dan penting, yaitu mencegah terjadinya kerusakan moral dan kekacauan keturunan antara anggota masyarakat.
121
Kedua, bergabungnya hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak hamba lebih dominan, misalnya hukuman qishãsh. Hak Allah dalam hal
ini terlihat pada hal menggangu kepentingan umum. Pembunuhan, bila dibiarkan akan membuat masyarakat tidak tenteram dan setiap orang akan
merasa terancam jiwanya. Sedangkan yang menyangkut hak perorangan dalam hal ini adalah bahwa di samping jiwa si terbunuh telah melayang
oleh kejahatan ini, juga peristiwa pembunuhan itu telah menimbulkan kegoncangan dalam diri keluarganya. Oleh sebab itu, untuk
menghindarkan permusuhan dan balas dendam dari pihak keluarga yang telah digoncangkan itu, maka disyari’atkan hukuman yang setimpal, yaitu
hutang nyawa dibayar dengan nyawa bagi pembunuhan yang disengaja. Hukuman ini adalah hak perorangan. Artinya, keluarga korban
berhak untuk menuntut qishãsh atau memaafkannya, sehingga gugurlah hukuman qishãsh, baik kemudian keluarga korban menuntut diyat atau
tidak. Namun, oleh karena kejahatan pembunuhan itu juga menyangkut kepentingan umum, maka meskipun hukuman qishãsh bisa dimaafkan
oleh keluarga korban, hakim atau penguasa harus tetap bertindak mengenakan hukuman ta’z
ĩr atas diri pembunuh. Dengan demikian, hukum ta’z
ĩr ini merupakan hak umum.
122
Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan hukuman dalam jar ĩmah
qishãsh-diyat maupun ta’z ĩr.
a. Hukuman Qishãsh-Diyat
Qishãsh adalah hukuman yang dijatuhkan atas pembuat jar ĩmah
setimpal dengan perbuatannya, dibunuh kalau ia membunuh, dianiaya
121
Abd al-Qadir Audah., al-Tasyr ĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 206, Lihat pula, Ali Hasbalah,
Ush ũl al-Tasyrĩ’ al-Islãmĩ, h. 294.
122
Lihat Ali Hasballah, Ush ũl al-Tasyrĩ’ al-Islãmĩ, h. 295.
Sumber hukum dari qishãsh ini adalah firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah 2: 178-179, diperkuat pula dengan Hadis Nabi:
لﻮﺘ ا و ﻰﺿﺮ نا ا ﻪ دﻮ ﻮﻬﻓ ﺘ ﺎ ﺆ ﻂ ﺘ ا ﻦ
Artinya: “Barang siapa yang menyerang seorang mukmin dengan pembunuhan, maka dia harus dijatuhi qishãshh karena
pembunuhannya, kecuali kalau wali keluarga korban merelakannya”. HR. Bukhari dan Muslim
124
Dalam Hadis yang lain, Rasulullah bersabda:
ﻦ ﺮ ﺧ ﻦ ﻪ هﺎﻓ ﺘ ﻪ ﻦ :
ا وا دﻮ ﺎﻓ اﻮ ا نا اﻮ ا ناو صﺎ
ﺔ ﺪ ا يا ﺎﻓ
Artinya: “Barang siapa mempunyai keluarga terbunuh, maka keluarganya ada di antara dua pilihan, kalau suka maka
mereka mengambil qisas, dan kalau suka maka mereka menerima diyat”. HR. al-Daruquthni
125
Islam memandang bahwa hukuman qishãsh adalah hukuman yang terbaik, karena hukuman tersebut mencerminkan keadilan, di
mana pelaku diberi balasan sesuai dengan perbuatannya dalam rangka terwujudnya jaminan keamanan dan ketertiban.
Korban atau walinya diberi wewenang untuk menuntut qishãsh atas pelaku atau mengampuni, baik dengan ganti rugi diyat atau tidak.
Tetapi, meskipun qishãsh dan diyat dapat gugur, penguasa masih mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman ta’z
ĩr yang sesuai.
126
123
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr ĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 663. Lihat juga Abdurrahman I
Doi, Shariah the Islamic Law, Terj. Hermaya dengan judul “Syari’ah dan Hukum Islam”, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, h. 24. Lihat juga H.M.K. Bakry, Kitab Jinayat: Hukum Pidana dalam Islam,
Solo: AB. Siti Syamsiah, 1958, h. 19. Halimah, Hukum Pidana Syaria’t Islam Menurut Ahlus Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, h. 275
124
Muhammad ibn Abdullah Abu Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak ‘al ãal-Shah ĩhain,
Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, 1990, cet. Ke-1, juz ke-1, h. 553
125
Ali ibn Umar Abu al-Hasan al-Daru Quthni, Sunan al-Dãruquthni, Beirut: Dar al- Ma’rifah, 1966, Juz ke-3, h. 95
126
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, Cet. Ke-5, h. 282
Pada dasarnya, korban atau walinya tidak mempunyai wewenang untuk memberikan pengampunan dalam soal-soal kepidanaan. Akan
tetapi, untuk jar ĩmah qishãsh-diyat, ia diberi hak untuk memberikan
pengampunan terhadap pelaku sebagai pengecualian karena jar ĩmah
tersebut sangat erat hubungannya dengan pribadi korban. Pemakaian hak tersebut tidak dikhawatirkan mempengaruhi keamanan dan
ketenteraman masyarakat, karena meskipun jar ĩmah pembunuhan
sengaja dan penganiayaan sengaja adalah sangat berbahaya bagi keselamatan perseorangan, namun tidak sama bahayanya untuk
ketenteraman masyarakat. pembunuhan atau penganiayaan tidak dikerjakan kecuali atas
dorongan perorangan. Sedangkan pencuri ditakuti oleh setiap orang, karena yang dicuri ialah harta di manapun ia berada, bukan harta
seseorang tertentu saja. Boleh jadi, pemakaian hak pengampunan tersebut akan mempengaruhi ketenteraman, kalau sekiranya korban
berlebih-lebihan dalam memakai hak tersebut. Akan tetapi hal ini jauh kemungkinannya, karena eratnya hubungan antara jar
ĩmah tersebut dengan pribadi pelaku cukup menimbulkan sikap berhati-hati, sebab
sudah menjadi sikap manusia untuk senang melakukan pembalasan terhadap orang yang berbuat jahat terhadap dirinya dari pada
memberikan pengampunan. Jadi, eratnya hubungan jar ĩmah dengan
diri pelaku cukup menjamin tidak dilebihkannya pemakaian hak mengampuni sehingga hal ini tidak akan mengganggu keamanan
masyarakat.
127
Pada dasarnya, hukuman dijatuhkan untuk memberantas jar ĩmah,
akan tetapi tidak selalu dapat menghalangi terjadinya jar ĩmah.
Sedangkan pengampunan sering dapat menghalangi terjadinya jar ĩmah
127
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 282
dalam jangka panjang, sebab pengampunan diberikan sebelum vonis dijatuhkan, setelah pelaku dinyatakan bersalah di muka hakim,
kemudian terjadi perdamaian yang didasari oleh kebersihan hati nurani dari unsur-unsur pembuat jar
ĩmah. Jadi, pengampunan mengisi tugas hukuman dan mewujudkan akibat yang oleh hukuman itu sendiri tidak
bisa diwujudkan. Tidak selamanya hukuman qishãsh dapat dijalankan, meskipun
tidak ada pengampunan dari korban, karena pelaksanaan hukuman tersebut tergantung kepada pemenuhan syarat-syaratnya pelaku mati
misalnya. Dalam hal ini, maka hukuman diyat itulah yang dijatuhkan, sebab penetapan hukuman diyat tidak tergantung kepada permintaan
perseorangan. Hukuman ta’z ĩr baru dapat dijatuhkan, apabila dapat
terhindar sama sekali dari hukuman qishãsh. Qishãsh merupakan hukuman pokok bagi jar
ĩmah pembunuhan dan penganiayaan sengaja, sedangkan diyat dan ta’z
ĩr menjadi hukuman pengganti dan atau hukuman tambahan.
128
Diyat adalah hukuman pokok bagi pembunuhan dan penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja.
129
Ketentuan ini bersumber pada firman Allah:
⌧ ☺
☺
128
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr ĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 667.
129
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr ĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 668.
Artinya: “Tidak boleh bagi orang mukmin untuk membunuh orang mukmin, kecuai karena tidak sengaja. Barang siapa
membunuh orang mukmin karena tidak sengaja, maka atasnya membebaskan seorang hamba mukmin dan diyat
yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali kalau mereka memberikannya”. QS. al-Nisa, 4: 92.
dan sabda Nabi:
ا ﻦ ةءﺎ ﺮ او ﻰ او طﻮﺴ ا ﺘ ﺄﻄﺧ اﺪ ﺘ ﻓ نا ا
Artinya: “Ingatlah bahwa pada orang yang terbunuh karena sengaja keliru semi sengaja, yaitu korban pecut dan tongkat serta
batu adalah seratus onta”. HR. Ibn Majah.
130
Meskipun bersifat hukuman, namun diyat merupakan harta yang diberikan kepada korban, bukan kepada perbendaharaan negara. Dalam
hal ini, diyat lebih sebagai ganti rugi, apalagi besarnya bisa berbeda- beda menurut perbedaan kerugian material yang terjadi dan menurut
perbedaan kesengajaan atau tidaknya terhadap jar ĩmah.
Mungkin lebih tepat bila diyat dikatakan sebagai campuran dari hukuman dan ganti rugi secara bersama-sama. Dikatakan hukuman
karena diyat merupakan balasan terhadap jar ĩmah, karena jika si
korban memaafkan diyat tersebut, maka pelaku bisa dijatuhi hukuman ta’z
ĩr. Sekiranya bukan hukuman, tentu tidak perlu diganti dengan hukuman lain. Dikatakan ganti rugi, karena diyat diterima oleh korban
seluruhnya, dan apabila ia merelakannya maka diyat bisa digugurkan.
131
Meskipun diyat dapat berbeda-beda menurut perbedaan antara semi sengaja dengan tidak sengaja, namun untuk tiap-tiap jar
ĩmah adalah sama, baik untuk orang dewasa atau anak di bawah umur, baik
untuk golongan bangsawan atau orang biasa. Sementara bagi perempuan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Yang
130
Muhammad ibn Yazid Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunnah Ibn Majah, Beirut: Dar al- Fikr, tth., juz ke-2, h. 877
131
Abd al-Qadir Audah. al-Tasyr ĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 669
sudah disepakati ialah dalam kasus pembunuhan, diyat perempuan yang terbunuh adalah separuh dari diyat laki-laki.
Akan tetapi, dalam kasus penganiayaan, menurut Imam Abu Hanifah dan Syafi’i, untuk perempuan dikenakan separuh dari diyat
seorang laki-laki dalam semua keadaan. Menurut Imam Malik dan Ahmad, perempuan disamakan dengan laki-laki sampai sepertiga diyat.
Kalau diyat melebihi sepertiga, maka dikenakan separuh dari laki-laki. Sepuluh jari kaki tangan dikenakan diyat lengkap yaitu seratus onta,
yang berarti untuk tiap jari dikenakan sepuluh onta. Maka, jika perempuan terpotong tiga jarinya, maka ia mendapat diyat 30 onta
sama dengan diyat untuk jari lelaki. Akan tetapi kalau perempuan itu terpotong jarinya delapan, maka ia mendapat 40 onta, atau terpotong
empat jarinya, ia mendapat dua puluh onta, karena empat jari juga sudah termasuk melebihi dari sepertiga.
Syari’at Islam mengadakan pemisahan antara hukuman bagi pembunuhan sengaja Qatl al-Amd dengan hukuman pembunuhan
semi sengaja Syibh al-Amd. Untuk pelaku pembunuhan sengaja dikenakan hukuman qishãsh, sedangkan untuk pelaku pembunuhan
semi sengaja dikenakan hukuman diyat. Perbedaan ini disebabkan karena pada pembunuhan sengaja pelaku meniatkan matinya korban,
sedangkan pembunuhan semi sengaja, pelaku tidak meniatkan demikian. Alasan lain ialah bahwa hukuman qishãsh menghendaki
adanya keseimbangan antara yang diperbuat oleh pelaku dengan yang diperbuat terhadapnya, sedang keseimbangan itu tidak ada, sebab
pelaku sendiri pada pembunuhan semi sengaja tidak meniatkan matinya korban.
Berkaitan dengan penanggung diyat, pada umumnya fuqaha sepakat untuk mengikutsertakan keluarga pelaku yang disebut aqilah
dalam pembayaran diyat. Yang dimaksud keluarga ialah sanak saudaranya yang datang dari pihak ayah ‘ashabah. Keluarga yang
jauh diikutsertakan karena mereka juga bisa menjadi ahli waris cadangan jika keluarga dekat tidak ada. Keluarga dalam hal ini tidak
termasuk saudara-saudara seibu dan keturunannya, suami atau istri, dan keluarga zawi al-arham seperti cucu perempuan atau cucu laki-
laki dari anak perempuan, yakni keluarga yang tidak menerima warisan.
132
Diikutsertakannya keluarga dalam menanggung diyat, berarti orang-orang yang tidak melakukan kejahatan ikut menanggung akibat
kejahatan pelaku. Hal ini adalah suatu pengecualian dari aturan pokok syari’at yang umum, yaitu bahwa orang lain tidak dapat menanggung
akibat perbuatan orang lain. Sebagaimana firman Allah “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
133
Akan tetapi, keadaan pelaku dan korban bersama-sama menghendaki adanya pengecualian tersebut, bahkan harus diwujudkan
untuk menjamin rasa keadilan dan persamaan, dan untuk menjamin sepenuhnya hak-hak korban. Ada beberapa alasan yang membenarkan
adanya pengecualian tersebut.
134
Pertama, jika hanya memegangi prinsip “seseorang hanya menanggung dosanya sendiri”, maka
hukuman, khususnya diyat hanya dapat dikenakan terhadap pelaku jar
ĩmah yang kaya saja sedangkan jumlah mereka lebih sedikit. Diyat tidak dapat dikenakan terhadap pelaku jar
ĩmah yang miskin, sedangkan jumlah mereka lebih besar. Dengan kata lain, korban atau
walinya akan mendapat diyat yang lengkap apabila pelaku adalah
132
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr ĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 668. Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, h. 287
133
Lihat QS. Al-Fathir 35: 18
134
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 289-291
orang kaya, atau hanya akan mendapat sebagian diyat, jika pelakunya adalah orang yang sedang-sedang saja kekayaannya, atau apabila
pelaku miskin, dan memang demikianlah keadaan kebanyakan pelaku jar
ĩmah, maka korban atau walinya tidak akan memperoleh diyat sama sekali. Maka hilanglah keadilan antara pelaku dan korban atau
walinya. Kedua, meskipun diyat merupakan hukuman, namun ia menjadi
hak kebendaan bagi korban atau walinya. Kalau pelaku saja yang membayarnya, maka kebanyakan korban atau walinya tidak akan dapat
menerimanya, karena biasanya kekayaan perseorangan lebih kecil dari pada jumlah diyat, yaitu 100 onta. Jadi meninggalkan aturan umum
dapat menjamin diterimanya hak tersebut oleh orang yang berhak menerimanya. Dengan demikian, korban jar
ĩmah pembunuhan sengaja tidak akan teraniaya haknya. Seperti diketahui, bahwa hukuman pokok
untuk jar ĩmah ini adalah qisas, dan qisas tidak akan diganti dengan
diyat, kecuali jika wali atau korban memaafkannya, sedangkan korban atau wali tidak akan memaafkan kecuali apabila sudah mendapatkan
jaminan akan mendapatkan diyat. Kalau ternyata tidak ada harta yang cukup untuk membayar diyat, sedangkan ia memaafkannya, maka ia
tidak akan merasa dirugikan dari keadaan yang dipilihnya itu. Ketiga, Dasar hukuman dalam jar
ĩmah tidak sengaja ialah kelalaian dan tidak berhati-hati, sedangkan kedua keadaan ini pada
umumnya disebabkan karena salah asuh atau salah didik. Orang yang bertanggung jawab atas pendidikan seseorang ialah orang-orang yang
mempunyai pertalian darah dengan dia, sebagaimana lazimnya bahwa seseorang mencerminkan tingkah laku keluarganya.
Keempat, kehidupan keluarga dan masyarakat menurut tabi’atnya ditegakkan atas dasar tolong-menolong dan kerjasama. Oleh
karena itu, menjadi kewajiban tiap anggota keluarga untuk menolong anggota keluarga lainnya. Demikian pula kewajiban tiap anggota
dalam masyarakat. Kelima, ketentuan pokok syari’at Islam ialah keharusan
memelihara jiwa seseorang dan tidak boleh menyia-nyiakannya. Diyat ditetapkan untuk menjadi pengganti dan memelihara jiwa. Kalau hanya
pelaku sendiri yang menanggung diyat dan harus dipertanggungjawabkan kepadanya karena perbuatannya, sedang ia
tidak mampu membayarnya, hal itu berarti jiwa si korban akan disia- siakan. Jadi, menyimpang dari aturan umum dalam hal ini justru
menjadi suatu keharusan agar jiwa seseorang tidak disia-siakan. Perlu ditambahkan di sini, bahwa diyat yang harus dibayar oleh
pelaku dan keluarganya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu diyat mughallazhah diyat berat dan diyat mukhaffafah diyat ringan. Yang
termasuk dalam kategori berat adalah diyat atas pembunuhan sengaja dan pembubunuhan semi sengaja. Hal ini disebabkan karena dalam
pembunuhan sengaja terdapat unsur maksud dan tujuan untuk menghabisi nyawa korban, di samping adanya unsur perbuatan
kekerasan dalam mencapai maksud tersebut. Adapun dalam pembunuhan semi sengaja, minimal terdapat unsur perbuatan
kekerasan membunuh meskipun perbuatan itu tidak dimaksudkan untuk membunuh. Adapun diyat ringan berlaku atas pelaku
pembunuhan karena kesalahan tidak sengaja.
135
Adapun diyat yang harus dibayar dalam diyat berat berupa 30 hiqqah unta yang berumur 4 tahun, 30 jadza’ah unta yang berumur 5
tahun, dan 40 Khalifahkhilfah unta yang sedang hamil, yang pembayarannya harus kontan. Sedangkan yang harus dibayar dalam
135
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyr ĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 670-674.
diyat ringan adalah 20 bint makhadh unta betina yang induknya hampir melahirkan, 20 Ibn Makhadh unta jantan yang induknya
hampir melahirkan, 20 bint labun anak unta berumur 2 tahun, 20 hiqqah unta berumur 4 tahun, dan 20 jadza’ah unta berumur 5
tahun.
136
b. Hukuman Ta’z ĩr