QS. al-An’am 6: 54 Ishlãh dalam al-Qur’an Dan Hadis

Thumah. Kemudian turunlah ayat ini, menjelaskan kepada Nabi perihal yang sebenarnya terjadi dan penyelesaiannya. 39 Al-Thabari menjelaskan makna ishlãh baina al-nãs yaitu mengadakan perdamaian antara dua pihak yang sedang bertikai dalam batas-batas yang dibenarkan syari’at Islam, untuk menormalisasi hubungan kedua belah pihak. 40 Yang dimaksud dengan batas-batas yang dibenarkan syara adalah tidak diperbolehkan isi perjanjian damai tersebut menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal dan yang semisalnya. Dari ayat 114 surat al- Nisa di atas dapat diambil istinbãth hukum antara lain: boleh berdesas-desus atau berbisik-bisik dalam hal sedekah, amar maruf nahi munkar, perdamaian, dan anjuran berlaku adil walaupun kepada non muslim. Jika diteliti lebih lanjut maka ayat 114 surat al- Nisa di atas -dalam kaitannya dengan hukum Islam- merupakan kasus perdata berupa wanprestasi terhadap perjanjian, atau kasus pidana berupa penggelapan yang dilakukan oleh Thumah terhadap teman Yahudinya. Perbuatan Thumah telah menyebabkan terjadinya perselisihan antara Thu’mah dengan teman Yahudinya dan diselesaikan oleh Rasulullah dengan perdamaian antara keduanya dengan keharusan atas Thu’mah mengembalikan baju besi milik teman Yahudinya tersebut.

2. QS. al-An’am 6: 54

⌧ ⌧ ☺ ☺ 39 Rasyid Ridla, Tafsir al- Manãr, Kairo: al- Hayat al-Mishriyahal- Ammah al- Kitab, 1975, juz ke-2, h. 406-407 40 Abu Jafar Muhammad Ibn Jar ĩr al- Thabari, Tafsĩr al- Thabari, Mesir: Syirkah Maktabah Musthafa al- Babi al- Halabi wa auladuhu, 1373, jil. ke-4, juz ke-5, h. 276 ⌧ ⌦ ⌧ Artinya: ”Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, Maka Katakanlah: Salaamun alaikum”. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, yaitu bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, Kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Sebab turunnya surat al-An’am ayat 54 di atas ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya QS. 6: 51, 52, 53 yang menerangkan tentang larangan kepada kaum mukminin untuk mengadakan penilaian martabat terhadap sesama manusia. Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa pembesar Quraisy lewat di hadapan Rasulullah saw. yang sedang duduk bersama Khabab ibn al-Arat, Suhaib, Bilal, dan Ammãr mereka adalah para hamba sahaya yang sudah dimerdekakan. Mereka berkata: “Hai Muhammad, apakah engkau rela duduk setingkat dengan mereka, adakah mereka itu telah diberi nikmat oleh Allah lebih dari pada kami. Sekiranya engkau usir mereka, kami akan menjadi pengikutmu”. Maka Allah menurunkan ayat 51,52, dan 53 tersebut yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan wahyu yang melarang kaum mukminin untuk menilai derajat seseorang, karena sesungguhnya Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur kepada-Nya. Setelah itu para pembesar Quraish tersebut meminta maaf karena ucapan mereka itu. Kemudian turunlah ayat selanjutnya, yaitu QS. al-An’am6: 54 sebagai jaminan ampunan kepada orang-orang yang taubat akibat berbuat kesalahan karena ketidaktahuannya. 41 41 Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dkk. Asbab al-NuzulLatar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, Bandung: Penerbit CV. Diponegoro, 1985, cet. V, h. 205-206 Dalam riwayat lain yang dikemukakan oleh al-Faryabi dan Ibn Abi Hatim yang bersumber dari Mahan, 42 ia berkata bahwa pada suatu waktu datang menghadap kepada Rasulullah saw. orang-orang yang berkata: “Kami mengerjakan dosa-dosa yang besar”. Rasulullah SAW. tidak memberikan jawaban apapun sampai kemudian turun ayat ini, yang menjelaskan bahwa taubat orang-orang yang berbuat dosa tanpa pengetahuan, kemudian taubat itu diikuti dengan berbuat baik akan diterima oleh Allah swt.

3. QS. al-Ma’idah 5: 39