Thumah. Kemudian turunlah ayat ini, menjelaskan kepada Nabi perihal yang sebenarnya terjadi dan penyelesaiannya.
39
Al-Thabari menjelaskan makna ishlãh baina al-nãs yaitu mengadakan perdamaian antara dua pihak yang sedang bertikai dalam
batas-batas yang dibenarkan syari’at Islam, untuk menormalisasi hubungan kedua belah pihak.
40
Yang dimaksud dengan batas-batas yang dibenarkan syara adalah tidak diperbolehkan isi perjanjian damai tersebut
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal dan yang semisalnya. Dari ayat 114 surat al- Nisa di atas dapat diambil istinbãth
hukum antara lain: boleh berdesas-desus atau berbisik-bisik dalam hal sedekah, amar maruf nahi munkar, perdamaian, dan anjuran berlaku adil
walaupun kepada non muslim. Jika diteliti lebih lanjut maka ayat 114 surat al- Nisa di atas -dalam
kaitannya dengan hukum Islam- merupakan kasus perdata berupa wanprestasi terhadap perjanjian, atau kasus pidana berupa penggelapan
yang dilakukan oleh Thumah terhadap teman Yahudinya. Perbuatan Thumah telah menyebabkan terjadinya perselisihan antara Thu’mah
dengan teman Yahudinya dan diselesaikan oleh Rasulullah dengan perdamaian antara keduanya dengan keharusan atas Thu’mah
mengembalikan baju besi milik teman Yahudinya tersebut.
2. QS. al-An’am 6: 54
⌧ ⌧
☺ ☺
39
Rasyid Ridla, Tafsir al- Manãr, Kairo: al- Hayat al-Mishriyahal- Ammah al- Kitab, 1975, juz ke-2, h. 406-407
40
Abu Jafar Muhammad Ibn Jar ĩr al- Thabari, Tafsĩr al- Thabari, Mesir: Syirkah
Maktabah Musthafa al- Babi al- Halabi wa auladuhu, 1373, jil. ke-4, juz ke-5, h. 276
⌧ ⌦
⌧ Artinya: ”Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu
datang kepadamu, Maka Katakanlah: Salaamun alaikum”. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, yaitu
bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, Kemudian ia bertaubat setelah
mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sebab turunnya surat al-An’am ayat 54 di atas ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya QS. 6: 51, 52, 53 yang menerangkan tentang
larangan kepada kaum mukminin untuk mengadakan penilaian martabat terhadap sesama manusia. Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa
pembesar Quraisy lewat di hadapan Rasulullah saw. yang sedang duduk bersama Khabab ibn al-Arat, Suhaib, Bilal, dan Ammãr mereka adalah
para hamba sahaya yang sudah dimerdekakan. Mereka berkata: “Hai Muhammad, apakah engkau rela duduk setingkat dengan mereka, adakah
mereka itu telah diberi nikmat oleh Allah lebih dari pada kami. Sekiranya engkau usir mereka, kami akan menjadi pengikutmu”. Maka Allah
menurunkan ayat 51,52, dan 53 tersebut yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan wahyu yang melarang kaum mukminin
untuk menilai derajat seseorang, karena sesungguhnya Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur kepada-Nya. Setelah itu para
pembesar Quraish tersebut meminta maaf karena ucapan mereka itu. Kemudian turunlah ayat selanjutnya, yaitu QS. al-An’am6: 54 sebagai
jaminan ampunan kepada orang-orang yang taubat akibat berbuat kesalahan karena ketidaktahuannya.
41
41
Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-NuzulLatar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, Bandung: Penerbit CV. Diponegoro, 1985, cet. V, h. 205-206
Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh al-Faryabi dan Ibn Abi Hatim yang bersumber dari Mahan,
42
ia berkata bahwa pada suatu waktu datang menghadap kepada Rasulullah saw. orang-orang yang berkata:
“Kami mengerjakan dosa-dosa yang besar”. Rasulullah SAW. tidak memberikan jawaban apapun sampai kemudian turun ayat ini, yang
menjelaskan bahwa taubat orang-orang yang berbuat dosa tanpa pengetahuan, kemudian taubat itu diikuti dengan berbuat baik akan
diterima oleh Allah swt.
3. QS. al-Ma’idah 5: 39