Otonomi Pengelolaan Perikanan TINJAUAN PUSTAKA

16 zero sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Pada kondisi ini identik dengan ketiadaan hak kepemilikan property right sumberdaya. Keuntungan lestari yang maksimum maximum sustainable rent akan diperoleh pada tingkat upaya dimana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar garis BC= max π . Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai Maximum Economic Yield MEY atau produksi yang maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimum secara sosial socially optimum. Kalau dibandingkan dengan kondisi open access tingkat yang dibutuhkan jauh lebih besar dari yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Hal ini ini berarti terjadi misallocation karena kelebihan faktor produksi tenaga kerja dan modal yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk kegiatan produktif lainnya. Inilah sebenarnya inti prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Kondisi o E , tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih kecil dibandingkan untuk mencapat titik MSY MSY E . Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih ”conservative minded” lebih bersahabat dengan lingkungan dibandingkan dengan tingkat upaya.

2.3 Otonomi Pengelolaan Perikanan

Di dalam buku Ringkasan Agenda 21 Indonesia bagian Bab Pendahuluan KMNLH 1997 juga disebutkan bahwa sebenarnya di dalam Agenda Global, merekomendasikan pentingnya desentralisasi pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Namun, dalam Agenda Indonesia 21 memang tidak ada arahan yang mengisyaratkan pelaksanaan program pembangunan yang bersifat desentralisasi. Agenda Indonesia sebagai advisory document , nampaknya harus menyesuaikan diri guna mengimbangi dinamika dan tuntutan pembangunan saat ini yakni era otonomi daerah. Perubahan dari paradigma pembangunan lama yang sentralistik harus berubah menjadi pendekatan pembangunan yang bersifat 17 desentralistik. Sejalan dengan kondisi tersebut, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah lebih spesifik otonomi daerah, sebagai bentuk implementasi paling kompromis dari desakan federalisme di awal reformasi. Namun dalam perjalanannya dalam waktu yang singkat, Undang- Undang tersebut mengalami penggantian bukan sebagai revisi, maka terbitlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah lebih memfokuskan pada pemilihan kepala daerahPilkada. Kinerja pembangunan perikanan dan kelautan nasional pada masa lalu belum seperti yang kita harapkan, salah satu faktor yang terpenting adalah bahwa proses perencanaan dan pengambilan keputusan tentang pembangunan kelautan sangat sentralistik dan “top-down”. Oleh karena itu, lahirnya UU. No. 322004 tentang Pemerintah Daerah yang juga mencakup kewenangan daerah dalam mengelola sumberdaya kelautan merupakan angin segar bagi pembangunan perikanan dan kelautan yang lebih baik. Dalam pasal 18 disebutkan bahwa kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan mencakup paling jauh 12 mil laut dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan 13 sepertiga dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupatenkota. Kewenangan daerah dalam mengelola sumberdaya laut meliputi : a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. b. Pengaturan administratif yang meliputi perizinan, kelaikan, dan keselamatan. c. Pengaturan tata ruang. d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah. e. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan. f. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Jika selama ini terdapat kesan bahwa Pemerintah Daerah tidak peduli terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan termasuk pesisir secara berkelanjutan sangatlah wajar mengingat manfaat terbesar dari sumberdaya tersebut tidak mereka nikmati, melainkan dinikmati oleh Pemerintah Pusat. Namun dengan adanya pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan 18 sumberdaya kelautan yang berada dalam batas-batas yang telah ditetapkan, maka manfaat terbesar dari sumberdaya kelautan akan diperoleh Pemerintah Daerah dan masyarakat. Berdasarkan otonomi daerah ini, Pemerintah Daerah sudah memiliki landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan secara terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dalam upaya menerapkan pembangunan kelautan secara berkelanjutan. Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah seberapa besar keinginan dan komitmen Pemerintah Daerah untuk mengelola sumberdaya kelautan secara berkelanjutan yang berada dalam wewenang kekuasaannya. Pertanyaan di atas penting mengingat tidak seluruh daerah memiliki pemahaman yang sama akan arti pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan. Pembangunan kelautan berkelanjutan pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestarian sumberdaya kelautan. Artinya, bahwa sumberdaya kelautan dapat dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia namun tidak menjadikan lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri menjadi rusak. Isyarat pembangunan berkelanjutan dalam undang-undang ini seperti tersirat dalam pasal 17 ayat [1], bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundangan. Oleh karena itu, dalam pendayagunaan sumberdaya alam tersebut haruslah dilakukan secara terencana, rasional, optimal dan bertanggung-jawab disesuaikan dengan kemampuan daya dukungnya dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat serta harus memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup untuk terciptanya pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik pemanfaatan dan kekuasaan. Upaya penanganan masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan secara reaktif dan pro-aktif. Secara reaktif, artinya Pemerintah Daerah dapat 19 melakukan resolusi konflik, mediasi atau musyawarah dalam menangani masalah tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan konflik pengelolaan sumberdaya kelautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi atau mengurangi potensi-potensi konflik pada masa yang akan datang. Penanganan seperti ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistem administrasi pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan sumberdaya kelautan secara terpadu. Upaya ini dilakukan dengan menyusun rencana strategis RENSTRA pengelolaan sumberdaya kelautan terpadu dari setiap daerah propinsi, kabupatenkota, dengan cara menyusun zonasi kawasan pesisir dan laut untuk memfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan management plan untuk suatu kawasan tertentu atau sumberdaya tertentu. Manfaat langsung dari otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah Pemerintah Daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari a sharing Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah pesisir, b biaya-biaya dari proses perijinan dan usaha, pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah, dan c pendapatan tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pembangunan kawasan pantai desa-desa, pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain dapat dibiayai oleh Pemerintah Daerah.

2.4 Proses Hierarki Analitik Analytical Hierarchy Process