II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pembangunan Perikanan Berkelanjutan
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dijelaskan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi,
dan kelestarian yang berkelanjutan. Pengelolaan perikanan merupakan suatu proses terintegrasi yang meliputi
pengumpulan dan analisis informasi, perencanaan, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya dan perumusan tindakan penegakan peraturan-peraturan di
bidang pengelolaan perikanan. Melalui pihak yang berwenang di bidang perikanan dapat mengendalikan perilaku pihak-pihak yang berkepentingan untuk
menjamin kelangsungan produktivitas perikanan dan kesejahteraan sumberdaya hidup Anonim 2001 diacu dalam Zamany 2002.
Memahami makna pembangunan perikanan selain memperhatikan aspek keberlanjutan tidak bisa hanya melihat dari satu atau dua dimensi saja tetapi
harus didekati dengan pendekatan menyeluruh yang menyangkut berbagai dimensi
dan terpadu.
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh World Commission on Enviromental and Development
WCED pada tahun 1987. Menurut Young 1992, Reid 1995 diacu dalam Kay dan Alder 1999, bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup 3 hal yang
utama yakni : a integritas lingkungan, b efisiensi ekonomi, dan c keadilan kesejahteraan equity memiliki makna bahwa pembangunan harus mampu
memperhatikan generasi saat ini dan yang akan datang dengan mempertimbangkan aspek budaya selain aspek ekonomi.
Begitu pula pendapat Cicin-Sain dan Knecht 1998 bahwa pembangunan berkelanjutan mancakup 3 konsentrasi yakni:
7 a.
Pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. b.
Pembangunan yang sesuai dengan lingkungan. c.
Pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejahteraan, yaitu keadilan penyebaran keuntungan pembangunan.
Bengen 2002 menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam
ambang batas limit pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak absolute,
melainkan merupakan batas yang luwes flexible yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta
kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan eksositem
alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak. Secara garis besar konsep
pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi yakni : a ekologi, b sosial-ekonomi-budaya, c sosial politik, dan d hukum dan kelembagaan.
Konsep lain yang dikemukakan Clark 1996 bahwa pembangunan berkelanjutan yakni konsep pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan
sustainable use of resources yang bermakna pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau
dihasilkan dalam kurun waktu yang sama. Dahuri 2003a mengemukakan bahwa pembangunan wilayah pesisir
harus memenuhi kriteria pembangunan yang berkelanjutan sustainable development
yang dikelompokkan menjadi 4 aspek yakni: ekologis, sosial, ekonomis, dan pengaturan governance. Mubyarto dan Bromley 2002
memberikan gagasan baru dalam pembangunan, yaitu tentang pentingnya peran kelembagaan dalam pembangunan. Selama aspek kelembagaan belum
diperhatikan dengan baik, maka akan sulit untuk merumuskan dan melaksanakan aktivitas pembangunan yang mendukung terwujudnya pemerataan sosial,
pengurangan kemiskinan, dan usaha-usaha peningkatan kualitas hidup lainnya. Aspek kelembagaan ini berperan penting dalam meningkatkan kemampuan
8 ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam memanfaatkan
kesempatan ekonomi yang ada. Sementara itu, Alder et al. 2000; Pitcher 1999; Pitcher dan Power
2000; dan Pitcher dan Preikshot 2001, melakukan penilaian sumberdaya perikanan berkelanjutan dengan mengembangkan program Rapfish yang meliputi
5 dimensi yakni : ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etik. Beberapa literatur yang lain menambahkan aspek teknologi, walaupun sebenarnya dapat ditinjau
pula dari aspek ekologis, seperti aspek etika yang dapat dimasukkan ke dalam aspek sosial budaya. Barangkali bukan pengelompokkan aspek besar tersebut
yang penting, tetapi atribut atau kriteria pada setiap aspek tersebut yang lebih penting sehingga mencakup seluas mungkin atribut yang dapat digunakan untuk
menilai status pembangunan wilayah pesisir. Walaupun selama ini konsep keberlanjutan dalam perikanan sudah mulai
dapat dipahami, namun dalam menilai secara komprehensif dan terpadu nampaknya mengalami kesulitan dalam menganalisisnya. Diharapkan dalam
pengambilan kebijakan benar-benar berdasarkan kajian ilmiah secara terpadu dan realistis. Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi
dari paradigma konservasi biologi ke paradigma rasional ekonomi, kemudian ke paradigma sosialkomunitas. Namun, ketiga paradigma tersebut masih tetap
relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pembangunan perikanan yang berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga
aspek tersebut di atas. Oleh karena itu, konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung aspek Charles 2001 :
a. Ecological sustainability keberlanjutan ekologi. Dalam pandangan ini
memelihara keberlanjutan stokbiomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem
menjadi perhatian utama. b.
Socioeconomic sustainability keberlanjutan sosio-ekonomi. Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan
keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan kata lain, mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan
9 masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian kerangka
keberlanjutan. c.
Community sustainability keberlanjutan komunitas, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat
haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. d.
Institutional sustainability keberlanjutan kelembagaan. Dalam kerangka ini, keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan aspek
finansiil dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat ketiga pembangunan keberlanjutan di atas.
Berdasarkan definisi yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan perikanan berkelanjutan adalah langkah strategis pembangunan
dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan secara bijaksana dan konsisten untuk memenuhi kebutuhan manusia saat sekarang dan juga untuk generasi yang akan
datang secara berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etik.
Selama ini kajian stok perikanan, seringkali lebih difokuskan pada status stok relatif dengan acuan biologi, misalkan tingkat kematian, spawning biomass
atau struktur umur Smith 1993, atau untuk mendiagnostik dini tentang kenderungan depletion atau collapse Pitcher 1995 diacu dalam Pitcher dan
Preikshot 2001. Selanjutnya, penilaian stok didasarkan para prediksi sejumlah parameter yang cukup banyak dan pengukuran data historis dari perikanan dan
dari survey biomassa independent. Bagaimanapun, ada ketidaksepadanan antara kompleksitas dari model penilaian stok dan tingginya tingkat ketidakpastian yang
tak terpisahkan di dalam penelitian perikanan Walters 1998. Pada waktu yang sama, luasnya data yang dibutuhkan menghambat aplikasi dari model ini di dunia
perikanan. Lebih dari itu, penilaian stok konvensional berhubungan hanya dengan aspek ekologis saja, atau adakalanya dengan kondisi ekonomi, namun juga
perikanan pada kenyataannya merupakan suatu multi-disciplinary usaha manusia yang meliputi aspek sosial, teknologi, dan implikasi etik.
Dalam pengelolaan perikanan yakni bagaimana meningkatkan upaya manusia untuk memanipulasi ekologi ikan Jentoft 1998 diacu dalam Fauzi dan
Anna 2005, terpisah dari ekonomi, kebanyakan analisa aspek manusia perikanan
10 sosial kurang diperhitungkan atau kurang diprediksi. Meskipun demikian,
dimensi manusia ini menjadi sangat berkaitan dengan tipe alat tangkap, kapal, pasar, biologi dan ketahanan ekonomi, manajemen, alokasi dan pembangunan
kembali stok ikan yang mengalami deplesi atau collapse, bahkan studi perikanan dapat dikaji secara multi-disciplinary dengan sebaik-baiknya.
Rapfish adalah suatu teknik penilaian cepat yang dirancang sesuai dengan
tujuan, transparan, evaluasi multi-disciplinary, tetapi tidaklah diharapkan untuk menggantikan metode konvensional dalam penilaian stok dalam pengaturan kuota
Pitcher dan Preikshot 2001. Metode ini telah dikembangkan oleh University of British Columbia, Canada. Hasil Rapfish dapat direplikasi dan bersifat obyektif
secara numerik Pitcher dan Power, 2000. Rapfish merupakan analisis evaluasi keberlanjutan sederhana namun komprehensif, assessment terhadap sumberdaya
dapat dilakukan secara utuh sehingga hasil studi ini dapat dijadikan bahan acuan melakukan assessment terhadap pengelolaan perikanan di daerah lain. Replikasi
dapat dilakukan untuk assessment status perikanan overtime maupun antar perikanan di suatu wilayah ataupun antar wilayah untuk assessment yang lebih
luas Fauzi dan Anna 2005. Dengan menggunakan multidimensional scalling MDS dan metode ordinansi guna melakukan penilaian secara relatif
keberlanjutan perikanan. Rapfish melakukan skoring terhadap sejumlah atribut dari 5 dimensi yang terdiri dari: ekologi, ekonomi, sosial, tehnologi, dan etik.
Karakteristik rapid appraisal
, merupakan suatu metode pendekatan top down
dengan memanfaatkan definisi nilai dan kriteria untuk mengevaluasi sistem perikanan Adrianto et al. 2005. Beberapa contoh aplikasi Rapfish antara lain: di
North Atlantic Chuenpagdee dan Alder 1999, di Gulf of Marine Fisheries Pitcher dan Preikshot 2001, di Kepulauan Seribu-Jakarta dengan mengembang-
kan RapSmile Susilo 2003, di Provinsi Bengkulu Masydzulhak 2004, di wilayah pesisir perikanan Jakarta Fauzi dan Anna 2005, dan Prawoto 2005
mengembangkan Rapfish dengan pendekatan sistem pakar. Metode analisis dan evaluasi keberlanjutan perikanan selain dengan
menggunakan metode Rapfish juga dapat menggunakan FAO Code of Conduct
11 Compliance
Pitcher 1999 dan Garcia et al. 1999 dan International Instrument Complience
Chuenpagdee dan Alder 1999 Penerapan
Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF-FAO, sama
halnya dengan Rapfish dengan menggunakan pendekatan MDS. Dalam penyusunan CCRF dalam penelitian ini khususnya merujuk pada artikel 7 yang
diuraikan dalam 6 bidang yang terdiri dari: a sasaran manajemen, b kerangka kerja, c pendekatan pencegahan, d stok ikan, armada, dan alat tangkap, e
sosial ekonomi, dan f monitoring controlling survailanceMCS Pitcher 1999. Metode ini sudah diaplikasikan di perikanan Australia Garcia 1999 dan
perikanan Gulf of Maine Chuenpagdee dan Alder 1999. Metode
International Instrument Complience memfokuskan pada
pengukuran kualitatif atau kuantitatif pada level pemenuhan dalam pengelolaan perikanan dengan menggunakan beberapa instrumen Chuenpagdee dan Alder
1999. Dalam metode ini, rentang skor kriteria yang digunakan mulai dari 0 tidak memenuhi hingga 3 sangat memenuhi dan jumlah kriteria dibatasi hingga
6 per instrumen. Sebagai contoh aplikasi metode ini yang dilakukan Chuenpagdee dan Alder 1999 yang mengambil kasus di perikanan Gulf of Maine.
Menurut Adrianto
et al. 2004 bahwa metode tersebut di atas relatif
lebih memfokuskan pada pendekatan statik top down approach, dimana sejumlah pertanyaan hanya digunakan untuk obyek yang statik. Metode tersebut
juga tidak memasukkan peran stakeholder dalam mengevaluasi perikanan. Sehingga perlu dikembangkan metode pendekatan bottom-up mengingat sistem
perikanan sangat dinamis dan komplek dengan menyertakan stakeholder lokal yang disebut ”local accepted”. Berdasarkan pertimbangan dari stakeholder
setempat dapat ditentukan indikator sustainability yang bersifat lokal, tingkat kepentingan, tingkat interaksi, keterkaitan, dan pola hubungannya. Indikator
sustainability dapat mendefinisikan variabel yang dapat mengukur atau menilai
status atau kondisi sistem perikanan Mendoza dan Prabhu 2002, seperti yang
telah dilakukan di Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan Adrianto et al.
2004; 2005.
12
2.2 Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan