Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

12

2.2 Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Fenomena persepsi yang keliru dari stakeholder terhadap pemanfaatan potensi sumberdaya ikan SDI yang dianggap sebagai sumberdaya yang dapat pulih renewable resorces sehingga dapat dieksploitasi secara tak terbatas infinite. Selain itu, sumberdaya ikan dianggap sebagai sumberdaya milik umum common property resources sehingga berlaku rejim open access, yang bermakna bahwa sumberdaya ikan tersebut tidak jelas sifat kepemilikannya relatif bersifat terbuka, maka siapapun dapat berpartisipasi tanpa harus memiliki sumberdaya tersebut. Makanya tidak jarang satu wilayah dimana jumlah tangkap melampaui daya pulih secara alami SDI tersebut atau sering disebut overfishing. Untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan sustainable fisheries, maka harus merubah rejim pengelolaan open access ke arah perikanan yang bertanggung jawab seperti yang dianjurkan dalam Code of Conduct forf Responsible Fisheries. Pada mulanya, pengelolaan sumberdaya perikanan banyak didasarkan pada faktor biologis semata, dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield MSY atau tangkapan lestari yang diperkenalkan oleh Schaefer tahun 1957. Konsep ini murni didasarkan pada pendekatan biologi semata. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi surplus, sehingga apabila surplus ini dipanen tidak lebih atau tida kurang maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan sustainable Fauzi 2004. Konsep MSY ini menuai kritik karena dianggap terlalu sederhana dan tidak mencukupi, karena tidak mempertimbangkan aspek-aspek lainnya utamanya sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam SDA. Menurut Conrad dan Clark 1987 diacu dalam Fauzi 2004 menyatakan bahwa kelemahan pendekatan MSY sebagai berikut : a. Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset begitu saja bisa mengarah pada pengurasan stok stok depletion. b. Didasarkan pada konsep steady state keseimbangan semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non steady state. 13 c. Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen input value. d. Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya. e. Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ragam jenis multi species. Salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik logistic growth model. Dalam persamaan tersebut di atas, memperlihatkan fungsi pertumbuhan logistik serta plot stok terhadap waktu beserta perilaku pencapaian ke arah daya dukung maksimum lingkungan carrying capacity. a b Gambar 2.1 Kurva Pertumbuhan Logistik Dari persamaan matematis dan diagram di atas panel a terlihat bahwa dalam kondisi seimbang ekuilibrium dimana laju pertumbuhan sama dengan nol = ∂ ∂ t x , tingkat populasi akan sama dengan carrying capacity. Sedangkan maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity tersebut K2. Tingkat ini disebut juga sebagai Maximum Sustainable Yield atau MSY. Pada panel b dari Gambar 2.1 di atas diperlihatkan bagaimana stok akan mencapai keseimbangan maksimum pada tingkat carrying capacity K tergantung tingkat pertumbuhan intrinsik r; semakin tinggi nilai r r 1 r 2 pada panel di atas, semakin cepat carrying capacity dicapai. Fx ½ K x K t x t K r 1 r 2 t 2 t 1 14 Meski banyak fungsi pertumbuhan yang bersifat density dependent, salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik logistic growth model . Fungsi logistik tersebut secara matematis sebagai berikut: 1 K x rx t x − = ∂ ∂ 2.1 Kurva pertumbuhan tersebut di atas dibangun dengan asumsi perikanan tidak mengalami eksploitasi. Model di atas kemudian dikembangkan dengan memasukkan faktor produksi tangkap ke dalam model. Untuk mengeksploitasi ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai sarana. Sarana tersebut dalam literatur perikanan biasa disebut sebagai upaya atau effort trip, tenaga kerja, kapal, jaring dan sebagainya yang dibutuhkan dalam aktivitas perikanan. Secara eksplisit, fungsi produksi yang sering digunakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan yang diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan effort dengan rumus sebagai berikut: t t t x qE h = 2.2 dimana q dikenal sebagai koefisien kemampuan tangkap atau catchability coefisient yang sering diartikan sebagai proporsi stok ikan yang dapat ditangkap oleh satu unit upaya. Sedangkan E t adalah fungsi dari upaya penangkapan trip dan x t adalah biomassa ikan. Dengan adanya aktivitas penangkapan, maka persamaan 2.1 akan menjadi: qxE K x rx h K x rx t x t − − = − − = ∂ ∂ 1 1 2.3 Fauzi 2004 bahwa dalam model Gordon-Schaefer ini, beberapa asumsi akan digunakan untuk memudahkan pemahaman. Asumsi-asumsi tersebut antara lain: 1. Harga per satuan output, diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna. 2. Biaya per satuan upaya c dianggap konstan. 3. Spesies sumberdaya bersifat tunggal single species. 4. Struktur pasar bersifat kompetitif. 15 5. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan tidak termasuk faktor pasca panen dan lain sebagainya. Gambar 2.2 menguraikan inti dari Model Gordon-Schaefer mengenai pengelolaan perikanan dalam dua rezim pengelolaan yang berbeda. Dalam kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka open access, keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat ∞ E , dimana TR total revenue sama dengan TC total cost. Pada kondisi ini rente ekonomi sumberdaya economic rent tidak diperoleh. Tingkat upaya pada posisi ini adalah tingkat upaya dalam kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai ”bioeconomic equilibrium of open access fishery” atau bioekonomik dalam kondisi akses terbuka. Gambar 2.2 Kurva Model Gordon-Schaefer Pada setiap tingkat upaya lebih rendah dari ∞ E sebelah kiri ∞ E , penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga penerimaan nelayan akan lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi akses yang tidak dibatasi, hal ini akan menyebabkan bertambahnya pelaku masuk entry ke industri perikanan. Sebaliknya pada tingkat upaya yang lebih tinggi dari di sebalah kanan ∞ E biaya total melebihi total penerimaan, sehingga banyak pelaku perikanan keluar exit dari perikanan. Dengan kata lain, keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras habis driven to Bia y a, Pe nerimaan TR TC TC Rp Π mak C B Upaya effort ∞ E E MSY E 16 zero sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Pada kondisi ini identik dengan ketiadaan hak kepemilikan property right sumberdaya. Keuntungan lestari yang maksimum maximum sustainable rent akan diperoleh pada tingkat upaya dimana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar garis BC= max π . Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai Maximum Economic Yield MEY atau produksi yang maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimum secara sosial socially optimum. Kalau dibandingkan dengan kondisi open access tingkat yang dibutuhkan jauh lebih besar dari yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Hal ini ini berarti terjadi misallocation karena kelebihan faktor produksi tenaga kerja dan modal yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk kegiatan produktif lainnya. Inilah sebenarnya inti prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Kondisi o E , tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih kecil dibandingkan untuk mencapat titik MSY MSY E . Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih ”conservative minded” lebih bersahabat dengan lingkungan dibandingkan dengan tingkat upaya.

2.3 Otonomi Pengelolaan Perikanan