Dalam perkembangannya yang lebih kemudian, Gambyong menjadi sebuah reportoar tari tunggal yang bisa pula ditampilkan dalam bentuk koreografi kelompok,
bahkan juga massal. Walaupun telah diperhalus, namun Gambyong yang berasal dari rakyat ini, pada tata busananya masih tetap ditampilkan dalam busana yang cukup
sederhana. Penari Gambyong hanya mengenakan kain pembalut tubuh bagian bawah dengan diberi lipatan-lipatan wiru di bagian depan, serta pembalut torso yang disebut
dengan angkin yang masih memperlihatkan sedikit bagian atas dari dadanya. la sama sekali tidak menggunakan sabuk, sedangkan selendang atau sampurnya hanya
disampirkan di pundak kanan. Kepala yang digelung hanya diberi hiasan sekedarnya, yaitu sisir serta bunga. Penampilannya di atas pentas juga masih memperlihatkan bahwa
asalnya dari tari yang menghibur para pria, yaitu dengan sedikit senyuman yang menawan. Para koreografer masih memiliki peluang untuk mencipta Gambyong dengan
gaya pribadi, yang biasanya diberi nama sesuai dengan gendhing atau lagu gamelan yang mengiringi, seperti misalnya Gambyong Pangkur, Gambyong Sumyar, dan Gambyong
Ayun-ayun. Ada sebuah tari Gambyong yang lain daripada yang lain yaitu Gambyong Pareanom. Nama Gambyong ini mengacu pada warna bendera Mangkunegaran yang
memiliki warna hijau dan kuning. Untuk menandai Gambyong ini, mekak yaitu busana bagian atas sejenis strapless berwarna hijau dan sampur selendangnya berwarna kuning.
2.4.5 Tari Bedhoyo Ketawan.
Menurut penulis kitab Wedhapradangga, pencipta tai Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung 1613-1645, raja pertama terbesar dari Kerajaan Mataram bersama
Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu. Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar
gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Konon pencipta
Universitas Sumatera Utara
gendhing pun menjadi sempurna. setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukan pada saat penobatan raja yang baru, tetapi
juga dipertunjukkan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau Tingalan Dalem Jumenengan.
Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Sultan Paku Buwana ke-XII sekarang, hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya.
Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami perubahan pada berbagai aspek, walapun bentuk tatanan pertunjukannya, masih mengacu pada tradisi ritual masa
lampau. Namun nilainya telah bergeser menjadi sebuah warisan budaya yang nilai seninya dianggap patut untuk dilestarikan. Busana Tari Bedhoyo Kelawang
menggunakan dodot ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan yang menjadikan penarinya terasa anggun.
Gamelan yang mengiringinya pun sangat khusus yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Renggo. Instrumen gamelan yang dimainkan hanya beberapa,
yakni kemanak, kethuk kenong, kendhang ageng, kendhang ketipung, dan gong ageng. Istrumen-istrumen tersebut selain dianggap khusus juga ada yang mempunyai nama
keramat. Dua buah kendang ageng bernama Kanjeng Kyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar, dua buah rebab bemaina Kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng Kyai Lipur serta
sebuah gong ageng bemama Kanjeng Nyai Kemitir. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana XII kini diselenggarakan pada hari kedua bulan
Ruwah atau Sya’ban dalam kalender Jawa. Bedhaya Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur dan makna serta sifat yang erat hubungannya
dengan: adat upacara seremoni; sakral; religius; tarian percintaan atau tari perkawinan. Adat upacara. Bedhaya Ketawang jelas bukan suatu tarian yang untuk tontonan
semata-mata, karena hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang
Universitas Sumatera Utara
resmi sekali. Seluruh suasana menjadi sangat khusus, sebab tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan dengan peringatan ulang tahun tahta kerajaan saja. Jadi tarian
ini hanya sekali setahun dipergelarkannya Selama tarian berlangsung tiada hidangan keluar, juga tidak dibenarkan orang merokok. Makanan, minuman, atau pun rokok
dianggap hanya akan mengurangi kekhidmatan jalannya upacara adat yang suci ini. Sakral Bedhaya Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratunya seluruh
mahluk halus. Bahkan dipercaya bahwa setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang penciptanya selalu hadir bahkan ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya,
kecuali mereka yang peka indrawinya saja, sang pencipta mampu dilihat. Konon dalam latihan-latihan yang dilakukan, sering pula sang pencipta ini terlihat membetul-betulkan
kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka terkadang penari yang bersangkutan saja yang merasakan kehadirannya. Ada dugaan,
bahwa semula Bedhaya Ketawang itu adalah suatu tarian di candi-candi. Segi religius dapat diketahui dari kata-kata yang dinyanyikan oleh suarawatinya.
Antara lain ada, yang berbunyi : ... tanu astra kadya agni urube, kantar-kantar yen mati ngendi surupe, kyai? kalau mati kemana tujuannya, kyai?. Tari Percintaan
atau Tarian Perkawinan. Tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan cinta asmara Kangjeng Ratu kepada Sinuhun Sultan Agung. Semuanya itu terlukis dalam
gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Namun demikian cetusan segala lambang tersebut telah dibuat demikian
halusnya, hingga mata awam kadang-kadang sukar akan dapat memahaminya. Satu-satunya yang jelas dan memudahkan dugaan tentang adanya hubungan dengan
suatu perkawinan ialah, bahwa semua penarinya dirias sebagai lazimnya temantenmempelai yang akan dipertemukan. Tentang hal kata-kata yang tercantum
dalam nyanyian yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara
Universitas Sumatera Utara
Kangjeng Ratu, merayu dan mencumbu. Bila ditelaah serta dirasakan, pemirsa yang mengerti kata-katanya, dianggap akan mudah membangkitkan rasa birahi. Aslinya
pergelaran ini berlangsung selama dua setengah jam. Tetapi sejak zaman Sinuhun Paku Buwana X diadakan pengurangan, hingga akhimya menjadi hanya satu setengah
jam saja. Bagi mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan yang khusus ini berlaku suatu kewajiban khusus. Sehari sebelum tarian
ditarikan para anggota kerabat Sinuhun menyucikan diri, lahir dan batin. Peraturan ini di masa-masa dahulu masih ditaati benar. Walaupun terasa sangat memberatkan dan
meyusahkan, namun berkat kesadaran dan ketaatan serta pengabdian pada keagungan Bedhaya Ketawang yang khusus itu, segala peraturan tersebut dilaksanakan juga
dengan penuh rasa tulus dan ikhlas. Yang penting ialah, bahwa bagi mereka ini Bedhaya Ketawang merupakan suatu karya pusaka yang suci. Untuk inilah mereka
semua mematuhi setiap peraturan tata cara yang berlaku. Bagi para penari ada peraturan yang lebih ketat lagi, sebab menurut adat yang
dipercaya, mereka ini akan langsung berhubungan dengan Sang Ratu Kidul. Karena itu mereka juga selalu harus dalam keadaan suci, baik pada masa-masa latihan maupun pada
waktu pergelarannya. Sebagai telah dikemukakan di depan, Kangjeng Ratu Kidul hanya dapat dirasakan kehadirannya oleh mereka yang langsung disentuh atau dipegang, bila
cara menarinya masih kurang betul. Oleh karena itu, pada setiap latihan yang diadakan pada hari-hari Anggarakasih Selasa Kliwon, setiap penari dan semua pemain gamelan
beserta suarawatinya harus selalu dalam keadaan suci. Persiapan-persiapan untuk suatu pergelaran Bedhaya Ketawang harus dilakukan sebaik-baiknya, dengan sangat teliti. Bila
ada yang merasa menghadapi halangan bulanan, lebih baik tidak mendaftarkan diri dahulu. Di samping sejumlah penari yang tersedia diperlukan penari-penari cadangan.
Karena itu dipandang lebih bijaksana untuk memilih penari-penari yang sudah cukup
Universitas Sumatera Utara
dewasa jiwanya, sehingga kekhusukan dan ketekunan menarinya, akan lebih dapat terjamin.
Siapakah Pencipta Bedhoyo Ketawang ? Pertanyaan ini timbul, karena orang mulai berpikir, mengapa Bedhaya Ketawang itu dipandang demikian sucinya. Menurut
tradisi, Bedhaya Ketawang dianggap sebagai karya Kangjeng Ratu Kidul Kencanasari, yang adalah Ratu mahluk halus seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar Samudera. Pusat
daerahnya adalah Mancingan, Parangtritis, di wilayah Yogyakarta. Tetapi menurut R.T. Warsadftiingrat abdidalem nryaga Kraton Solo, sebenarnya Kangjeng Ratu Kidul
hanya menambahkan dua orang penari lagi, sehingga, sembilan orang, kemudian penari tersebut dipersembahkan kepada Raja Mataram. Menurutnya penciptanya awal justru
adalah Bathara Guru, pada tahun 167. Semula disusunlah satu rombongan yang terdiri dari tujuh bidadari, untuk menarikan tarian yang disebut Lenggotbawa. Iringan gamelan
awalnya hanya lima macam; berlaras pelog, pathet lima, dan terdiri atas: gending - kemanak, laras jangga kecil manis penunggul; kala – kendhang; sangka, - gong;
pamucuk – kethuk; sauran - kenong. Jika demikian, maka Bedhaya Ketawang itu sifatnya Siwaistis dan umur Bedhaya
Ketawang sudah tua sekali, lebih tua daripada Kangjeng Ratu Kidul. Bahkan menurut G.P.H. Kusumadiningrat, pencipta Lenggotbawa adalah Bathara Wisnu, tatkala duduk di
Balekambang. Tujuh buah permata yang indah-indah telah diciptanya dan diubah wujudnya menjadi tujuh bidadari yang cantik jelita yang kemudian menari-nari mengitari
Bathara Wisnu dengan arah memutar ke kanan . Melihat hal ini sang Bathara sangat senang hatinya, karena dewa dianggap tidak pantas menoleh ke kanan dan ke kiri, maka
diciptanyalah mata yang banyak sekali jumlahnya, letaknya tersebar di seluruh tubuhnya. Menurut Sinuhun Paku Buwana X, Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang
cinta Kangjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senapati. Segala geraknya melukiskan
Universitas Sumatera Utara
bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun selalu dapat dielakkan oleh Sunuhun, bahkan Ratu Kidul lalu memohon, agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di samudera dan
bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rwnawijaya di dasar lautan.. Namun Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Kangjeng
Ratu Kidul, karena masih ingin mencapai sangkan paran. Selanjutnya begitu beliau mau mempensunting Kangjeng Ratu Kidul, konsekuensinya secara turun temurun.
Keturunannya yang bertahta di pulau Jawa akan terikat janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada saat peresmian kenaikan tahtanya. Kangjeng Ratu Kidul sendirilah yang
diminta datang di daratan untuk mengajarkan tarian Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan Sinuhun. Pelajaran tarian ini diberikan setiap hari
Anggarakasih, dan untuk keperluan ini Kanjeng Ratu Kidul diperkirakan akan hadir. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut juga
Ketawang Gedhe. Gendhing ini tidak dapat dijadikan gendhing untuk klenengan, karena resminya memang bukan gendhing, melainkan termasuk tembang gerong . Garnelan
iringannya, sebagai telah diterangkan di depan, terdiri dan lima macam jenis: kethuk kenong, kendhang, gong, dan kemanak. Dalam hal ini yang jelas sekali terdengar ialah
suara kemanaknya. Tarian yang diiringi dibagi menjadi tiga adegan babak. Anehnya, di tengah-tengah seluruh bagian tarian larasnya berganti ke slendro sebentar sampai dua
kali, kemudian kembali lagi ke laras pelog, hingga akhimya. Pada bagian babak pertama diiringi sindhen Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat
mengiringi jalannya penari ke luar dan masuk lagi ke Dalem Ageng Prabasuyasa alat gamelannya ditambah dengan rebab, gender, gambang dan suling. Ini semuanya
dilakukan untuk menambah keselarasan suasana. Selama tarian dilakukan sama sekali tidak digunakan keprak. Keluarnya penari dari Dalem Ageng Prabasuyasa menuju ke
Pendapa Ageng Sasanasewaka, dengan berjalan berurutan satu demi satu. Mereka
Universitas Sumatera Utara
mengitari Sinuhun yang duduk di singgasana dhampar. Demikian juga jalannya kembali ke dalam. Yang berbeda dengan kelaziman tarian lain-lainnya, para penari
Bedhaya Ketawang selalu mengitari Sinuhun, sedang beliau duduk di sebelah kanan mereka. Pada tarian bedhaya atau serimpi biasa, penari-penari keluar-masuk dari sebelah
kanan Sinuhun, dan kembali melalui jalan yang sama.
2.4.6 Wayang Wong.