Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sumatera Utara adalah sebuah provinsi dari 33 provinsi yang terdapat di Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Secara historis, Sumatera Utara merupakan daerah tempat tujuan berbagai kelompok etnik merantau atau bermigrasi. Misalnya orang Minangkabau, Aceh, Banjar, dan Jawa. Sumatera Utara sejak zaman Belanda, tepatnya di abad ke-19 adalah sebuah kawasan yang terkenal akan perkebunan, terutama tembakau yang dikenal sebagai tembakau Deli. Perkebunan ini dibuka oleh seorang pengusaha maskapiij Belanda yang bernama Yakobus Nienhuys. Perkebunan-perkebunan milik Belanda ini melibatkan masyarakat setempat seperti Melayu, Karo, dan Simalungun. Namun karena kurang cepatnya perkembangan perkebunan, maka Belanda mendatangkan tenaga kerja koeli kontrak terutama dari Pulau Jawa. Begitu pula mereka mengambil tenaga kerja yaitu orang-orang Tionghoa maupun keturunan India baik dari Pulau Pinang Malaya, maupun dari Pulau Jawa sendiri lihat Karl J. Pelzer 1978. Sejak dibukanya perkebunan ini di abad ke-19 maka perkembangan Sumatera Utara sebagai pusat ekonomi di Nusantara begitu pesat. Banyak perantau yang datang ke kawasan ini. Akhirnya sejak saat itu, Sumatera Utara dihuni oleh tiga kategori kelompok etnik, yaitu etnik setempat, etnik pendatang Nusantara, dan etnik pendatang dunia. Yang pertama, etnik setempat terdiri dari: Melayu, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga, dan Nias. Kadang- kadang dimasukkan pula etnik Lubu dan Siladang di Tapanuli bahagian Selatan. Yang kedua adalah etnik pendatang Nusantara, seperti: Aceh, Minangkabau, Banjar, Sunda, Universitas Sumatera Utara Jawa, Ambon, dan lain-lain. Yang ketiga, adalah etnik-etnik pendatang dunia seperti Hokkian, Khek, Kwong Fu, Hakka, yang lazim disebut keturunan China. Begitu juga dengan Tamil, Benggali, Hindustani, dan lainnya yang lazim disebut keturunan India, serta Arab dan beberapa etnik Eropa. Dengan komposisi yang demikian, Sumatera Utara merupakan tempat bertemunya berbagai budaya setempat, Nusantara, dan Dunia, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa sekarang ini, etnik yang jumlahnya mayoritas di Sumatera Utara adalah etnik Jawa, yang berkisar lebih dari 30 dari sekitar 13 juta jiwa. Jumlah etnik- etnik lain adalah di bawah jumlah tersebut. Namun demikian, etnik Jawa di Sumatera Utara ini dapat diterima oleh etnik lainnya, karena faktor mudahnya orang jawa beradaptasi dengan lingkungan sosiobudaya masyarakat Sumatera Utara yang heterogen. Orang Jawa sangat menjunjung harmoni sosial, dan cenderung menghindari konflik terbuka. Orang Jawa yang datang ke Sumatera Utara bukanlah golongan priyayi yang harus merasa dihormati dan harus memerintah. Ini juga didukung oleh kebudayaan Jawa, untuk menjaga harmoni sosial di mana pun mereka berada. Mereka sebahagian besar adalah golongan abangan, dan sesampainya di Sumatera Utara, mereka tidak lagi menerapkan tiga strata sosial seperti di Pulau Jawa, yang terdiri dari golongan santri golongan alim ulama, priyayi bangsawan, dan abangan rakyat biasa. Di Sumatera Utara, akhirnya orang-orang Jawa ini menerapkan strategi budaya adaptasi. Orang Jawa di Sumatera Utara, menyebut dan disebut sebagai Pujakesuma, yaitu Putra Jawa Kelahiran Sumatera. Mereka tetap memelihara kebudayaan yang dibawa dari Jawa, termasuk kesenian. Di antara kesenian Jawa di Sumatera Utara yang terus hidup dan berkembang hingga sekarang ini adalah: ketoprak, ronggeng Jawa atau tayub, ludruk, ketoprak dor, reyog Ponorogo, terbangan, kasidah, dan yang paling terkenal adalah jaran kepang. Universitas Sumatera Utara Menurut penjelasan informan Pak Slamet wawancara Juli 2009 dalam sejarah kebudayaan Jawa, jaran kepang atau yang lazim juga disebut dengan kuda kepang, kuda lumping, jathilan, atau ebeg, merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan masyarakat Jawa. Asal-usulnya, menurut cerita rakyat Jawa, kesenian jaran kepang merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda, dalam Perang Diponegoro tahun 1825- 1830. Versi cerita yang lain menyebutkan, bahwa kesenian jaran kepang menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Cerita lain menyebutkan bahwa, kesenian jaran kepang ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda. Ketiga versi cerita rakyat itu berkaitan erat dengan perang rakyat Jawa menentang penjajah Belanda di masa Mataram Islam. Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, jaran kepang merefleksikan semangat kepahlawanan dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmik, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan. Seringkali dalam pertunjukan jaran kepang, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural yang bersuasana magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain.Atraksi seni ini mengekspresikan kekuatan supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan kerajaan-kerajaan Jawa, dan merupakan aspek bukan militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda. Selain itu, dalam rangka hubungan antara bangsawan dan rakyat kebanyakan, lahirnya jaran kepang tidak terlepas dari perbedaan kesenjangan yang cukup besar Universitas Sumatera Utara antara golongan kaum kraton atau kelas atas yang mempunyai kebudayaan adi luhung super culture, high culture yang berkembang di kerajaan, dengan golongan kaum bawah yang mempunyai kebudayaan rakyat folk culture yang umumnya berkembang di desa-desa. Akibat kesenjangan ini, timbullah perselisihan antara dua golongan tersebut, yang tentu saja golongan kelas bawah yang banyak mendapat kerugian. Kemudian timbullah perasaan tertekan yang semakin lama semakin mendalam, yang akhirnya timbul keputusasaan dan pasrah karena tidak dapat berbuat apa-apa sehingga menimbulkan kompensasi dan timbul ketegangan-ketegangan. Untuk melepaskan atau sekedar melupakan perasaan tertekan tersebut, walaupun hanya sesaat, maka rakyat kebanyakan menciptakan seni sebagai wujud ketertekanan sosial yang dilakukan pihak bangsawan, yaitu melalui seni jaran kepang. Lahirnya jaran kepang mendapat pertentangan dari golongan kaum yang lain. Salah satunya adalah kaum santri yang mengatakan bahwa kesenian ini bertentangan dengan nilai-nilai religius karena adanya pengendalian syaitan roh halus . Pertentangan tidak hanya didapat dari kaum santri saja, kaum priayi juga menganggap kesenian ini kasar dan cabul Syarbaini 1996:34. Di zaman perjuangan kemerdekaan, awal abad ke-20 sampai tahun 1940-an, jaran kepang berubah menjadi alat perjuangan oleh para pejuang kemerdekaan. Pada saat pertunjukan jaran kepang dilakukan yang ditonton oleh masyarakat sekitar, maka tempat pertunjukannya sengaja dibuat di dekat benteng penjajah. Sehingga pada saat pertunjukan berlangsung, salah satu anggota jaran kepang memasuki benteng tersebut tanpa dicurigai untuk mengetahui kekuatan musuh. Setelah itu mereka menyampaikannya kepada para pejuang kemerdekaan. Mereka juga menyebarkan semangat juang dengan bahasa daerah yang disampaikan sebagai alur cerita, karena penyampaian cerita dilakukan Universitas Sumatera Utara menggunakan bahasa daerah sehingga kaum penjajah tidak mengetahui maksud dan artinya Syarbaini 1996:35. Di dalam masyarakat Jawa sendiri, menurut penjelasan informan di Binjai yaitu Pak Slamet, Pak Ponomin, Pak Ngatino, Pak Ngoweh, Pak Trisno, Bang Adi dan Bang Tongat, jaran kepang juga dikenal dengan nama yang lain salah satunya adalah Banyumasan. Dikatakan demikian karena jaran kepang dulunya sangat terkenal dari daerah Banyumas sehingga banyak mengidentikkan bentuk kesenian ini dengan daerah tersebut hasil wawancara dengan para informan yaitu Pak Ngoweh, Pak Trisno, Pak Slamet, Pak Ngatino, Pak Adi, Juli 2008. Selain dari keterangan itu ada penyebutan yang lain dari jaran kepang yaitu jathilan. Disebut demikian karena ada salah satu penyebutan irama sekaligus nama repertoar yang selalu dimainkan setiap pertunjukan jaran kepang, jadi boleh dikatakan tanpa ada reperoar Jatilan maka jaran kepang kurang rasanya penampilan mereka. Para informan mengatakan tanpa Jatilan akan sulit memasukkan endang yaitu roh dalam sistem kosmologi Jawa, ke dalam tubuh anak wayang atau penari dalam jaran kepang. Memang menurut keterangan Pak Trisno dan Pak Wage dahulu bukan lagu jathilan yang digunakan untuk mengiringi anak wayang untuk menari penari melainkan lagu waru doyong namun dikarenakan lagu ini bersifat lambat dan halus sehingga tarian yang tercipta dari lagu ini sangat lamban dan halus bertolak belakng sekali dengan jaran kepang yang menggambarkan kasar , keras dan cepat. Menurut Pak Trisno dan Pak Wage karena sebab itulah lagu waru doyong tidak lagi digunakan untuk mengiringi tarian dan lagu jathilan dipilih mejadi lagu untuk menngiringi tarian kuda kepang. Berikutnya ada penyebutan lain yaitu ebeg, yaitu penyebutan jaran kepang dari daerah Jawa Tengah hasil wawancara dengan Wahyu, Paklek Dut, Pak Ngoweh, Pak Trisno, Juli 2008, yang merupakan berasal dari bahasa daerah yang mempunyai arti Universitas Sumatera Utara sama dengan kuda kepang. Menurut Paklek Dut yang merupakan seorang pemain kendhang kuda kepang di grup yang lain, mengatakan bahwa kata ebeg merupakan pengucapan halus terhadap kuda kepang. Menurut Paklek Dut karena asal oarang jawa adalah di Pulau Jawa dan bermigrasi ke daerah Sumatera Utara memang banyak membawa kebudayaan jawa, tetapi dalam hal bahasa banyak yang mereka lupakan, sebab menurutnya jika mengikuti tutur kata jawa yang halus sangat sulit, jadi kami menggunakan bahasa jawa yang kami bisa pahami atau yang biasa kami sebut dengan bahasa jawa kasar. Memang bahasa jawa kasar masih sering digunakan leh masyarakat jawa tetapi sejauh ini selama melakuka penelitian hampir seluruh informan mengatakan kalau bahasa jawa halus sudahsangat jarang digunakan karena banyak kosakata yang sudah dilupakan. Penyebaran jaran kepang ke luar daerah terjadi ketika zaman yang disebut dengan koeli koentrak. Pada saat itu beberapa masyarakat Jawa ada yang berharap ingin merubah kehidupannya. Harapan tersebut tercapai ketika kolonial Belanda beserta para pengusaha-pengusaha Belanda datang ke Indonesia dan membuka lahan perkebunan di Pulau Sumatera. Karena tergiur dengan angan-angan muluk akan janji kehidupan yang lebih baik yang nantinya dapat mewujudkan kehidupan yang lebih mapan daripada kondisi mereka di pulau Jawa maka dengan sukarela mereka mengikuti arus imigrasi ke daerah Nusantara termasuk Sumatera dalam jumlah yang besar. Namun yang terjadi setelah sampai di daerah imigrasi adalah jauh dari harapan mereka ketika masih ada di pulau Jawa. Karena sebenarnya semua biaya keberangkatan dari daerah asal sampai di tempat imigrasi dibebankan kepada mereka semua ditambah lagi dengan adanya judi, madat, pelacuran, serta sistem feodal Belanda yang menambah beban hutang yang melilit mereka. Syarbaini 1996. Universitas Sumatera Utara Jaran kepang menggabungkan unsur musik, tari, dan ilmu gaib supranatural. Hal ini terlihat pada saat pertunjukan berlangsung. Unsur musik pada jaran kepang diwakili oleh keberadaan alat-alat musik seperti saron, demung, kendang, dan gong serta di beberapa grup ada yang menggunakan penyanyi atau sering disebut sindhen. Musik yang dihasilkan, digunakan untuk mengiringi tarian yang dilakukan beberapa penari yang disebut anak wayang. Jumlah mereka selalu ganjil, dengan pakaian menari seperti celana pendek sepanjang lutut, yang menggunakan rompi. Di kepala mereka ada hiasan yang terikat disebut ira-ira. Pada saat menari, anak wayang menyelipkan di bagian selangkangan mereka kuda-kudaan yang terbuat dari bambu atau plastik. Dipegang dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang selendang yang terikat di pinggang yang digerak-gerakkan sedemikian rupa mengikuti irama musik. Namun berbeda halnya dengan pemimpin anak wayang yang disebut dengan pemayung. Di tangan kanannya dia memegang cambuk atau sering disebut pecut. Pecut adalah sejenis tali yang terbuat dari plastik atau bahan lainnya yang digunakan untuk memancing anak wayang trance atau mabok atau jeplak. Masyarakat Jawa di daerah penelitian lebih sering menyebutnya dengan cambuk. Warna kuda yang digunakannya berbeda dari penari yang lain , biasanya warna kudanya putih. Dalam beberapa grup ada penambahan penari yang tidak memegang kuda-kudaan tetapi memakai topeng yang berkarakter wajah manusia. Jumlah mereka tergantung dari keseluruhan jumlah anggota dalam grup jaran kepang. Juga ada penambahan penari yang membawa benda yang berbentuk wajah singa yang di bagian belakangnya ada lembaran kain, panjangnya kira-kira dua sampai tiga meter. Benda ini biasanya dibawakan oleh dua atau tiga orang. Benda tersebut adalah barongan. Namun ada penamaan yang lain untuk benda ini, yaitu: singo barong. Penamaan ini ternyata merujuk Universitas Sumatera Utara kepada nama roh halus atau yang biasa disebut oleh mereka endang. Jadi singo barong adalah nama roh halus yang ada di barongan. Ilmu gaib digunakan pada saat klimaks dari pertunjukan jaran kepang. Anak wayang menari tanpa ada kemauan dari dirinya sendiri, tetapi ada kekuatan yang berasal dari dalam dirinya yang menggerakkan tubuhnya untuk menari dan bertingkah laku yang tidak sesuai dengan keadaan sehari-harinya. Hal ini terjadi karena tubuh mereka telah dimasuki roh halus yang disebut endang. Proses ini terjadi dengan bantuan seseorang yang mempunyai pengetahuan khusus dan berpengalaman tentang roh halus yang disebut pawang atau gambuh. Pada masa sekarang, kepercayaan tentang makhluk halus ini juga terdapat dalam aliran kepercayaan Kejawen. Bentuk pertunjukan jaran kepang dimulai dengan tarian persembahan, Para penari menari diiringi musik yang di selangkangan mereka membawa kuda-kudaan yang dipegang tangan kiri. Tujuan dari tari persembahan ini adalah meminta izin dari penguasa alam gaib yang ada di bawah dan di atas bumi--di tempat mereka melakukan pertunjukan. Sekaligus memberitahu tujuan mereka di tempat tersebut adalah untuk menghibur, bukan untuk mengganggu wawancara dengan Pak Trisno Mei 2008. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembakaran kemenyan oleh pengendali pertunjukan atau yang disebut dengan pawang. Tujuannya adalah untuk memanggil arwah-arwah yang akan memasuki tubuh penari. Setelah berganti kostum, para penari mulai menari yang tujuannya untuk memasukkan arwah atau disebut endang ke dalam tubuh mereka. Pergantian kostum ini terjadi tergantung dari keadaan masing-masing kelompok jaran kepang. Jika mempunyai uang yang cukup, maka pengadaan dua buah kostum sangat mungkin untuk dilakukan, tetapi jika tidak mempunyai dana yang cukup maka kostum yang digunakan pada saat melakukan tarian persembahan dengan pada saat penari anak wayang trance atau mabok sama. Untuk memasukkan arwah tersebut, Universitas Sumatera Utara mereka melakukan tarian berputar-putar. Ketika arwah tersebut memasuki tubuh mereka maka mereka tidak sadarkan diri. Gerakan putaran yang mereka lakukan itu disebut dengan kiteran yang diambil dari bahasa Jawa yang berarti berputar-putar. Pada saat inilah klimaks dari pertunjukan jaran kepang. Kemudian ketika dirasa cukup, maka pawang menyuruh pulang para arwah ke alamnya. Hal ini pun dilakukan dengan iringan musik. Proses ini terjadi dengan berbagai macam bentuk. Ada penari yang harus dibopong ke atas oleh beberapa orang dan di atasnya diletakkan anak kecil dan dibawa berputar-putar. Ada yang menyembah kendhang . Ada yang harus menaiki kendang . Yang paling sering, pawang hanya menyentuh kepala maka pulanglah arwah tersebut ke alamnya. Jaran kepang dipertunjukkan pada saat khitanan, pernikahan, ulang tahun, perayaan kemerdekaan, penyambutan tamu, dan lain-lain. Mereka biasanya diundang secara khusus oleh yang melaksanakan hajatan untuk pertunjukan. Proses ini terjadi ketika ada kesepakatan antara pemimpin jaran kepang dengan yang ingin menanggap . Menanggap adalah suatu istilah dalam jaran kepang yang maksudnya adalah permintaan pertunjukan atau penampilan grup jaran kepang oleh beberapa orang atau satu orang saja untuk alasan tertentu biasanya saat hajatan, khitanan, serta perayaan kemerdekaan. Penontonnya tergantung dimana tempat pertunjukan tersebut berlangsung. Misalnya pada saat khitanan, maka otomatis penontonnya adalah masyarakat di sekitar tempat tersebut. Jika jaran kepang diminta tampil untuk menyambut tamu, maka penontonnya juga orang tertentu dan tempat mereka menontonnya di bawah tenda yang mereka sediakan. Tidak seperti saat khitanan, masyarakat menonoton tanpa ada yang melindungi kepala mereka dari serangan terik matahari. Universitas Sumatera Utara Pada awalnya, alat musik yang dipergunakan pada jaran kepang hanya saron, demung, kendhang yang semuanya berjumlah satu buah dan gong yang berjumlah dua buah. Sedangkan pada saat ini, khususnya pada grup Brawijaya mereka menggunakan saron, demung, slenthem, bonang sebanyak satu buah, kendang sebanyak tiga buah dan gong sebanyak enam buah. Adapun alasan yang dikemukakan oleh Pak Trisno yang merupakan pemimpin grup Brawijaya, adalah agar orang yang melihatnya terasa lebih mewah. Mengingat masyarakat menganggap kesenian ini adalah kesenian kelas bawah. Selain itu, menjadi daya tarik bagi masyarakat. Dengan besarnya ensambel, maka semakin banyak masyarakat dalam hajatannya mengundang grup jaran kepang. Perlu juga diketahui istilah dalam pemanggilan atau mengundang grup jaran kepang tersebut biasanya disebut dengan menganggap, selain alasan tersebut Pak Trisno juga mengatakan alasan lainnya yaitu agar suara yang dihasilkan lebih rame banyak. Pandangan seperti ini memang ada dalam pelaku jaran kepang. Ketika penulis menjumpai grup jaran kepang yang lainnya, hal yang sama juga mereka katakan. Contohnya grup Langen Setio Budoyo Utomo, jumlah alat musik yang mereka miliki tak kalah jumlahnya dengan grup Brawijaya. Menurut Pak Slamet yang merupakan pemimpin grup Langen Setio Budoyo Utomo banyaknya jumlah alat musik yang mereka miliki agar kelihatan mewah ketika sedang mengadakan penampilan. Perlu diketahui juga penambahan alat musik dalam pertunjukan jaran kepang akibat berkurangnya minat masyarakat terhadap bentuk kesenian ini sehingga mengakibatkan jumlah penontonnya berkurang. Hal ini dikatakan juga oleh pak Ngoweh: “Pada waktu Bapak masih umur belasan tahun, Bapak sudah bisa menari dan punya endang di dalam tubuh Bapak. Sudah ikut grup jaran kepang pimpinan bapak saya. Pada waktu itu, kami sering melakukan pertunjukan keliling atau sering disebut dengan ngamen. Pada waktu itu jumlah penonton sangat banyak, sehingga saweran yang merupakan suatu bentuk pengutipan uang yang dilakukan grup jaran kepang pada saat pertunjukan berlanggsung. Uang yang diberikan bervariasi karena semuanya Universitas Sumatera Utara tergantung keikhlasan, yang kami dapatkan sangat banyak. Karena itu juga kami sering melakukan pertunjukan keliling, karena jumlah uang yang dikeluarkan dengan uang yang didapatkan dari saweran jumlah uang saweran yang lebih banyak.” Transkripsi wawancara penulis dengan Pak Ngoweh Agustus 2009. Walaupun demikian tidak semua grup jaran kepang yang saya temui mengatakan hal yang sama. Seperti grup Wahyu Satrio Putro, alat musik yang mereka pergunakan hanya saron, demung, kendhang sebanyak satu buah serta gong sebanyak dua buah. Alasan yang dikemukakan oleh Pak Ngoweh adalah jumlah dana yang mereka miliki sangat terbatas. Ditambah lagi kebanyakan pemain musik yang mereka miliki yang biasanya disebut dengan panjak atau gamel atau wiyogo, adalah pemain musik dari grup lainnya, sehingga boleh dikatakan jumlah pemain yang juga terbatas. Akibatnya menghambat mereka untuk mengadakan alat musik yang banyak seperti yang dimiliki oleh grup Brawijaya. Selain hal tersebut, ditambah lagi dengan pembagian honor yang tidak merata, bisa menyebabkan rasa sakit hati sehingga menimbulkan perpecahan di antara mereka. Hal itulah yang dikhawatirkan oleh Pak Ngoweh sebagai pemimpin grup tersebut yang juga sekaligus pawang. Ditambah lagi perpecahan sering terjadi di grup ini sehingga jika ada seseatu yang ingin dilakukan di dalam grup ini maka akan sulit sekali untuk merealisasikannya. Walaupun demikian grup ini banyak mempunyai prestasi juga karena setiap festival jaran kepang atau kompetisi jaran kepang yang dilakukan di Kota Binjai. Mereka sering menjadi juara. Mulai dari tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009. Sehingga jika pemerintahan Kota Binjai melakukan kegiatan dan membutuhkan hiburan, maka grup mereka yang sering dipanggil ditanggap. Selain itu, hal yang menarik yang diperoleh dari penelitian di lapangan, penulis menemukan bahwa alat musik yang mereka pergunakan dalam pertunjukan jaran kepang Universitas Sumatera Utara bukan didatangkan dari Pulau Jawa, tetapi adalah buatan penduduk setempat. Dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh penulis, kesemua grup yang dijumpai khususnya yang ada di Kota Binjai, mengatakan bahwa alat musik yang mereka miliki ternyata adalah buatan Bapak Ponomin. Beliau dikenal sebagai dalang wayang sekaligus orang yang pandai membuat gamelan juga sering dipanggil orang lain. untuk melaras gamelan yang dimilikinya. Contohnya saja grup Wahyu Satrio Putro, gamelan yang mereka miliki bukan barang baru namun barang bekas pakai yang mereka beli dari grup jaran kepang yang lain. Ketika dibeli gamelan tersebut tuningannya sudah tidak bagus lagi, sehingga mereka memanggil Pak Ponimin untuk melaras gamelan tersebut. Sebahagian besar grup jaran kepang kota Binjai yang penulis jumpai mengatakan kalau alat musikgamelan yang mereka miliki adalah buatan Pak Ponimin. Atau paling tidak jika mereka membeli alat gamelan itu sebagai barang bekas, tetapi sudah pernah dilaras oleh Pak Ponimin. Penulis juga sempat mewawancarai Pak Ponimin dan datang ke rumahnya untuk langsung bertemu dan bertanya bagaimana dia membuat gamelan. Untuk membuat gamelan ia menggunakan logam yang biasanya ia mengatakannya dengan besi plat. Besi plat merupakan benda logam yang biasanya digunakan untuk alas kaki kendaraan bermotor roda empat. Kemahiran ini didapatkannya dari ayahnya. Ditambah lagi dia hidup di lingkungan para pemain musik tradisi Jawa. Selain penambahan alat musik, dalam pertunjukan jaran kepang grup Brawijaya mereka juga menambahkan salah satu bentuk atau genre kesenian lainnya yaitu Sintren. Sintren merupakan bentuk kesenian masyarakat Jawa yang masih menggunakan roh halus serta ilmu gaib. Cara pertunjukannya adalah penari yang mabok dimasuki roh halus-roh halus mereka sebut dengan endang dimasukkan ke dalam keranjang bambu yang ditutupi oleh selembar kain dalam keadaan terikat kedua tangannya. Dalam Universitas Sumatera Utara beberapa saat kemudian, anak wayang tersebut dapat berganti bajunya, tetapi ia masih dalam keadaan terikat. Kemudian ditutup lagi, dan beberapa saat dibuka akhirnya ia berdandan lengkap dengan pakaian dan tidak terikat. Kemudian ia menari-nari dalam keadaan trance. Alasan penambahan kesenian ini dalam jaran kepang menurut Pak Trisno juga untuk membuat grupnya lebih menarik ketika sedang melakukan pertunjukan. Menurut beliau, sangat jarang grup jaran kepang yang menggabungkan hal tersebut Wawancara Juli 2008. Ini juga salah satu faktor menarik bagi penulis untuk meneliti dan mengkaji keberadaan kelompok jaran kepang ini. Perlu diketahui sejauh penulis melaukan penelitian keseluruhan anggota grup jaran kepang yang penulis jumpai berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Namun demikian, mereka sudah memikirkan bagaimana cara untuk mempertahankan kelangsungan jaran kepang tanpa didukung pengetahuan yang tinggi karena keseluruhan anggota jaran kepang tidak ada yang sampai mengecap pendidikan tinggi bahkan ada yang tidak pernah bersekolah. Seperti terurai di atas, jaran kepang sangatlah kompleks permasalahannya untuk diteliti melalui berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Untuk itu, supaya penelitiaan ini mengarah kepada penelitian etnomusikologis, maka penulis akan mengkaji hal-hal yang berdimensi etnomusikologi. Untuk menempatkan penelitian jaran kepang kelompok Brawijaya ini sebagai penelitian etnomusikologis, maka penulis meletakkan dasar keilmuan, yaitu penelitian ini adalah kajian musik dan pertunjukan dalam konteks kebudayaan masyarakat Jawa dan etnik lainnya di Binjai, Sumatera Utara. Penelitian ini juga akan memfokuskan kajian pada struktur musiknya, yang mencakup instrumentasi, gendhing atau lagu, frase, motif, Universitas Sumatera Utara bentuk melodi lagu, pola ritme, durasi, aksentuasi, dan seterusnya dengan menggunakan teori dalam etnomusikologi. Karena pertunjukan jaran kepang ini sangat luas wilayahnya, maka penulis melihat arahan Merriam tentang wilayah kajian etnomusikologi. Merriam mengemukakan bahwa secara garis besar terdapat enam wilayah kajian etnomusikologi, seperti yang diuraikannya sebagai berikut. Diantara wilayah kajian itu salah satunya adalah kebudayaan material musik. Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon. 1 Selain itu, setiap alat musik diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah-masalah teoretis perlu pula dicatat. Penelitian ini akan mendeskripsikan musik dan pertunjukan jaran kepang kelompok Brawijaya di Binjai, maka akan dilakukan kajian alat-alat musik yang digunakan dalam ensambel musik jaran kepang. Adapun kajian ini mencakup deskripsi alat-alat musik menurut sistem klasifikasi Sachs dan Hornbostel. Selain itu, alat-alat musik gamelan dalam pertunjukan jaran kepang juga mencerminkan perubahan musik dari asalnya di Jawa sampai ke Sumatera Utara. Seperti alat musik ini diproduksi sendiri oleh pengrajin alat musik, yang terutama dibuat oleh Bapak Ponimin. Alat musik yang lazim digunakan dan berubah adalah gong yang biasanya digantung di sini menjadi gong 1 Setelah ditemukannya alat-alat musik musical instrument yang sinyal utamanya adalah bersumber dari listrik yang kemudian diubah menjadi suara, maka muncul pula sebuah klasisikasi lanjutan yang disebut dengen elektrofon. Namun perlu dipahami pula, bahwa setiap masyarakat pendukung musik tertentu memiliki sistem klasifikasinya sendiri. Misalnya masyarakat China mengklasifikasikan alat musik berdasarkan jenis bahan yang digunakan. Masyarakat Jawa mengklasifikasikan alat musik berdasarkan teknik memainkannya. Masyarakat Mandailing mengklasifikasi-kan alat musiknya berdasarkan ensambel dan fungsi musikalnya. Universitas Sumatera Utara pelat yang digantung dengan tali di sebuah kotak resonator yang menurut Pak Ponimin disebut dengan gong duduk. Demikian juga bahan yang digunakan membuat alat-alat musik gamelan terbuat dari besi pelat mobil, bukan campuran tembaga gangsa seperti di Jawa. Kajian tentang aktivitas kreatif ini dalam rangka penelitian ini adalah mencakup hal-hal seperti berikut. Pertama, para pemusik Jawa di kawasan ini membuat alat musiknya sendiri, sebahagian mengacu pada alat-alat musik tradisional Jawa, sebahagiannya dimodifikasi sendiri. Mereka juga melakukan akulturasi dengan berbagai lagu etnik di kawasan Sumatera Utara, untuk mengiringi pertunjukan jaran kepang. Kratifitas lainnya kelompok Brawijaya memasukkan satu genre tarian sintren, yang juga melibatkan hipnotis dan alam gaib. Jadi para seniman musik dan tari jaran kepang Brawijaya dan kelompok lain di kawasan ini melakukan kreativitas-kreativitas seni: musik, tari, dan pertunjukan lain, disesuaikan dengan konteks dan penerimaan masyarakat pendukungnya. Dilatarbelakangi oleh pertunjukan jaran kepang Brawijaya seperti uraian di atas cukup menarik, maka penulis menentukan judul penelitian ini sebagai berikut: Kajian terhadap Struktuir Musik dan Pertunjukan Jaran Kepang Kelompok Brawijaya di Binjai.

1.2 Pokok Permasalahan