135 dapat mengembangkan usaha perikanan lainnya yang dapat menjadi
sumber mata pencaharian alternatif. Misalnya pengembangan budidaya kerapu, udang barong dan lobster dalam sistem karamba jaring apung
KJA, budidaya rumput laut. Disamping itu, perlu dikembangkan industri kecil pengolahan berbahan baku perikanan misalnya agroindustri kerupuk
ikan, nugget ikan, pengolahan rumput laut siap saji, dan lain-lain. 3.
Menumbuhkan kesadaran etika bisnis yang professional di kalangan masyarakat perikanan. Berdasarkan pengalaman dan kajian lapang
menunjukkan bahwa perbankan selama ini agak kesulitan menyalurkan kredit usaha kecil ke masyarakat perikanan, dimana alasan utama yakni
karakter masyarakat perikanan yang kurang bisa dipercaya. Maka perlu ditumbuhkan norma-norma etika bisnis yang didasari oleh norma agama
dan norma sosial positif agar supaya mampu diaplikasikan dalam dunia bisnis yang dijalankannya. Upaya tersebut perlu ditempuh untuk
menciptakan atau merubah branch image citra masyarakat perikanan ke arah yang lebih baik.
4. Menumbuhkan jiwakarakteristik wirausaha enterpreneurship di
kalangan generasi muda nelayan. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa alternatif pola kegiatan antara lain: a pelatihan yang
berkesinambungan dan terstruktur bagi juragan, nelayan, dan pengusaha kecil untuk menstimulir jiwa kewirausahaan, dan b disemininasi dalam
kurikulum pendidikan muatan lokal dengan memasukkan materi kewirausahaan perikanan fisheries enterpreneuship.
C. Stakeholders yang berperanan dalam pembangunan perikanan
berkelanjutan
Stakeholders yang sangat berperanan penting untuk mengantarkan
pembangunan perikanan berkelanjutan di perairan Selat Bali untuk saat ini dan yang akan datang masih tetap memposisikan Pemerintah sebagai stakeholders
utama prioritas utama, selanjutnya diikuti masyarakat nelayan, swasta, perguruan tinggi, dan terakhir LSM lihat Gambar 5.34.
136
0.41 0.12
0.24 0.11
0.12
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5
Bobot Relatif
Pemerintah Swasta
Masnel LSM
PT
Stakeh old
er
Gambar 5.34 Prioritas utama stakeholders pembangunan perikanan berkelanjutan level 4
Peran pemerintah sangat dibutuhkan sebagai fasilitator, regulator, dan mediator untuk mengoptimalkan seluruh sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia perikanan berbasis pada keberlanjutan sehingga mampu menjadikan sektor perikanan sebagai sektor andalan dan strategis. Peran tersebut dapat
berjalan lancar apabila seluruh stakeholders yang berperan dalam pembangunan perikanan tersebut mengambil peran secara aktif yang didasari
atas kesadaran dan motivasi untuk menyelamatkan sumberdaya yang ada di perairan Selat Bali. Dengan didukung perangkat dasar hukum yang kuat,
pemerintah dapat menempatkan masing-masing stakeholders sesuai peran dan fungsi yang harus dijalankan. Misalnya untuk menekan kebiasaan nelayan
yang biasa menangkap ikan lemuru ukuran kecil sempenit, pihak pengusaha industri pengolahan harus sepakat dan secara tegas menolak untuk dijadikan
bahan baku tepung ikan. Sehingga diperlukan kesadaran, kejujuran, dan kerbukaan antara nelayan dan pengusaha. Rintisan untuk menumbuhkan
norma-norma positif yang mengikat seluruh stakeholders perlu dilakukan identifikasi sampai dengan dilakukannya kesepakatan masyarakat perikanan
atas norma-norma tersebut untuk dijadikan norma bersama sebagai perwujudan kearifan lokal.
137 Fasilitasi yang telah dilakukan pemerintah dalam konservasi sumberdaya ikan
yang berkelanjutan antara lain: 1.
Penetapan Laut Lindung fish sanctuary seluas 264 hektar di Teluk Papang yang dituangkan dalam Perda Kabupaten Banyuwangi No. 35
tahun 2003 tanggal 17 Desember 2003 seluas 264 hektar. 2.
Reboisasi hutan bakau seluas 40 hektar di Wringin Putih, Muncar. 3.
Reservat kepiting bakau di Kayu Aking, Muncar. 4.
Restocking lobster dan kerapu di Kayu Aking, Muncar. 5.
Terumbu karang buatan artificial reefs di Kayu Aking, Muncar. Laut lindung merupakan cara pengaturan dan tindakan pengelolaan yang
dilakukan dengan mendirikan perlindungan areal laut tertentu. Diharapkan kegiatan ini menunjang tercapainya tujuan konservasi dan pengelolaan seperti
perlindungan, pemanfaatan yang bertanggungjawab, rehabilitasi, terhadap kekayaan sumberdaya laut dan pelestariannya. Sehingga penetapan laut
lindung sebenarnya merupakan program yang sangat ideal, namun dalam perjalanannya tidak berlanjut atau terbengkalai. Hal ini sebagai akibat dari
kurangnya kesadaran masyarakat lokal secara meluas tentang pentingnya pelestarian sumberdaya ikan. Disamping itu juga kurang didukungnya aparat
dinas terkait yang profesional dalam mengelola fasilitas yang sudah ada serta hanya berorientasi sistem proyek belaka artinya setelah pekerjaan proyek
selesai maka telah usai juga tanggung jawabnya. Memang berdasarkan kenyataan di lapangan menujukkan bahwa sampai saat ini proyek-proyek
pemberdayaan sumberdaya ikan masih berpola top down program. Untuk itu, ke depan harus dengan konsisten mampu memadukan antara kemauan
pemerintahpejabat dengan kepentingan masyarakat lokal dalam suatu wadah konsep pengelolan sumberdaya perikanan partisipatif. Di wilayah Muncar
sudah dibentuk PSBK Sentosa Lestari yakni pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas yang mempunyai peran menangani isu-isu strategis yang
meliputi membuat rencana kerja rehabilitasi hutan bakau, pengelolaan kebersihan lingkungan, pelestarian habitat dengan pengelolaan daerah suaka
ikan, pengaturan wilayah penangkapan ikan, dan penyelesaian konflik antar kelompok nelayan. Isu-isu ideal tersebut berlangsung selama masa proyek,
138 namun pasca proyek maka selesai juga kegiatannya sehingga nampaknya
berdasarkan pernyataan dari pelaksana PSBK bahwa tingkat keberhasilannya masih jauh dari sempurna. Salah satu bukti yakni seluruh perangkat
komunikasi, rambu-rambu laut, dan peralatan lainnya sudah raib sehingga program tersebut hanya tinggal papan nama saja. Namun demikian upaya
konservasi dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan diharapkan memberikan dampak sosial dan dampak kepemimpinan ke depan. Dampak
sosial tersebut antara lain: 1.
Lesson learn dalam pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan yakni proses pembelajaran untuk seluruh stakeholders yang berperan dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan. 2.
Terjadi proses instutisionaliasi pengelolaan berbasis kurikulum lokal artinya terjadi upaya strategis dari lembaga pendidikan formal dan
informal untuk mengintrodusir pengetahuan dasar pengelolaan sumberdaya berkelanjutan dalam kurikulum muatan lokal.
3. Adanya perubahan secara mendasar dalam pola kebijakan pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang selama ini hanya bersifat ekploitasi dan eksplorasi semata ke arah kebijakan yang berbasis konservasi dan
keberlanjutan. Dampak kepemimpinan dari kegiatan ini adalah: yakni mampu mencetak
kader pemimpin, tenaga pendidik dan pemimpin yang sadar pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan. PSBK merupakan rezim derivatif yang
berasal dari rezim pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat PSPBM. Dengan kelebihan dan keunggulan PSBK, pada kenyataannya
masih belum berjalan sesuai dengan formula yang ideal. Kelemahannya antara lain: tidak mampu mengatasi masalah-masalah interkomunitas, bersifat
lokal mudah dipengaruhi faktor eksternal, dan sulit mencapai skala ekonomi, dan tingginya institusionalisasi. Sedangkan keuntungannya adalah sesuai
dengan aspirasi dan budaya lokal, diterima masyarakat lokal, pengawasan dilakukan dengan mudah.
Sejalan dengan era otonomi daerah yang memiliki 3 misi utama yakni desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan yang tertuang dalam
139 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Alasan pentingnya desentraliasasi
pengelolaan sumberdaya perikanan antara lain: a kekurangan personel, b kekurangan dana, c kekurangan fasilitas, d rendahnya legitimasi
pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan masyarakat, e kurangnya pemahaman pemerintah pusat terhadap permasalahan yang dihadapi
masyarakat, f lambatnya proses transfomasi kebijakan yang diambil di tingkat pusat ke dalam bentuk kebijakan aplikatif di tingkat daerah otonom.
Pada dasarnya masing-masing rezim pengelolaan memiliki kelebihan dan keunggulan, rezim yang berlaku dan efisien adalah yang spesifik lokasinya
dan memiliki batas-batas yang jelas seperti batas fisik, geografis, sosial, budaya, administratif, dan ekonomi. Rezim yang sesuai dengan wilayah dan
karakteristik masyarakat Muncar tidak dapat hanya satu jenis rezim PSPBMPSBK saja, akan tetapi bisa dikombinasi dengan rezim ko-manajemen
sehingga menjadi rezim baru sebagai derivasi dari keduanya. Penulis mengamati apabila dikembangkan pola kolaborasi keduanya sebagai upaya
penguatan Capacity Building derivasi kombinasi rezim PSPBM dengan ko- manajemen. Rezim ko-manajemen merupakan rezim derivatif PSPBM dan
rezim pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah. Dalam rezim ko- manajemen ini terjadi pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan
wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Inti ko-manajemen mengisyaratkan adanya kerjasama
antara pemerintah dengan masyarakat lokal. Dalam era otonomi daerah tentunya hubungan pelaku pembangunan perikanan di Selat Bali, utamanya
hubungan antara pemerintah Kabupaten Banyuwangi dapat bersinergi dengan masyarakat nelayan Muncar, disamping itu juga hubungan antara nelayan
dengan kelompok-kelompok masyarakat nelayan yang sudah terbentuk. Diharapkan seluruh stakeholders yang bermain dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan mampu mengoptimasi tujuan bersama, sehingga dapat menentukan visi jangka panjang dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan
yang berkelanjutan. Namun demikian tentunya untuk mencapai rezim kolaborasi berarti apa yang sudah dijalankan selama ini dikembangkan ke
arah ko-manajemen yakni penguatan peran pemerintah dan masyarakat lokal
140 sebagai pengambil keputusan utama. Peranan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan tergantung pada kemampuan hal negosiasi, pengetahuan, pengalaman, dan legitimasi dari masyarakat yang
mendukungnya, serta komitmennya selaku individu untuk mengutamakan kepentingan bersama. Disamping itu juga sangat tergantung dari kehendak
pemerintah secara politis political will dalam menyelamatkan sumberdaya perikanan bersama-sama dengan masyarakat. Melihat kondisi riil
pembangunan perikanan di Selat Bali, maka untuk ke depan, posisi pemerintah yang kuat masih sangat diperlukan tetapi ada kebijakan untuk menyerahkan
sebagian urusan pengelolaan sumberdaya perikanan sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat nelayan Muncar. Dalam pelaksanaan rezim ini tentunya
harus mampu melibatkan stakeholders lainnya bukan hanya nelayan tetapi juga bagaimana membagi tanggung jawab dan peran pengusaha perikanan,
Perguruan Tinggi, LSM. Nikijuluw 2002 memamparkan beberapa model ko- manajemen yang telah dikembangkan di beberapa negara antara lain: ko-
manajemen instruktif di Bangladesh perairan umum dan Zambia Danau Kariba, ko-manajemen konsultatif di Malawi Danau Malombe dan Philipina
Teluk San-Miquel, ko-manajemen kooperatif di Philipina Kawasan Lindung Laut, Pulau San-Salvador dan Amerika Serikat Dewan Pengelolaan
Perikanan Pasifik, ko-manajemen advokatif di Denmark Regulasi Waktu Penangkapan dan Sri Langka Perikanan Pukat Pantai, dan ko-manajemen
informatif di Belanda Organisasi Produsen Ikan Sebelah dan Muzambik Perikanan Pukat Pantai.
D. Alternatif Strategi Pembangunan Perikanan Berkelanjutan