnian sesuatu dari kepalsuan dan noda-noda. Maka Nash
ũha dalam taubat, ibadah, dan musyawarah berarti memurnikannya dari semua kepalsuan, kecurangan, dan kerusakan,
kemudian menempatkannya pada sisi yang paling sempurna. Nashh adalah lawan dari ghisysy tipuan.
174
Pengertian ini didasarkan atas riwayat Umar ibn Khathab dan Ubay ibn Kaab yang berkata Taubat Nash
ũha ialah bertaubat dari dosa kemudian tidak mengulanginya lagi, seperti tidak kembalinya air
susu ke teteknya. Di samping itu, Hasan al-Bashri berkata, Hamba
menyesali apa yang telah dilakukannya, dan bertekad bulat untuk tidak mengulanginya lagi.
Muhammad ibn Kaab al-Qurazhi berkata, Taubat Nash
ũhameliputi empat perkara: beristighfar dengan lisan, menghentikan tindakan dengan badan, bertekad dengan hati untuk
tidak mengulanginya, dan menjauhi teman yang buruk.
175
Keinginan kuat untuk bertaubat ini dilukiskan Allah dalam QS. Ali Imran 3: 135
“Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon
ampun terhadap dosa-dosa mereka. Siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain Allah? mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
174
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani,
terj. Dari Madarij al-Salikin: Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, Jakarta: Robbani Press, 1998, h. 438
175
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani,
h. 438-439. Menurutnya taubat meliputi tiga perkara: Pertama, keumumannya meliputi dan mencakup semua dosa, dengan tidak ada satu pun dosa yang tidak dicakup oleh taubat itu.
Kedua, membulatkan tekad, kemauan, dan kesungguhan secara menyeluruh, dengan tidak ada
ragu-ragu lagi, tidak berandai-andai, dan tidak menunda-nunda. Bahkan seluruh kehendak dan kemauannya secara total dilaksanakan dengan serta-merta. Ketiga, memurnikan dan
membersihkannya dari kotoran dan cacat yang menodai keikhlasannya, menimbulkan rasa takut kepada Allah, senantiasa mengharapkan rahmat-Nya, dan takut akan adzab-Nya. Tidak seperti
orang yang bertaubat demi untuk memelihara pangkat dan kehormatannya, kedudukan dan kepemimpinannya, untuk menjaga keadaannya, untuk menjaga kekuatan dan hartanya, atau untuk
menarik perhatian orang lain, atau untuk melepaskan diri dari celaan mereka, atau agar tidak dikuasai oleh orang-orang bodoh, atau untuk meraih keinginan duniawinya, atau karena bangkrut
dan lemah, dan lain-lain alasan yang menodai ketulusan. Jadi lingkup yang pertama berhubungan dengan apa yang ditaubati, dan yang kedua berhubungan dengan dzat yang kepada-Nya ia
bertaubat, sedang yang ketiga berhubungan dengan pribadi orang yang bertaubat itu sendiri. Lihat juga al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, Jakarta: Dar al-Ulum Press, 1993,
h. 55-59. Ia menyatakan bahwa lingkup taubat mencakup tiga segi, yaitu pengetahuan, kondisi kejiwaan, dan perbuatan.