tonggak awal perjuangan Nabi dan para sahabat, karena setelah bai’ah al- ’aqabah kedua akan dilanjutkan dengan hijrah Nabi dan para sahabat ke
Yatsrib.
D. Ruang Lingkup Ishlãh
Berdasarkan uraian definisi, asbab al-nuzul ayat, dan ishlãh dalam sejarah di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup ishlãh dapat meliputi
ruang lingkup pribadi, keluarga, sosial masyarakat, dan negara. Jika dijabarkan lebih lanjut, maka ruang lingkup ishlãh tersebut dapat
dideskripsikan lebih luas lagi, yaitu bahwa para pihak yang terlibat konflik dapat terdiri dari:
1. individu dengan Tuhan, individu dengan individu dalam keluarga dan sosial, individu dengan keluarga dalam keluarga dan sosial, individu
dengan sosial dalam sosial dan negara, dan individu dengan negara dalam negara.
2. Keluarga dengan keluarga dalam keluarga dan sosial, keluarga dengan sosial dalam sosial, keluarga dengan negara dalam negara.
3. Sosial dengan sosial dalam sosial dan negara, sosial dengan negara dalam negara.
4. negara dengan negara dalam internasional Agaknya pembagian ruang lingkup ishlãh di atas cukup relevan jika disebut
sebagai ruang lingkup pelakusubyek ishlãh. Adapun pembagian ruang lingkup berdasarkan lapangan terjadinya
konflikperihal konflik yang hendak diishlãhkan dapat meliputi: 1. Konflik individu
2. Konflik keluarga, 3. Konflik sosial, dan
4. Konflik negara
Agaknya relevan pula jika pembagian ruang lingkup ishlãh dalam konteks lapanganperihal konflik ini disebut sebagai obyek ishlãh.
Menurut penulis, ulama fikih terdahulu menekankan pembahasan subyek dan obyek ishlãh hanya dalam ishlãh antar individu dalam masyarakat,
antar individu dalam keluarga, antar individu dalam hukum, dan antar negara. Sementara mengenai konflik sosial yaitu konflik antar masyarakat atau antar
golongan yang berbeda suku, agama, dan pandangan belum dibahas. Mengenai rukun dan syarat ishlãh, para ulama fikih hanya membahas
rukunnya saja, tanpa membahas syarat dari masing-masing rukun tersebut secara lebih rinci, demikian pula kurangnya pembahasan ulama mengenai
ishlãh ini dalam konteks ushul fikih. Oleh karena itu pengembangan pembahasan ishlãh dalam fikih dan ushul fikih perlu dilakukan.
BAB III DASAR-DASAR HUKUM ISHLÃH
A. Kedudukan Ishlãh Dalam Mashlahah
Pembahasan ini sangat berkait erat dengan pembahasan teori maqãshid al-syar
ĩ’ah. Bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan fikih kontemporer, pengetahuan tentang maqãshid al-syar
ĩ’ah mutlak diperlukan dalam rangka memahami hakikat dan peranannya dalam penetapan hukum. Oleh karena itu
perlu dijelaskan tentang teori ini, yang kemudian diakhiri dengan melihat hubungan antara teori ini dengan ishlãh dan pererapannya.
Secara bahasa, maqãshid al-syar ĩ’ah berarti maksud atau tujuan
disyariatkan hukum dalam Islam. maka bahasan utama dalam teori ini adalah masalah hikmah dan illah ditetapkannya hukum.
66
Kajian tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam
bidang ushul fikih. Dalam perkembangan berikutnya, kajian ini juga merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam. Sehingga dapat
dikatakan bahwa istilah maqãshid al-syariah identik dengan istilah filsafat hukum Islam yang melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang tujuan
ditetapkannya suatu hukum.
67
Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengem- bangkan pemikiran hukum Islam guna menjawab persoalan-persoalan hukum
kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Quran dan Hadis. Juga, tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka menetapkan, apakah
terhadap suatu kasus masih dapat diterapkan satu ketentuan hukum yang sama atau tidak karena adanya perubahan struktur sosial. Dengan demikian,
66
Ahmad al-Raisuni, Nazhariyyal at-Maqdshid Inda al-Syathibi, Rabath: Dar al-Aman, 1991, h. 67
67
Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq Al-Syathibis Life and Thought, Delhi: International Islamic Publishers, 1989, h. 325-326
39