mengitari Sinuhun yang duduk di singgasana dhampar. Demikian juga jalannya kembali ke dalam. Yang berbeda dengan kelaziman tarian lain-lainnya, para penari
Bedhaya Ketawang selalu mengitari Sinuhun, sedang beliau duduk di sebelah kanan mereka. Pada tarian bedhaya atau serimpi biasa, penari-penari keluar-masuk dari sebelah
kanan Sinuhun, dan kembali melalui jalan yang sama.
2.4.6 Wayang Wong.
Wayang Wong adalah nama sebuah drama tari yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Di Bali, wayang wong merupakan drama tari bertopeng yang menggunakan
dialog bahasa Kawi yang selalu menampilkan wiracarita Ramayana. Di Jawa Tengah isitilah ini dipergunakan untuk menyebut pertunjukan drama tari berdialog Jawa prosa
yang biasanya membawakan lakon-lakon dan cerita Mahabharata dan Ramayana, yang diciptakan oleh Adipati Mangku Negara I pada akhir tahun 1750-an. Pada akhir abad
ke-19, pertunjukan istana ini berhasil dikeluarkan dari tembok istana oleh pengusaha China kaya bernama Gan Kam dan dikemas sebagai pertunjukan profesional dan
komersial. Oleh karena itu, jangkauan penontonnya sangat luas. Istilah wayang wong sering disebut pula wayang orang. Bahkan oleh karena pertunjukannya ditampikan di
atas panggung dan bukan pendapa lagi, drama tari Jawa yang pernah mengalami masa jaya pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an ini, untuk membedakan dengan
pertunjukan wayang wong yang lain disebut wayang orang purwa. Di daerah Istimewa Yogyakarta pernah berkembang pula dengan baik sebuah drama tari berdialog bahasa
Jawa prosa yang juga bernama wayang wong. Berbeda dengan wayang wong yang diciptakan oleh Adipati Mangku 1, wayang wong dari istana Yogyakarta merupakan
drama tari ritual kenegaraan, yang diciptakan oleh Hamengku Buwana I pada akhir tahun 1756. Di Jawa Barat, pernah berkembang pula sebuah tontonan berbentuk drama tari
berdialog bahasa Sunda prosa yang disebut wayang wong. Dari aspek kesejarahannya,
Universitas Sumatera Utara
jelas bahwa wayang wong Priangan ini mendapat pengaruh yang sangat besar dari wayang wong Jawa Tengah. Yang akan dibahas dalam bagian ini adalah wayang wong
gaya Yogyakarta yang sampai pada tahun 1929 merupakan pertunjukan ritual kenegaraan yang sangat megah.
Apabila dilacak sejarahnya, sebenarnya pertunjukan drama tari yang bernama wayang wong itu sudah sangat tua. Sebuah prasasti Jawa Kuna yaitu prasasti
Wimalasmara yang berangka tahun 930 M., telah menyebut pertunjukan ini dengan istilah Jawa Kuna, wayang wong. Namun demikian kita tidak bisa membayangkan
pertunjukan itu seperti apa. Sebuah karya sastra kakawin Sumanasantaka dari Jawa Timur dari abad ke-12 juga menyebutkan pertunjukan wayang wong ini. Walaupun tidak
jelas gambaran cerita-cerita yang berasal dan wiracerita yang dibawakan pasti berkisar pada Ramayana atau Mahabharata. Ketika pusat kebudayaan Jawa berpindah dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur sejak abad ke-10, para sastrawan Jawa, mulai menampilkan ceritera yang benar-benar berpijak pada sumber-sumber Jawa, yaitu Panji. Bisa
diperkirakan bahwa seniman Jawa, pada masa Jawa Timur juga berupaya, untuk menghadirkan sebuah drama tari yang tidak menampilkan wiracerita Ramayana dan
Mahabarata, melainkan menampilkan cerita Panji. Drama tari itu disebut raket. Kakawin Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca, pada tahun 1365 telah
membicarakan panjang lebar pertunjukan raket ini. Walaupun kita tidak bisa mendapatkan gambaran bentuk tontonan istana ini dengan jelas, namun setidak-tidaknya
ada petunjuk bahwa raket merupakan pertunjukan ritual untuk kesuburan dan kemakmuran negara. Sang raja sendiri, Hayam Wuruk serta ayah sang raja
Kertawardhana sering tampil pula dalam pertunjukan ini Theodore G.Th. Pigeaud 1960-1963.
Universitas Sumatera Utara
Robson dalam disertasinya yang berjudul Wangbang Widey: A Javanese Panji Romance 1971, mengutarakan. bahwa raket juga disebut raket lalangkaran
merupakan bentuk lain atau nama lain dari gambuh. Diduga keras bahwa di samping lahirnya drama tari yang disebut raket, drama. tari wayang wong yang membawakan
wiraceritera, Ramayana dan Mahabharata, masih tetap berkembang. Asumsi ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa di Bali yang merupakan pelestari budaya
Jawa. Timur, baik gambuh maupun wayang wwang atau wayang wong sampai kini masih hidup. Hanya saja drama tari yang sudah sangat tua, yang diperkirakan. masuk ke Bali
dari Jawa Timur pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15, terdesak oleh genre-genre drama tari yang lebih baru. Dengan cara membandingkan pertunjukan wayang wong Bali
dengan relif candi Panataran yang menampilkan wiracerita Ramayana, bisa diperkirakan penampilan wayang wong pada zaman Jawa Timur itu seperti pada penampilan yang
tergores pada relif candi Panataran. Adapun teknik tarinya kemungkinan besar seperti wayang wong Bali yang selalu menampilkan ceritera Ramayana.
Di Bali pertunjukan wayang wong selalu membawakan wiraceritera Ramayana, dan semua penarinya mengenakan topeng penuh. Apabila drama tari yang membawakan
lakon dan wiracerita Mahabharata dinamakan parwa; kemungkinan besar nama lengkap dari kedua drama tari itu adalah wayang wong Ramayana dan wayang wong Parwa.
Mengenai kedua drama tari tersebut menurut Beryl de Zoete dan Walter Spies 1973 yang pernah tinggal lama di Bali pada tahun l930-an sering menyaksikan kedua bentuk
seni pertunjukan itu dan mengatakan kalau sebenarnya kedua tarian tersebut merupakan genre yang sama. Bedanya, wayang wong dipertunjukkan pada sore hari, sedangkan
parwa pada malam hari menyusul pertunjukan wayang wong. Wayang wong yang merupakan drama tari bertopeng dengan menampilkan Rama sebagai sang pahlawan
Universitas Sumatera Utara
pada sore hari, parwa merupakan drama tari tak bertopeng yang menampilkan Muna sebagai pahlawan pada malam hari.
Dengan cara membandingkan antara relif candi Panataran yang menggambarkan wiracenta Ramayana serta relief candi-candi di Jawa Timur yang menampilkan
wiracenta Mahabharata seperti candi Jago, Tigawangi, Surawana, dan Kedaton dengan pertunjukan wayang wong dan parwa dan Bali, dapat diperkirakan bahwa pertunjukan
wayang wong pada zaman Jawa Timur mirip dengan pertunjukan wayang wong dan parwa Bali sekarang ini. Dugaan ini bisa diperkuat lagi apabila busana yang terekam
pada relif candi Panataran dan candi-candi lain di Jawa Timur dibandingkan dengan busana yangg tersungging pada wayang kulit Bali yang menampilkan lakon-lakon dari
wiracerita Ramayana dan Mahabharata. Pertunjukan. wayang kulit Bali yang membawakan ceritera Ramayana. biasa disebut sebagai Wayang Ramayana, sedangkan
yang menampilkan lakon-lakon dari wiracerita Mahabharata, disebut Wayang Parwa. Apabila dilacak sejarahnya sebenarnya penciptaan wayang wong di istana
Yogyakarta merupakan upaya, untuk menghidupkan kembali pertunjukan wayang wong dari masa Majapahit. Kiblat Sultan Hamengku Buwana I ke Majapahit sangat beralasan
oleh karena sebagai raja yang baru dan kerajaan yang merupakan bagian dari kerajaan Mataram Surakarta, ia ingin menampilkan sebagai raja yang sah yang mewarisi takhta
dari garis keturunan Majapahit. Dalam tradisi Jawa, seorang yang ingin menjadi raja bukan saja karena ia terbukti masih merupakan keturunan dan raja terdahulu akan tetapi
ia harus memiliki wahyu, berbagai benda pusaka, serta bisa menjaga keseimbangan dunia dengan melakukan hubungan spiritual dengan berbagat kekuatan alam Heine Geldern
1956. Ada tiga wahyu penting yang harus dimiliki oleh raja, yaitu wahyu nubuwah, wahyu hukumah, dan wahyu wilayah. Wahvu nubuwah mengesahkan raja sebagal wakil
Tuhan; wahyu hukumah mengesahkan raja adalah sumber hukum; dan wahyu wilayah
Universitas Sumatera Utara
mengesahkan raja sebagai penguasa dunia Selo Soemardjan 1962; juga Darsiti Soeratman 1989.
Ketika terjadi penandatangan Perjanjian Giyanti pada tahun 1775 yang mengesahkan pembagian kerajaan Mataram Surakarta menjadi dua, yaitu yang tetap
menjadi wewenang Sunan Paku Buwana III yang merupakan setengah dari kerajaan Mataram Surakarta, dan setengahnya yang menjadi hak Sultan Hamengku Buwana I yang
menggunakan nama kerajaan barunya, Kasultanan Ngayogyakarta Adiningrat. Ada beberapa pusaka yang diserahkan oleh Paku Buwana III kepada pamannya, Sultan
Hamengku Buwana . Pusaka-pusaka itu yang merupakan warisan dari raja-raja terdahulu ada yang berupa senjata tajam seperti tombak Kanjeng Kyai Plered, Kanjeng Kyai Baru,
Kanjeng Kyai Megatruh, Kanjeng Kyai Gadatapan, Kanjeng Kyai Gadawedana, yang berupa keris yaitu Kanjeng Kyai Kopek, Kanjeng Kyai Bethok, Kanjeng Kyai Sengkelat,
dan Kanjeng Kyai Jakapiturun; yang berupa bendera yaitu Kanjeng Kyai Tunggulwulung, Kanjeng Kyai Pare Anom, Kanjeng Kyai Puja, dan Kanjeng Kyai Puji;
yang berupa gong perang yaitu Kanjeng Kyat Tundung Mungsuh; Kanjeng Kyai Sima, Kanjeng Kyai Udanurum, dan Kanjeng Kyai Bijak; tiga tempat menanak nasi yaitu
Kanjeng Kyai Blawong, Kanjeng Kyai Kendhil Siyem, Kanjeng Kyai Berkat; juga sebuah gendang bernama Kanjeng Kyai Meyek, serta sebuah baju Kanjeng Kyai Antakusuma
atau Kanjeng Kyai Gundhil. Adapula sekitar 20 wayang kulit yang dianggap sebagai pusaka lain Kanjeng Kyai Jayaningrum Arjuna, Kanjeng Kyai Bayukusuma Bima, dan
sebagainya. Sebuah kitab ada yang dikeramatkan yang juga dianggap sebagai pusaka yaitu Kanjeng Kyai Surjaraja. Dua buah kereta berkuda kebesaran yang juga dianggap
sebagai pusaka adalah Kanjeng Kyai Jimat Sultan Hamengku Buwana III, 1814-1822 dan Kanjeng Kyai Garudha Yeksa Sultan Hamengku Buwana VI, 1855-1877. Kedua
kereta itu oleh kalangan umum disebut sebagai kereta kencana. Salah satu seni
Universitas Sumatera Utara
pertunjukan yang dianggap sebagai seni pusaka adalah wayang wong, yang diciptakan kembali oleh Sultan Hamengku Buwana 1.
Sudah barang tentu timbul pertanyaan, mengapa wayang wong diangggap sebagai pusaka Soedarsono dalam disertasinya yang berjudul Wayang Wong: The State Dance
Drama in the Court of Yoyakarta 1983 telah membuktikan bahwa pertunjukan wayang wong di keraton Yogyakarta bukanlah sekedar pertunjukan akbar sebagai kebanggan
istana akan tetapi memiliki makna yang lebih dalam yaitu sebagai pertunjukan guna menambah legitimasi kehadiran raja di atas tahta. Tema-tema yang ditampilkan dalam
lakon-lakon wayang wong selalu melambangkan kesuburan yang digambarkan lewat perkawinan atau perang antara dua keluarga yaitu Pandawa dan Kurawa.
Pertunjukan-pertunjukan akbar yang berlangsung dalam dua sampai empat hari empat malam itu selalu memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan istana, yaitu
ulang tahun bedirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, ulang tahun penting yang dalam tradisi Jawa disebut tumbuk yang terjadi delapan tahun sekali, serta pernikahan
putra-putri Sultan. Ciri-ciri ritual dari pergelaran wayang wong ialah : tempat pertunjukan di Tratag
Bangsal Kencana, dan Sultan sendiri duduk di tengah-tengah Bangsal Kencana mengahadap ke timur; pemilihan waktu pergelaran yang dimulai sejak jam enam pagi
selalu mengikuti perhitungan kalender Jawa; para penarinya adalah pernari terpilih, bahkan laki-laki semua; selain disediakan seperangkat sesaji juga terdapat doa-doa yang
isinya mengharapkan kemakuran negara dan raja. Bangsal Kencana adalah bangsal tanpa dinding yang merupakan pusat dari bangunan keraton. Tempat ini biasanya dipergunakan
sebagai tempat penghadapan pejabat tinggi negara untuk membuktikan kesetiaan mereka terhadap Sultan. Tepat di tengah-tengah Bangsal Kencana Sultan ketika menyaksikan
pertunjukan wayang wong duduk sendirian di atas kursi kebesaran menghadap ke timur.
Universitas Sumatera Utara
Pertunjukan yang dimulai tepat jam 06.00 pagi memiliki makna, bahwa pertunjukan itu dipersembahkan juga kepada Dewa Matahari yang dalam pantheon Jawa adalah Dewa
Surya. Dalam tradisi Jawa Hindu, Dewa ini identik dengan Dewa Wisnu, yang dalam pantheon Hindu merupakan Dewa Pemelihara Dunia. Gelar Sultan Hamengku Buwana
memiliki makna Pemelihara Dunia. Hal ini berarti bahwa ketika Sultan menyaksikan wayang wong, Sultan juga melakukan penghormatan kepada Dewa Surya atau Wisnu,
yang sebenarnya adalah dirinya sendiri. Mungkin pada saat itulah Sultan melakukan meditasi untuk menyatu dengan Dewa Surya atau Wisnu sesuai dengan konsep kerajaan
klasik Jawa yang mengacu kepada konsep devaraja dari India, akan tetapi dalam tata kehidupan politik di Jawa, dijabarkan menjadi ratu gung binathara yang berarti raja
besar yang didewakan. Pencandraan Sultan Hamengku Buwana I sebagai Dewa Wisnu banyak dijumpai dalam kitab-kitab Babad Mangkubumi misalnya mengibaratkan
pangeran Mangkubumi nama Hamengku Buwana I sebelum naik tahta, Lir Pendah Wisnu Bhatara yang berarti setampan Batara Wisnu M.C. Ricklefs 1974. Adapun
Babad Mentawis mencandra Sultan Lir upama ywang Wisnu lagya arseng tumameng marcapada yang berarti Seperti Ywang Wisnu yang sedang akan turun ke marcapada.
Penggunaan penari laki-laki semua dalam pergelaran wayang wong kemungkinan besar untuk menjaga jangan sampai pertunjukan yang berlangsung selama dua sampai
empat hari empat malam itu tercemar, seandainya ada penari perempuan sekoyong- koyong dalam keadaan haid. Bahkan tari Bedhaya Semang yang pernah beberapa kali
tampil di keraton Yogyakarta, ditarikan oleh sembilan penari pria, walaupun bedhaya adalah tari putri. Doa-doa, keselamatan, serta kemakmuran bisa dijumpai pada akhir teks
dan pertunjukan yang disebut Serat Kandha sebagai bukti bahwa pergelaran wayang wong di Yogyakarta merupakan sebuah ritual kenegaraan, semua kawula dalem atau
rakyat Yogyakarta diizinkan oleh Sultan untuk menyaksikan. Groneman dalam sebuah
Universitas Sumatera Utara
ulasannya tentang sebuah pertunjukan wayang wong yang pernah ia saksikan pada akbir abad ke-19 yang dituangkan dalam bukunya, berjudul De Wayang Orang Pregiwa in den
Kraton te Yogyakarta 1899 mengatakan bahwa setiap harinya pertunjukan akbar itu dikunjungi oleh tidak lebih dari 30.000 orang. Penonton yang berjumlah ribuan itu
sebenamya tidak bisa menikmati pergelaran dengan baik oleh karena semuanya duduk di atas halaman berpasir di bawah pohon sawo yang ridang. Namun demikian penduduk
Yogyakarta itu tetap setia duduk dengan tenangnya tanpa ada yang berisik. Walaupun mereka tidak bisa menyaksikan serta menikmati pertunjukan yang langka itu, namum
mereka sudah puas apabila sudah bisa duduk di pelataran istana yang sejuk itu mereka percaya bahwa kehadiran mereka di dalam keraton sudah mendapatkan berkah
keselamatan dari Sultan. Untuk jenis kesenian ini sampai saat ini penulis belum pernah menemukan jenis
kesenian ini di kota Binjai.
2.4.7 Wayang Kulit.