23 disebut keterkaitan ke belakang backward linkage. Di pihak lain, sektor
agroindustri meningkatkan penawaran output untuk sektor-sektor lain seperti perdagangan dan industri lainnya, di samping ada yang digunakan sendiri oleh
agroindustri. Hal ini disebut keterkaitan ke depan forward linkage. Jadi, kedua aspek ini yang dikenal sebagai efek keterkaitan antar industri interindustry linkage
effect , yang mengarah ke belakang dan ke depan.
Selain itu, pengembangan sektor agroindustri akan meningkatkan penyediaan kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga, yang selanjutnya meningkatkan
permintaan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan sektor lain. Keinginan untuk mengkonsumsi barang-bararig tersebut merupakan dorongan untuk
meningkatkan produktivitas dan akhirnya meningkatkan tabungan di sektor agroindustri. Hubungan ini dikenal sebagai efek keterkaitan ketenagakerjaan
employment linkage effect dari efek keterkaitan penciptaan pendapatan income generation linkage effect
.
2.3. Agroindustri, Peran dan Kebijakan
Istilah agroindustri tidak dapat dipisahkan dari istilah agribisnis. Keduanya memang menyangkut unsur yang sama, yaitu agro, tetapi memiliki ruang lingkup
yang berbeda. Berikut beberapa kutipan yang dapat membedakan keduanya. Davis dan Golberg dari Harvard University, yang dikenal sebagai pencetus
istilah agribisnis, mendefinisikan agribisnis sebagai jumlah total dari semua operasi yang terlibat dalam manufaktur dan distribusi suplai usahatani; aktivasi produksi
pada usahatani; dan penyimpanan atau pengolahan dan distribusi komoditas usahatani dan barang-barang dagangan yang dihasilkannya Herjanto, 2003.
Sedangkan, Downey and Erickson 1987 dalam memberikan pengertian tentang agribisnis mencakup semua bisnis dan aktivitas manajemen yang dilakukan perusahaan
24 yang memberikan input untuk sektor usahatani, menghasilkan produk usahatani, danatau
pemrosesan, transport, pembiayaan, penanganan atau pemasaran produk usahatani. Austin 1992 memberikan definisi agroindustri sebagai suatu usaha yang
mengolah bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahannya mencakup transformasi dan preservasi melalui perubahan secara fisik dan kimiawi,
penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Karakteristik pengolahan dan derajat transformasi dapat sangat beragam, mulai dari pembersihan, grading dan
pengemasan, pemasakan, pencampuran dan perubahan kimiawi yang menciptakan makanan sayur-sayuran yang berserat.
Hubungan antara sektor pertanian dengan sektor industri dalam agribisnis menurut Sinaga 1998 adalah agribisnis mencakup seluruh kegiatan di sektor
pertanian dan sebagian dari sektor industri. Subsektor industri tersebut menghasilkan sarana produksi pertanian dan mengolah hasil-hasil pertanian dan dikenal sebagai
agroindustri. Dari beberapa definisi di atas jelas bahwa agroindustri mempunyai ruang
lingkup yang lebih kecil dibandingkan agribisnis. Agroindustri terbatas pada kegiatan pengolahan produk yang berbasiskan pertanian, sedangkan agribisnis
mencakup semua kegiatan sejak menyediakan input, membudidayakan, mengolah, menyediakan dana, memasarkan, dan mendistribusikan produk-produk berbasiskan
pertanian. Agroindustri dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu agroindustri hulu
upstream agrobusiness yaitu subsektor industri yang menghasilkan sarana produksi pertanian, dan agroindustri hilir downstream agrobusiness yaitu
subsektor industri yang mengolah hasil-hasil pertanian Sinaga, 1998. Dalam konsep pembangunan ekonomi, suatu sektor disebut sebagai sektor
yang memimpin a leading sector jika sektor tersebut memenuhi beberapa kriteria
25 sebagai berikut: 1 memiliki pangsa yang besar dalam perekonomian secara
keseluruhan, 2 memiliki pertumbuhan dan nilai tambah yang relatif tinggi, serta 3 memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang forward and backward linkages
yang cukup besar. Kondisi tersebut umumnya dicirikan oleh tingginya elastisitas harga untuk permintaan dan penawaran, elastisitas pendapatan untuk permintaan
yang relatif besar, multiplier pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif besar, kemampuan menyerap bahan baku dan kemampuan memberikan sumbangan input
yang besar, serta memiliki keterkaitan erat dengan sektor ekonomi lain yang juga memiliki pangsa yang relatif besar dalam struktur ekonomi. Berdasarkan pemikiran
di atas dan menelaah kondisi yang terjadi di Indonesia, Saragih 1992 melihat bahwa agroindustri dapat berperan sebagai sektor yang memimpin.
Dengan menggunakan pendekatan input-output, Saragih 1996 melakukan kajian peran sektor agroindustri dalam perekonomian Indonesia. Selama periode
1971-1995, pangsa agroindustri terhadap ekspor industri nonmigas mengalami pertumbuhan, demikian pula pangsa terhadap impor juga mengalami peningkatan.
Meskipun keduanya mengalami peningkatan, tetapi proporsi ekspor masih lebih besar daripada impor, sehingga selalu menjadi penghasil surplus devisa. Dengan
neraca perdagangan yang terus positif, agroindustri tetap menjadi penyumbang terbesar dalam devisa non migas.
Untuk mengukur kinerja ekonomi agroindustri menggunakan tiga kriteria ekonomi: nilai tambah per tenaga kerja, nilai tambah per output, dan nilai tambah
per unit input tidak termasuk modal tetap. Agroindustri dapat berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi serta sebagai prime mover dalam industrialisasi
pedesaan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Pryor and Holt 1998 yang menunjukkan bahwa kontribusi agrobisnis dalam perkembangan ekonomi nasional
26 GDP mencapai 53, lebih tinggi dari Malaysia, Korea Selatan, Argentina maupun
Brazil. Menurut Rusastra et al. 2005, dalam rangka mewujudkan struktur
perekonomian yang seimbang, kebijakan ekonomi di sektor agroindustri memiliki beberapa sasaran menarik pembangunan sektor pertanian, menciptakan nilai tambah,
menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan devisa, dan meningkatkan pembagian pendapatan. Agar agroindustri dapat berperan sebagai
penggerak utama perekonomian maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : berlokasi di pedesaan, terintegrasi vertikal ke bawah, mempunyai kaitan
input-output yang besar dengan industri lainnya, dan padat tenaga kerja Simatupang dan Purwoto, 1990.
2.4. Klaster Industri dan Kebijakan Pengembangannya