24 total produksi ikan yang didaratkan di perairan Selat Bali adalah jenis ikan lemuru
S. lemuru Budihardjo et al. 1990. Demikian juga Merta 1992 menyatakan bahwa produksi lemuru yang didaratkan dari perairan Selat Bali berkisar antara
65,86-92,89 dari produksi total pada tahun 1984-1989. Berdasarkan data dari Resort Muncar tahun 1998, musim ikan lemuru Selat Bali menurut ukurannya
digolongkan seperti dalam Tabel 2.1 Tabel 2.1 Penggolongan ikan lemuru dan periode tangkap
No. Golongan Ikan
Ukuran Panjang cm Periode Bulan
1. 2.
3. 4.
Sempenit Protolan
Lemuru Lemuru Kucing
11 11-15
15-18 18
Agustus-Desember Januari-Desember
Mei-Desember Oktober-Desember
Sumber: DKP Propinsi Jawa Timur 2000; Merta 1992.
2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Lemuru Selat Bali
Dengan semakin meningkatnya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap purse seine di Selat Bali dan dalam rangka
memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab dengan memperhatikan kelestariannya serta menciptakan ketenangan berusaha bagi para
nelayan di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Bali, maka dikeluarkan kesepakatan antar dua propinsi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Selat
Bali tersebut sebagai berikut DKP Propinsi Jawa Timur 2000: a.
Surat Keputusan Bersama SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Gubernur KDH I Tingkat I Bali Nomor HK.13977EKle5277
tanggal 20 Mei 1977 tentang pengaturan bersama mengenai kegiatan penangkapan ikan di daerah Selat Bali. Dalam SKB tersebut, jumlah alat
tangkap purse seine yang boleh beroperasi di Selat Bali sebanyak 100 unit, dengan rincian masing-masing wilayah 50 unit.
b. Revisi SKB tahun 1978, dimana alat tangkap purse seine yang boleh
beroperasi sebanyak 133 unit, dengan rincian 73 unit untuk Propinsi Jawa Timur dan 60 unit untuk Propinsi Bali.
25 c.
Mengingat SKB tersebut masih tetap dilanggar, dimana jumlah alat tangkap purse seine di Muncar saja pada tahun 1983 sudah mencapai 200
unit. Maka pada tahun 1985 dikeluarkan SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor 7 tahun 19854 tahun 1985 dengan petunjuk
pelaksanannya berdasarkan SKB Kepala Dinas Perikanan Daerah Propinsi Jawa Timur dan Bali Nomor 02SKUtanI85523.4196UmK pada
tanggal 14 November 1992. d.
Pada tahun 1992 dilakukan penyempurnaan SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor 238 tahun 1992SKB 673 tahun 1992
dengan petunjuk pelaksanannya berdasarkan SKB Kepala Dinas Perikanan Daerah Propinsi Jawa Timur dan Bali Nomor 10 tahun 199402 tahun
1994 yang menetapkan jumlah purse seine yang boleh beroperasi sebanyak 273 unit, dengan rincian 190 unit untuk Jatim dan 83 unit untuk
Bali.
Gambar 2.4 Perairan Selat Bali www.encharta.com
26
2.8
Kerangka Pemikiran Penelitian
Pada setiap sistem pengelolaan pembangunan perikanan, tentunya memerlukan indikator kinerja performance indicators. Indikator kinerja tersebut
digunakan sebagai panduan dan tolok ukur, apakah kebijakan dan program pembangunan perikanan yang sedang atau yang telah dilaksanakan sesuai atau
telah menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pembangunan perikanan yang mengelola keanekaragaman hayati, yang bertujuan antara lain
untuk mencapai tingkat pemanfaatan sumberdaya hayati secara berkesinambungan sustainable, mampu meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi nelayan, serta
menjamin untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan industri. Pendekatan
holistic dalam mengkaji pembangunan perikanan
berkelanjutan secara cepat, sederhana, dan komprehensif yang mampu mengakomodasikan berbagai komponen yang menentukan keberlanjutan itu
sendiri. Komponendimensi tersebut menyangkut aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial, dan etik. Dari setiap komponen atau dimensi ada beberapa
atribut yang harus dipenuhi yang merupakan indikator keragaan perikanan sebagai indikator keberlanjutan. Dalam kajian ini, ada lima dimensikomponen dengan
masing-masing atribut yakni: a.
Dimensi Ekologi : terdiri dari 10 atribut yakni: tingkat eksploitasi, keragaman recruitment, perubahan tropic level, daerah perlindungan laut,
gejala penurunan jumlah ikan, ukuran ikan yang ditangkap, jumlah ikan yang tertangkap sebelum dewasa, jumlah tangkap ikan non target yang dibuang,
jumlah spesies yang ditangkap, produktivitas primer. b.
Dimensi Ekonomi: terdiri dari 9 atribut yakni: profitabilitas usaha perikanan, konstribusi perikanan terhadap GDP, pasar, tingkat pendapatan masyarakat
nelayan, sumber pendapatan lainnya, sektor ketenagakerjaan, penerima keuntungan, tingkat subsidi, pembatasan jumlah nelayan, nilai pasar usaha.
c. Dimensi Sosial: terdiri dari 10 atribut yakni: sistem atribut usaha perikanan,
tingkat pertumbuhan komunitas, jumlah rumah tangga perikanan, pengetahuan lingkungan environmental awareness, tingkat pendidikan,
status konflik, tingkat keterlibatan nelayan, tingkat pendapatan usaha perikanan, partisipasi keluarga.
27 d.
Dimensi Teknologi: terdiri dari 10 atribut yakni: panjang trip, tempat pendaratan, penanganan pasca panen, penanganan di kapal, pemanfaatan alat
tangkap aktif, selektivitas alat, FAD, ukuran kapal, kemampuan alat tangkap, dan efek samping dari alat tangkap.
e. Dimensi Etik: terdiri dari 9 atribut yakni: kedekatan nilai dan kepercayaan,
alternatif pekerjaan, pertimbangan kearifan lokal dalam pengusahaan, manajemen pengambilan keputusan, pengaruh aturan pranata sosial, mitigasi
terhadap habitat, mitigasi terhadap ekosistem, illegal fishing, dan sikap terhadap limbah dan by catch.
Keseluruhan komponen ini diperlukan sebagai prasyarat terpenuhinya pembangunan perikanan yang berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam
FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries. Apabila kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan dan holistic ini tidak dipenuhi, maka pembangunan
perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan dan over exploitation. Rapfish
akan menghasilkan gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya perikanan kita, khususnya perikanan di daerah
penelitian, sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan perikanan yang Berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries
FAO 1995. Dalam kaitannya pembangunan berkelanjutan di era otonomi daerah, perlu
mengevaluasi bagaimana kinerja pengelolaan perikanan fisheries management yang telah dilaksanakan sejak diterapkannya UU. Nomor 22 Tahun 1999 dan UU
Nomor 32 Tahun 2004. Dalam penelitian ini akan mengimplementasikan the Code of Conduct for Responsible Fisheries
FAO khususnya article 7. Dimana ada 6 dimensi dan 43 atribut yang digunakan:
a. Management objectives 9 atribut.
b. Framework data and procedures 7 atribut.
c. Precautionary approach 9 atribut.
d. Stok, fleets, and gear 7 atribut.
e. Social and economic 6 atribut.
f. Monitoring, control, and surveillance MCS 5 atribut.
28 Untuk mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan
menggunakan pendekatan perpaduan antara metode Rapfish dengan multiple criteria analysis
MCA dan analisis keterkaitan indikator analysis of indicator linkages
, sehingga pendekatan ini lebih ”local accepted” dinamakan Modifikasi Rapfish MODRAPF
Hasil analisis status keberlanjutan pembangunan perikanan akan dipertajam lagi dengan analisis optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan
lemuru di Selat Bali dengan menggunakan pendekatan model Bioekonomi Statik. Model ini mengintegrasikan referensi biologi dengan ekonomi, hal ini mengingat
sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan open acces. Dalam penelitian ini akan memfokuskan kajian pada potensi dan pemanfaatan yang optimal untuk
single species yakni ikan lemuru S. lemuru Breeker 1853. Akses terhadap
sumberdaya yang tidak efisien serta berdampak terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang terjadi terhadap sumberdaya ikan
seperti kelebihan tangkap overfishing, overcapacity, kepunahan, depresiasi, dan degradasi. Permasalahan tersebut berdampak terhadap tingkat kesejahteraan
pelaku usaha perikanan sebagai akibat biaya eksploitasi yang semakin meningkat, produksi yang semakin menurun dan akhirnya menurunnya manfaatkeuntungan
dari kegiatan penangkapan. Kajian optimalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru juga didesain dalam 3 rejim pengelolaan yakni: maximum
economic yield MEY, maximum sustainable yield MSY, dan open acces.
Untuk selanjutnya hasil evaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan, maka perlu didesain
langkah-langkah strategis yang harus dilakukan guna menjaga kelestarian sumberdaya perikanan dan mampu memenuhi kebutuhan manusia seoptimal
mungkin. Untuk mengkaji hal tersebut akan didesain strategi-strategi pembangunan perikanan berkelanjutan spesifik lokal Kabupaten Banyuwangi
dengan menggunakan metode pendekatan AHP. Dalam penyusunan level-level dan atribut yang digunakan tetap memasukkan 5 dimensi utama tersebut di atas
yakni ekonomi, ekologi, sosial, teknologi, dan etik. Struktur hirarki yang akan digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.5.
29
Gambar 2.6 yang menyajikan garis besar kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari 3 bagian yakni: a Input evaluasi
sumberdaya ikan lemuru, b proses identifikasi permasalahan dan pendekatan analisis, dan c output kebijakan pembangunan perikanan berkelanjutan di
Perairan Selat Bali
Pembangunan Perikanan Berkelanjutan
Ekologi
PT Pemerintah
Swasta Masyarakat
Nelayan
Peningkatan Kesejatraan
Nelayan Pelestarian
Sumber Daya
Penegakan Hukum
LSM Ekonomi
Sosial Teknologi
Etik
Peningkatan Kemampuan
Armada dan Alat Tangkap
Menjamin Kebutuhan
Rakyat dan Industri
FokusL-1
Strategi L-5 Stakeholder
L-4 Komponen
Dimensi L-2
Peningkat an PAD
Penataan Sosial dan Kelembagaan
Pengembangan Ekonomi Rakyat
Ekplorasi Eksploitasi
Sumberdaya Sub Komponen
L-3
Gambar 2.5 Struktur analisis hierarki proses pembangunan perikanan berkelanjutan Kabupaten Banyuwangi
Gambar 2.6 Kerangka pemikiran penelitian
Ekologi Ekonomi
Sosial
Etik Teknologi
Input
Identifikasi Permasalahan
Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru
1. Sumber Pendapatan Nelayan
2. Memobilisasi Aktivitas
Ekonomi Wilayah 3.
Penyedia Bahan Baku industri pengolahan hasil perikanan
4. Sumber PAD
Pendekatan Analisis
Kebijakan Pembangunan
Perikanan Berkelanjutan di
Perairan Selat Bali
Output
CCRF Ekstraksi Sumberdaya Ikan
Lemuru
Overfishing, overcapacity,
depresiasi, dan degradasi
1. Ketimpangan Struktur
armada 2.
Tidak terkontrolnya jumlah armada dan jenis alat tangkap
3. Illegal fishing
Analisis Rapfish, Multi Criteria Analysis,
Analysis of Indicator Linkages
MODRAPF, Analytical Hierarchy Process
Analisis Bioekonomi, Analisis Degradasi,
Depresiasi, Pengelolaan sumberdaya optimal, dan
Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Implikasi Kebijakan
Penilaian multidimensional
dan komprehensif
Proses
Evaluasi Sumberdaya Ikan Lemuru
III. METODOLOGI PENELITIAN