Labuhan Batu Utara, Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat, Kota Medan, Kota Pematang Siantar, Kota Padangsidempuan,
Kota Sibolga, Kota Tanjung Balai, Kota Binjai, Kota Tebing Tinggi dan Kota Gunung Sitoli.
2.6. Kota Binjai 2.6.1. Lokasi Penelitian Kota Binjai
Binjai adalah salah satu kota yang ada di propinsi Sumatera Utara. Sebagai kota yang berjarak kurang lebih 22 km dari ibukota propinsi Sumatera Utara dengan posisi
yang terletak di jalur perbatasan antara propinsi Sumatera Utara dengan Nangroe Aceh Darussalam menjadikan kota Binjai sebagai daerah strategis membuat penduduk yang
tinggal di kota Binjai menjadi beragam, serta cepat mengalami perubahan karena cepat mendapat informasi.
2.6.2. Sejarah Kota Binjai.
Berdasarkan penuturan dari orang-orang tua terdahulu yang diperkirakan mengetahui sejarah kota Binjai atau kisah-kisah yang sudah diriwayatkan dalam suatu
tulisan yang pernah dijumpai, mengatakan bahwa kota Binjai berasal dari kota kecil di pinggiran sungai Bingai. Awalnya adalah sebuah kampung kecil yang terletak di tepi
sungai Bingai. Nama Binjai sebenarnya diambil dari sebuah nama pohon besar yang bentuknya rindang, tumbuh dengan kokoh di tepi sungai Bingai yang bermuara di sungai
Wampu. Dimana pada saat pembukaan kampung dilakukan sebuah upacara adat yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan di bawah sebatang pohon yang besar tadi. Dari tempat inilah dimulai permulaan pembangunan rumah tempat tinggal yang lama kelamaan menjadi banyak dan
berkembang menjadi sebuah Bandar perdagangan sebab didukung sebuah jalur transportasi yang kala itu bisa menampung kapal-kapal besar yang datang. Karena itulah
banyak pedagang yang datang dari luar daerah seperti Stabat, Tanjung Pura bahkan ada yang berasal dari semenanjung Malaka. sumber Binjai Dalam Angka, 2003, Bappeda
Kota Binjai Seiring berjalannya waktu nama pohon itu yang menjadi melekat pada nama kota
tersebut dan kota tersebut menjadi besar dan semakin besar. Pada tahun 1822, Binjai sudah dijadikan Bandarpelabuhan untuk hasil pertanian lada yang diekspor dimana lada
ini berasal dari perkebunan lada yang berada di sekitar Ketapangai Pungai di kelurahan Kebun LadaKampung Damai di kecamatan Binjai Utara.
Pada tahun 1823 Gubernur Inggris yang berkedudukan di pulau Penang telah mengutus Jhon Anderson untuk pergi ke pesisir Sumatera Timur, pada saat kepergiannya
tersebut ia membuat suatu catatan yang menjadi sebuah buku dengan judul Mission to the Eastcoast Sumatera-Edinburg yang diterbitkan pada tahun 1826 di dalamnya terdapat
suatu keterangan yang menyebutkan ada sebuah kampung yang bernama Ba Bingai. Inilah yang menjadi asal mula kota Binjai. Pada tahun 1864 daerah Deli telah dicoba
ditanami tembakau oleh pioneer Belanda yang bernama J. Nienkyis. Setelah itu, pada tahun 1866 dilanjutkan dengan mendirikan Deli Maatschappiy. Ibid, 23
Hal ini yang menimbulkan keinginan Belanda untuk menguasai daerah tersebut yang termasuk dalam kerajaan Deli. Dengan taktik pecah belah Belanda berkeinginan
menguasai kota ini. Perlu diketahui, pada saat itu kota Binjai sudah termasuk ke dalam daerah Deli dan di setiap pembagian daerah sudah mempunyai penguasa yang diberi
nama “Datuk”. Maka pihak Belanda dengan keputusan sepihak mengangkat para datuk-
Universitas Sumatera Utara
datuk sendiri yang menurut penilaian mereka dapat bekerja sama dengan mereka. Walaupun demikian banyak juga penguasa setempat yang terpengaruh dengan politik ini.
Beruntunglah ada tiga orang datuk yang tidak termakan oleh politik ini yaitu : Datuk Kocik, Datuk Jalil dan Datuk Suling Barat dan mereka bertiga akhirnya yang melakukan
perlawanan terhadap pihak Belanda. Bersamaan dengan itu seorang datuk yang bernama Datuk Sungal melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan tiga datuk sebelumnya.
Karena Datuk Sunggal tidak menyetujui pemberian Konsesi tanah kepada perusahaan Rotterdanmy oleh Sultan Deli karena tanpa ada persetujuan ataupun perundingan dengan
pihak-pihak yang punya kepentingan untuk memberikan konsesi tesebut. Kemudian di bawah kepemimpinannya ditambah tiga datuk lainnya bersama rakyatnya di Timbang
Langkat dibuat benteng pertahanan untuk menghadapi Belanda. Pada tanggal 17 Mei 1872 terjadilah pertempuran antara masyarakat yang
dipimpin datuk melawan Belanda. Peristiwa inilah yang menjadi tonggak sejarah dan dijadikan hari jadi kota Binjai. Kemudian setelah itu pada tanggal 24 Oktober 1872
Datuk Kocik, Datuk Jalil dan Datuk Suling Barat dapat ditangkap oleh pihak Belanda. Kemudian disusul dengan pembuangan mereka bertiga ke Cilacap pada tahun 1873.
Dengan ditangkapnya ketiga datuk tersebut maka pihak Belanda dapat dengan leluasa mengeluarkan kebijakan yang mereka nilai dapat menguntungkan mereka.
Kebijakan mereka salah satunya adalah dengan mengeluarkan Instelling Ordonantie nomor 12 yang dengan dikeluarkannya kebijakan ini kota Binjai statusnya menjadi
Gemente dengan luas 267 Ha. Kejadian ini berlangsung pada tahun 1917. Ketika pergantian penjajah menjadi ke pihak Jepang. Maka kota Binjai mendapat
kepala pemerintahan yang baru dengan nama Kagujawa yang biasa disebut dengan Guserbu. Rentang waktu pergantian kepemimpinan penjajahan ini berlangsung antara
tenggang waktu 1942-1945.Setelah tahun 1945 terbentuklah pemerintahan kota Binjai
Universitas Sumatera Utara
yang dipimpin oleh ketua dewan eksekutif J. Runnabi dengan anggota Dr. RM. Djulham, Natangsa Sembiring dan Tan Hong Poh serta sebagai kepala pemerintahan Binjai adalah
Rm. Ibnu. Pada tanggal 29 Oktober di tahun yang sama T.Amir Hamzah diangkat menjadi Residen Kabupatn Langkat oleh Komite Nasional.
Setelah dua tahun berlalu dan pihak Belanda kembali menguasai Kota Binjai maka pemegang kekuasaan diganti dengan asisten Residen J. Bunger dan Rm. Ibnu
sebagai Wakil Walikota Binjai.Sejarah Binjai dilanjutkan dengan pergantian pemerintah Kota Binjai menjadi ASC Moree, kejadian ini berlangsung antara tenggang waktu 1948-
1950. Kemudian antara tahun 1950-1953 Status Kota Binjai berubah menjadi Kota Administratif Kabupaten Langkat dan sebagai Walikota adalah OK. Salamuddin. Masa
kepemimpinan OK. Salamuddin tergantikan oleh T. Ubaidullah, ia menjadi walikota Binjai antara tahun 1953-1956.
Pada tahun 1956 Kota Binjai berubah Status menjadi otonom Kotapraja dengan walikota pertama SS. Parumuhun. Perubahan status ini terjadi berdasarkan
dikeluarkannya Undang-undang Darurat nomor 9 tahun 1956. Perubahan status Kota Binjai menjadi Daerah Tingkat II di Propinsi Sumatera Utara terjadi pada tahun 1986.
Hal ini terjadi dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1986. Sehubungan dengan hal tersebut, wilayah Kota Binjai pun akhirnya diperluas menjadi
90.23 km2 dengan lima wilayah kecamatan yang terdiri dari sebelas desa dan Sembilan belas kelurahan.
Tahun 1993 berdasarkan keputusan Gubernur Sumatera Utara nomor 140- 1395SK1993 tertanggal 3 Juni 1993 tentang pembentukan enam desa persiapan dan satu
kelurahan persiapan terjadi pemecahan desa dan kelurahan yang mana jumlah desa menjadi tujuh belas dan kelurahan menjadi dua puluh. Ibid, 20
Universitas Sumatera Utara
2.6.3. Batas-batas Wilayah Administratif Kota Binjai.