B. Hukum ishlãh
Abu al-Walid ibn Rasy menyatakan bahwa apabila Ishlãh dilakukan antara dua orang dalam masalah harta benda, maka hukumnya adalah sunnah
untuk menyelesaikannya atau mendamaikannya. Iishlãh itu dilakukan karena adanya kesepakatan kedua belah pihak yang sedang bersengketa, akan tetapi
ishlãh bukanlah suatu keharusan, melainkan ishlãh itu dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Senada dengan Abu al-Walid, al-Khasyi dan Ibn Irfah
berpendapat sama bahwa ishlãh itu hukumnya adalah mandub. Ishlãh wajib dilakukan apabila berkaitan dengan mashlahat umat.
76
Dengan kata lain, Hukum pelaksanaan ishlãh adalah kondisional tergantung pada tingkat urgensi penerapannya sebagaimana keterangan di atas.
Atau dalam konteks teori maqãshid al-syar ĩ’ah, tingkat urgensi penerapan
ishlãh disesuaikan dengan tingkat krusial konflik yang hendak di ishlãhkan. Jika konflik sudah mencapai taraf darurat atau perihal yang dikonflikkan
merupakan hal yang sangat esensial dalam masyarakat sehingga terjadinya konflik dapat mencapai taraf maksimal maka hukum penerapan ishlãh menjadi
wajib. Jika konflik masih dalam taraf sedang atau perihal yang dipersilisihkan merupakan hal yang kurang esensial dalam masyarakat sehingga
dimungkinkan tidak terjadi konflik dan perpecahan, maka hukum penerapan ishlãh menjadi mandub. Jika perihal yang diperselisihkan merupakan hal yang
remeh-temeh, sehingga dapat diselesaikan dengan sendirinya dengan cukup
76
Naziyah Hammad, Aqdu al-Shulh fi al-Syari’ah al-Islamiyah, h. 17
adanya saling pengertian antar pihak, maka hukum penerapan ishlãh hanya sebatas mubah saja.
Selanjutnya, perlu diperhatikan rambu yang harus diperhatikan, bahwa para ulama memposisikan ishlãh pada dua posisi diametral. Pertama, ishlãh
yang adil, yaitu ishlãh yang dibolehkan dan akan mendapat ridha Allah dan juga oleh pihak yang sedang bersengketa, karena proses ishlãh dilakukan dan
didasari oleh adanya rasa keadilan, kearifan, serta keinginan yang tulus dari kedua belah pihak. ishlãh seperti inilah yang dimaksud oleh firman Allah QS.
Al-Hujurat 49: 9. Kedua, ishlãh yang ditolak mardud, yaitu ishlãh yang menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halal. Atau ishlãh dalam kasus memakan harta riba, juga pada kasus meninggalkan yang wajib sehingga tidak
dikerjakan, juga ishlãh yang dilakukan oleh orang yang lebih kuat terhadap orang yang lemah secara zhalim yang mengakibatkan ishlãh dilakukan secara
terpaksa dan tidak didasarkan pada keikhlasan tiap pihak.
77
Menurut al-Sarkhasi, ishlãh dengan maksud mengharamkan yang halal, seperti suami yang membolehkan salah seorang istrinya untuk digauli
tetangganya adalah tertolak. Adapun contoh ishlãh yang menghalalkan yang haram adalah seperti membolehkan minum khamr atau memakan daging babi.
Di samping itu, menurut Wahbah al-Zuhaily, Syara’ menghendaki ishlãh untuk sesuatu yang umum, seperti firman Allah “wa al-shulhu khair” atau pun
Hadis nabi
مﺮ وا ﺎ اﺮ ا ﺎ ا ﻦ ﺴ ا ﻦ ﺰﺋﺎﺟ
ا
” ishlãhshulh itu boleh bagi orang Islam, kecuali ishlãh yang menghalalkan
yang haram atau mengharamkan yang halal” Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Hakim dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah.
78
77
Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Juz ke-2, h. 177
78
Al-Sarkhasi, al-Mabsut, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993, h. 134. Sunnah menunjukkan bahwa ishlah adalah untuk menggugurkan qishas. Sebagaimana hadits nabi yang
lain “Barang siapa membunuh dengan sengaja, maka terserah kepada wali yang terbunuh, melakukan qishãsh atau mengambil diyat dengan 30 hiqqah, 30 jadza’ah, dan 40 hilfah. Dan apa
C. Signifikansi ishlãh