Persebaran Jaran Kepang. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA

dan simbolis berkaitan dengan dualisme di dalam alam semesta yang masih muncul atau masih bisa dilihat di dalamnya. Soedarsono 1983:143 menjelaskan pertunjukan Jaran Kepang pada sebelum Islam berkembang abad XV dilaksanakan dalam upacara pemujaan ritual worship. Kuda secara metafonk dalam pertunjukan Jaran Kepang berfungsi untuk melanjutkan hubungan antara masyarakat pendukung dengan roh orang yang sudah meninggal. Perkembangan selanjutnya, Jaran-Kepang ditampilkan dalam upacara bersih desa, yang berfungsi untuk menghalau roh-roh jahat penyebab penyakit dan malapetaka lainnya. Dewasa ini pertunjukan Jaran Kepang masih ada unsur religinya yang ditandai masih adanya peristiwa kesurupan kemasukan roh halus pada para pemain pertunjukan.

3.5. Persebaran Jaran Kepang.

Jaran Kepang yang pada awalnya hidup pada masyarakat Jawa di pulau Jawa, telah menyebar ke berbagai wilayah Nusantara. Hal tersebut berlangsung bersamaan dengan perpindahan orang Jawa dari suatu daerah ke daerah lain. Salah satu daerah daerah penyebaran budaya Jawa yaitu di daerah-daerah pemukiman sektor perkebunan daerah Pertanian, seperti di pinggiran Kota Medan dan sekitamva. Untuk menjelaskan kedatangan orang Jawa ke Sumatera Utara maka penulis mengutip tulisan tentang jaran Kepang di kota Medan. Kedatangan masyarakat Jawa sebagai Pekerja Perkebunan secara besar besaran ke Propinsi Sumatera Utara - Medan sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda. Bekas daerah Perkebunan Belanda tersebut hingga kini didiami oleh masyarakat Jawa Mohammad Said, 1990:20. Etnis Jawa di Medan dewasa ini berjumlah 628.898 jiwa atau 33 dari total jumlah penduduk kota Medan 1.904.272 BPS Kota Medan 2003. Di daerah perkebunan tersebut, Universitas Sumatera Utara buruh-buruh berlatar belakang budaya Jawa tetap mempertahankan tradisi daerah asal, diantaranya melakukan pertunjukan kesenian: Ludruk, wayang, dan Jaran Kepang Edi Sedyawati, 1984:64. Salah satu wilayah pemukiman masyarakat Jawa tersebut adalah Kelurahan Tanjung Sari Medan. Di daerah ini juga terdapat suku bangsa lain, seperti Melayu, Karo, Batak, Mandailing, Minangkabau, Pakpak, Simalungun dan Aceh. Walaupun mercka sudah berbaur dengan berbagai suku bangsa yang lain, tetapi tradisi Jawa masih dipertahankan. Hal ini terlihat dari seni budaya dan bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Hildred Geertz 1982 menjelaskan orang Jawa di dalam kehidupan sehari-hari sangat kuat memegang tradisi leluhumya, baik dari tutur kata, kekerabatan, hubungan sosial maupun seni budayanya. Keluarga inti merupakan orang-orang yang terpenting di dalam meneruskan suatu tradisi. Mereka itulah yang memberi bimbingan moral dan mengajari nilai-nilai budaya Jawa kepada kerabat-kerabat terdekat. Di dalam siklus kehidupan mereka tidak lepas dari masalah kekuatan-kekuatan gaib makhluk-makhluk halus dan sesaji sajen, sehingga selalu ada upacara-upacara untuk terhindar dari makhluk-makhluk halus. Salah satu pertunjukan yang digunakan dalam upacara dalam siklus kehidupan, seperti perkawinan dan sunatan pada masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung sari adalah pertunjukan Jaran Kepang yang sampai saat ini masih hidup dan bertahan. Masyarakat Jawa di daerah ini berpandangan, pertunjukan Jaran Kepang dilaksanakan supaya terhindar dari gangguan makhluk-makhluk halus dan hiburan. Mulder 1999:3 menjelaskan, bahwa di dalam kehidupannya orang Jawa mencampurkan antara kehidupan beragma dengan kepercayaan lama nenek moyangnya. Universitas Sumatera Utara Pertunjukan Jaran Kepang dikenal masyarakat Medan secara luas, karena adanya kelompok Jaran Kepang yang mengadakan pertunjukan keliling. Dewasa ini, pertunjukan Jaran Kepang keliling jarang ditemukan, karena semakin sedikit lapangan terbuka yang dapat dimanfaatkan untuk pertunjukan tersebut secara bebas. Di sisi lain, pertunjukan tersebut tidak dapat dilakukan secara bebas setelah keluar peraturan pemerintah 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tabun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.yang menggariskan membuat pertunjukan atau membuat keramaian harus ada izin dari pemerintah terkait, seperti polisi dan kelurahan. Setelah pemberlakuan Undang Undang tersebut, pemain Jarang Kepang mengalami kesulitan mengurus izin pertunjukan dikarenakan keterbatasan pengeahuan tentang peraturan pemerintah tersebut juga karena keterbatasan dana dalam pengurusan izin. Berdasarkan grand toue Oktober 2004, di Kelurahan Tanjung Sari terdapat dua kelompok Jaran Kepang yang bernama Tunggal Wargo dan Darma Kusurna. Kelompok tersebut jarang main di Kelurahan Tanjung Sari, apakah mulai berubah dan pandangan masyarakat terhadap pertunjukan? Kelihatannya lebih mengarah sebagai pertunjukan seperti biasa atau sebagai hiburan. Anggotanya pun sudah ada yang tidak mau kesurupan dan pertunjukan Jaran Kepang tampil berdasarkan pesanan, seperti: acara perkawinan, sunatan dan Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus, sudah jarang tampil secara sukarela ngamen. Selain hal tersebut, peralatan yang dipergunakan sudah mulai usang. Pada hakekatnya pertunjukan Jaran Kepang mengandung unsur seni dan religi; keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila dipisah menjadi berubah makna dan bentuk pertunjukannya. Menurut pelaku senijaran kepang, unsur religi yang menghadirkan makhluk halus ini yang membuat daya tarik pertunjukan Jaran Kepang. Pada saat kesurupan tersebut mereka dapat melakukan atraksi-atraksi yang menarik seperti makan kaca, bunga, kelapa dan lain-lain. Namun, Universitas Sumatera Utara untuk -mempertahankan unsur religi bukanlah hal yang mudah. Karena para anggotanya sudah ada yang tidak mau kesurupan. Padahal jika anggota dari grup kuda kepang tidak ada yang kesurupan maka atraksi yang menunjukkan unsur religi atau mistis sulit untuk ditampilkan dalam pertunjukan jaran kepang. Sardono 2004:3 menjelaskan kesenian yang bermuara dari produk budaya lokal yang sedang menghadapi tantangan zaman, antara lain karena semangat modemisasi merebak di segala belahan dunia. Ruang religius yang terkandung di dalam kesenian semakin tidak berkembang. Kesenian hanya menjadi objek yang dikemas tanpa bermuara pada proses budaya masyarakat dan memperlemah budaya itu sendiri, akhirnya tersingkirkan. Sementara itu, Sedyawati menjelaskan di kota kebanyakan seni pertunjukan hanya berkaitan dengan kesenian saja, adanya imbalan jasa, adanya kesepakatan harga sebagai landasan. untuk mempergelarkan kesenian 1981:61. Di kota Binjai sendiri yang terdapat 12 grup kuda kepang dalam pertunjukannya masih mengandalkan unsur religius seperti atraksi-atraksi kekebalan tubuh, makan kelapa namun yang penulis jumpai sangat jarang sekali ada pertunjukan makan kaca. Atraksi kebanyakan hanya berupa makan bunga yang sudah ditaruh dalam baskom yang berisi air yang sudah bercampur dengan kemenyan, mengupas buah kelapa dengan gigi pemain kuda kepang yang sedang trance, menyembuhkan orang yang sakit, berjalan di atas api serta memakan bara api. Penulis sendiri pernah mengikuti pertunjukan grup jaran kepang yang melakukan pertunjukan mengamen. Nama grup tersebut adalah Wahyu Satrio Putro. Grup ini dipimpin oleh Pak Ngoweh yang sekaligus pawing di grup ini dimana saat ini ia sedang menurunkan ilmu pawing serta kelanjutan grup kuda kepangnya kepa anak semata Universitas Sumatera Utara wayangnya. Menurut cerita orang Pak Sukiman pemain kendang grup jaran kepang Brawijaya, dab Ibu War sebenarnya pak ngoweh tidak mempunyai anak kandung jadi anak laki-lakinya semata wayang ini adalah anak dari kakak kandungnya sendiri yang diambilnya ketika baru lahir. Pak goweh pada awalnya memang pemain kuda kepang dari kecil, keluarganya pemain kuda kepang termasuk ayahnya yang juga sekaligus mengajknya untuk menjadi pemain kuda kepang. Lahir di kota Pemantang Siantar daerah perkebunan menjadikan pada waktu itu banyak pertunjukan kuda kepang sampai-sampai kehidupan ekonomi keluarga pak Ngoweh ditopang dari pertunjukan keliling yang dilakukannya bersama ayahnya. Sekarang , dengan grup Wahyu Satrio Putro yang dibangunnya bersama anaknya yang bernama Wahyu mereka tetap melakukan pertunjukan keliling di sekitar kota Binjai. Pak Ngoweh dan Wahyu mengatakan dalam mengamen mereka tidak kesulitan untuk mengurus izin pertunjukan. Sepanjang pengamatan penulis selama mengikuti pertunjukan mengamen mereka di dua tempat karena memang di dua tempat inilah mereka bisa melakukan pertunjukan mengamen, tempat tersebut adalah halaman rumah warga di jalan Gunug Wijaya Kesuma dan di halaman rumah sakit tentara Bangkatan Binjai. Dalam melakukan pertunjukan mengamen mereka tidak pernah mengurus surat izin kepada pihak manapun. Namun menurut pak Ngoweh dan Wahyu untuk melakukan pertunjukan mereka meinta izin secara langusn kepada warga pemilik halaman yang kebetulan adalah orang dikenal mereka dan ada hubungan keluarga dengan warga tersebut sedangkan jika melakukan pertunjukan di halaman rumah sakit tentara Bangkatan mereka meminta izin langsung kepada pimpinan rumah sakit tentara tersebut yaitu pak Saleh. Sedangkan di grup Brawijaya sendiri pada awal pembukaan grup kuda kepang mereka sering melakukan pertunjukan mengamen dengan tujuan anggota yang baru Universitas Sumatera Utara masuk agar berlatih tarian serta berlatih trance. Menurut pak Trisno anggota yang baru masuk harus berlatih tarian agar gerakan mereka kompak dan indah ketika melakukan pertunjukan. Selain itu menurut pak Trisno selain berlatih gerakan tarian mereka juga perlu berlatih trance, karena menurutnya jika badan pemain kuda kepang tidak terbiasa akan menyebabkan rasa sakit yang luar biasa sehingga dapat berakibat buruk pada tubuh pemain kuda kepang jika hal ini tidak dilatih maka kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan akan sangat mungkin terjadi. Tempat pertunjukan mereka berada di halaman rumah warga tetapi lebih sering di halaman rumah pak Trisno, karena halaman rumah pak Trisno cukup luas untuk melakukan pertunjukan jaran kepang. Namun karena para anggota jaran kepang sudah terbiasa dan kompak dalam gerakan tarian juga tidak mengalami kesulita pada saat trance maka pertunjukan yang biasanya dilakukan pada hari senin dan jumat di malam harinya tidak lagi dilakukan, karena menurut pak Trisno latihan ini sangat menguras tenaga sehingga banyak anggotanya yang mengeluh kelelahan karena tujuan pertunjukan ini sekaligus untuk melatih para penari agar gerakan kompak kalau sudah kompak tidak pelu lagi dilakukan. Kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan di dalam kehidupannya. Kebudayaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya mempunyai corak ragarn yang berbeda-beda, salah satu dari unsumya adalah kesenian. Edi Sedyawati 1981:119 menjelaskan kesenian diselenggarakan demi kelangsungan suatu tradisi. Kesenian tidak hanya sebagai suatu bentuk kegiatan estetis, tetapi dapat menunjang dan mendorong rasa kebersamaan antar masyarakat. Rasa kebersamaan ini yang ada dalam anggota jaran kepang Brawijaya yaitu pada saat mereka semua berusaha untuk Universitas Sumatera Utara E.B. Taylor dalam Usman Pelly, 1994:23 mengemukakan kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemarnpuan serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Linton ibid. menjelaskan, kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota suatu masyarakat. Herkovits dan Malinowski dalam Pelly, 1994:48 mengungkapkan kebudayaan turun menurun dari generasi yang satu ke generasi berikutnya akan tetap hidup terus atau berkesinambungan, meskipun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan karena kematian dan kelahiran. Jaran Kepang merupakan salah satu pertunjukan yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Jawa. Di dalamnya terdapat unsur seni, unsur religi, mengandung fungsi, makna dan simbol. Cassirer dalam Sujarwa, 1999:24 menjelaskan manusia makhluk yang penuh dengan lambang simbol. Melalui lambang atau simbol tersebut, budaya secara hati-bati diungkap. Kebudayaan sebagai wadah yang memuat pengalaman serta pengetahuan manusia secara keseluruhan diturunkan dan diajarkan dan generasi ke generasi berikutnya melalui sistem simboliknya. Pertunjukan Jaran Kepang merupakan salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat Jawa yang terkait dengan kesenian tradisional. Umar Kayam 1981:59 menjelaskan bahwa kesenian tradisional merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat tradisional yang mengandung sifat-sifat dan ciri-ciri yang terbatas pada lingkungan satu kultur. Kesenian tradisional merupakan cerminan dari masyarakat yang menunjangnya dan kreatifitas individu maupun masyarakat. Seni dan religi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pertunjukan Jaran Kepang. Apabila dipisahkan maka Universitas Sumatera Utara fungsi dan maknanya menjadi berubah. Bila dilihat dalam sistem budaya, seni dan religi merupakan bagian dari nilai. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa kesenian adalah salah satu di antara tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal. pada umumnya kesenian tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta berkaitan dengan nilai seni maupun religi. Kesenian tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sosial, dan kesenian muncul untuk kepentingan yang erat hubungannya dengan kepercayaan ataupun tradisi masyarakat setempat.

3.6. Jaran Kepang sebagai Seni Pertunjukan