Teguran juga merupakan hukuman ta’z ĩr. Hukuman tersebut
pernah dijatuhkan oleh Nabi terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki dan menghinakan orang lain dengan menyebut-
nyebut ibunya, maka Nabi bersabda:
ﺔ هﺎﺟ ﻚ ﻓ ءﺮ ا ﻚ ا ﻪ ﺎ ﻪ ﺮ ﺎ ا رذﺎ ا ﺎ
Artinya: “Wahai Abu Zar engkau telah menghina ia dengan ibunya, engkau adalah orang yang masih dihinggapi
sifat-sifat masa jahiliyah.” HR. Muslim
152
Hukuman peringatan ditetapkan dalam syari’at Islam dengan jalan memberi nasihat. Hukuman ini dicantumkan dalam QS. al-
Nisa’ 4 :34, sebagai hukuman terhadap istri.
153
3. Hak Hamba Hak Privat atau Hak Individu
Al-haqq al-khãlis li al-‘ibãd hak perorangan secara penuh, yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hak perorangan individu yang
berkaitan dengan harta bendanya. Misalnya, kewajiban mengganti rugi atas seseorang yang telah merusak atau menghilangkan harta orang lain,
hak seorang pemegang gadai untuk menahan harta gadai dalam
151
Abd al Qadir Audah, al-Tasyr ĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h. 703
152
Muslim ibn al-Hajjaj, Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arabi, tth., Juz ke-3, h. 1281
153
Di samping nasihat, boleh juga -kalau dipandang perlu- memukul istri dengan niat untuk memperbaikinya adalah juga merupakan jenis dari hukuman ta’z
ĩr dalam rangka untuk mendidik istri di jalan yang benar. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islãm wa adillatuh, Juz ke-6, h. 211
Dari pembahasan di atas dapat ditarik garis merahnya bahwa dalam hukum pidana Islam, ishlãh merupakan bagian dari qishãsh yang tidak
dilakukan karena pelaku mendapatkan maaf dari pihak walikeluarga korban. Dalam al-Qur’an, ayat tentang qishãsh yakni:
☺ ⌦
⌧ ☺
☺ ☺
⌧ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih.
154
Abd. Al-Qadir Audah, al-Tasyr ĩ’ al-Jinã’i al-Islãmi, h 206. Lihat juga Ali Hasballah,
Ush ũl al-Tasyrĩ’ al-Islãmĩ, cet. Ke-3, h. 296
Ayat tersebut turun karena pertama, sebagaimana diriwayatkan dari Qatadah bahwa apabila hamba suatu kabilah yang memiliki kekuatan terbunuh
oleh hamba dari kabilah lain, maka mereka menuntut balas dengan membunuh seorang merdeka dari pihak musush. Hal ini mereka lakukan karena adanya
kesombongan dan merasa lebih utama atas yang lain. Demikian pula ketika yang terbunuh seorang perempuan, mereka menuntut balas dengan membunuh
seorang laki-laki dari pihak musuh. Karena kebiasaan ini, maka turunlah ayat “orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita.”
155
Kedua, riwayat dari Sa’id ibn Zubair, bahwa pernah dua kabilah Arab di masa Jahiliyah sebelum datangnya Islam saling membunuh. Masing-masing
dari mereka ada korban yang meninggal dan luka-luka, termasuk di antaranya wanita-wanita dan hamba-hamba. Kemudian sebelum mereka saling
membalas kembali, mereka masuk Islam. Kemudian salah satu kabilah yang bersengketa itu menyombongkan kekayaan dan perbekalan mereka, lalu
bersumpah tidak rela kalau tidak membalas pembunuhan yang dilakukan oleh kabilah lawannya, seraya berkata: “Bagi seorang hamba kami yang terbunuh,
maka kami harus dapat membunuh seorang merdeka dari kalangan mereka, dan bagi seorang wanita, kami harus membunuh seorang laki-laki sebagai
balasannya.” Kemudian turunlah ayat “hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu qishãsh berkenaan dengan orang-orang yang
terbunuh”.
156
Istinbath hukum yang dapat diambil dari ayat di atas adalah, pertama, qishãsh merupakan syariat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin
demi kemaslahatan dan kebahagiaan hidup mereka. Kedua, qishãsh diyakini
155
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i’ al-Bayan: Tafsir Ayat al-Hakam min al-Qur’an, terjemahan Mu’ammal Hamidi dan Imran A. Manan dnegan judul “Tafsir Ayat Ahkam”,
Surabaya: Bina Ilmu, 1985, cet. Ke-1, h. 123
156
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan: Tafsir Ayat al-Hakam min al-Qur’an, h. 123
akan memperkecil volume tindak kejahatan, menghilangkan rasa dendam bagi manusia dan bersifat mendidik, yaitu mencegah orang yang akan melakukan
tindak kejahatan serupa. Ketiga, qishãsh mengandung makna kehidupan bagi manusia, melindungi pribadi-pribadi dan masyarakat. Dan keempat, apabila
wali atau keluarga si terbunuh memberikan maaf dan mau menerima diyat, maka si pembunuh dan keluarganya wajib menyerahkan diyat itu kepada
mereka tanpa ditunda-tunda atau diperlambat. Disyariatkannya qishãsh oleh Allah tentu saja mengandung makna yang
amat dalam, yakni dalam rangka menjaga darah manusia dan memelihara nyawa umat manusia, serta untuk membasmi benih-benih fitnah yang ada di
antara sesama manusia. Maka mengambil tindakan kepada pelaku kejahatan, di samping bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelakunya, juga
ditujukan kepada orang lain untuk tidak melakukan tindakan serupa, agar semua manusia menjadi takut dan tidak mau melakukan suatu pembunuhan
atau kejahatan lainnya. Karena apabila mereka melakukan pembunuhan, ada ancaman hukuman qishãsh yang akan mereka dapatkan. Dengan demikian,
penghargaan terhadap arti kehidupan adalah sesuatu yang diutamakan. Jika pelaku pembunuhan itu tidak diqishãsh, maka akan timbul fitnah, ancaman
keamanan, dan secara tidak langsung membiarkan berkembangnya spirit untuk saling mengalirkan darah demi membalas dendam. Qishãsh diharapkan dapat
memadamkan rasa dendam yang ada dalam hati korban maupun keluarganya dan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan.
Meski demikian, Islam di samping mensyariatkan hukuman qishãsh juga secara serentak menganjurkan bagi para pemeluknya untuk suka memaafkan.
Pemberian maaf itu dilakukan ketika vonis qishãsh akan dijatuhkan. Ajaran ini semata-mata merupakan ajakan untuk berbuat kebaikan, bukan suatu
ketetapan yang mengesampingkan fitrah manusiawi, serta mendorong orang
untuk berbuat sesuatu di luar batas kemampuannya. Memaafkan adalah lebih baik daripada melakukan pembalasan yang destruktif.
Karena adanya peluang untuk memberikan maaf ini, yaitu terjadinya ishlãh antara kedua pihak yang berperkara, maka penulis menganggap bahwa
ishlãh merupakan bagian integral dari hukum pidana Islam Jinãyah. Jadi, melalui ishlãh, para pihak dianjurkan untuk lebih mengedepankan
perdamaian guna menghilangkan rasa dendam dan permusuhan yang berkepanjangan. Para pihak lebih mengedepankan usaha-usaha persuasif
ketimbang usaha-usaha yang destruktif. Penegakan hukum bagi tindak kejahatan dengan memberikan jaminan keadilan hukum bagi semua tanpa
mengenal kasta merupakan komitmen Islam untuk menjaga kemaslahatan umat manusia di dunia, jauh dari kebencian dan permusuhan antar sesama
masyarakat. Maka, karena ishlãh berada pada ranah kemaslahatan umat, maka ishlãh menjadi sesuatu yang relevan bahkan wajib untuk segera diwujudkan.
BAB IV FIKIH ISHLÃH
A. Obyek ishlãh
Sebagaimana telah dijelaskan secara singkat dalam bab II mengenai ruang lingkup obyek ishlãh, maka dalam awal pembahasan bab IV ini akan
diuraikan secara lebih detil tentang obyek ishlãh tersebut. Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa penyelesaian konflik dapat
melalui jalur hukum yaitu melalui proses pengadilan dan dapat juga melalui proses non pengadilan. Dalam konteks penyelesaian konflik melalui jalur
hukum, maka obyek ishlãh dapat dibagi dalam dua lapangan, yaitu pidana jinãyah
dan perdata al-ahwãl al-syakhshiyah. Dalam konteks jinãyah, khususnya qishãsh maka muara penyelesaian konflik oleh hakim jinãyah
dapat meliputi dilaksanakannya qishãsh, ditetapkannya diyat, atau hanya ditetapkan taz
ĩr semata atas diri terpidana. Khusus dalam kasus qatl al-‘amd yang dapat dijatuhi hukuman
maksimal berupa hukuman mati, maka jika pihak keluarga korban memilih mengedepankan ishlãh, maka afw dari keluarga korban dapat merubah
putusan hakim dari sedianya menjatuhkan hukuman maksimal yaitu hukuman mati, menggantinya dengan penjatuhan diyat atau taz
ĩr atas terpidana dan keluarganya. Dengan demikian, pelaksanaan ishlãh dalam kasus pidana ini
memutlakkan adanya maaf dan atau dendaganti rugi. Demikian pula adanya dengan berbagai kasus pidana lain di bawah kasus
pembunuhan sengaja, seperti kasus pelukaan. Jika korban mengedapankan ishlãh
dengan memaafkan pelaku, maka afw dari korban menyebabkan hakim pidana tidak menjatuhkan hukuman maksimal, melainkan diganti dengan
hukuman diyat atau tazir. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan secara cukup panjang lebar dalam pembahasan ishlãh dalam jinãyah.
98