Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi

55 Dari persamaan 3.8 dan 3.9, j α menunjukkan indeks daya penyebaran dari sektor j dalam perekonomian, dan i β merupakan indeks derajat kepekaan dari sektor i. Sedangkan ii g adalah elemen matriks invers Leontief, G = 1-A -1 . Invers Leontief dipergunakan untuk multiplier angka pengganda, baik pengganda output, pendapatan rumah tangga RT dan tenaga kerja. Analisis keterkaitan dipergunakan untuk mengukur keterkaitan antara sektor pertanian dan industri. Salah satu syarat perlu necessary condition agar dapat mencapai transformasi struktural dari pertanian ke industri manufaktur adalah adanya keterkaitan sektor pertanian dan sektor industri yang tangguh. Kaitan yang paling sesuai menuju industri yang tangguh adalah pengolahan produk-produk pertanian ke dalam pengembangan sektor agroindustri.

3.1.2. Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi

Konsentrasi spasial merupakan pengelompokan setiap industri dan aktivitas ekonomi secara spasial berlokasi pada suatu wilayah tertentu Fujita et al., 1999. Definisi tersebut melengkapi pandangan Krugman 1991 yang menyatakan bahwa konsentrasi spasial merupakan aspek yang ditekankan dari aktivitas ekonomi secara geografis dan sangat penting penentuan lokasi industri. Krugman 1991 menyatakan bahwa dalam konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial, ada tiga hal yang saling terkait yaitu interaksi antara skala ekonomi, biaya transportasi, dan permintaan. Untuk mendapatkan dan meningkatkan kekuatan skala ekonomis, perusahaan-perusahaan cenderung berkonsentrasi secara spasial dan melayani seluruh pasar dari suatu lokasi. Sedangkan untuk meminimumkan biaya transportasi, perusahaan cenderung berlokasi pada wilayah yang memiliki permintaan lokal yang besar, akan tetapi permintaan lokal yang besar cenderung berlokasi di sekitar terkonsentrasinya aktivitas ekonomi. Selanjutnya, Fujita et al. 1999 menjelaskan 56 bahwa pada dasarnya, pemikiran tentang terjadinya aglomerasi didasari oleh pentingnya hasil yang meningkat akibat skala ekonomi dan biaya transportasi, serta keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan yang besar merupakan argumentasi logis yang dapat menjelaskan terjadinya aglomerasi. Menurut Aiginger and Hansberg 2003, konsentrasi spasial merupakan regional share yang menunjukkan distribusi lokasional dari suatu industri. Sedangkan spesialisasi industri didefinisikan sebagai distribusi share industri dari suatu wilayah. Pada wilayah terspesialisasi, konsentrasi spasial menunjukkan tingkatan aktivitas dan distribusi lokasional dari industri pada wilayah tersebut. Adanya spesialisasi, konsentrasi spesial di industri utama relatif lebih tinggi dari pada konsentrasi spesial di luar industri utama. Dengan demikian, kontribusi industri utama pada suatu wilayah menimbulkan distribusi spasial yang cenderung terkonsentrasi pada suatu wilayah. Suatu industri yang terpesialisasi atau industri utama akan cenderung terkonsentrasi pada wilayah secara spasial. Dasar analisis pada penelitian ini bersumber pada dua indikator yang merupakan dasar dalam penyusunan indeks spesialisasi dan konsentrasi spasial seperti yang dikemukakan oleh Kuncoro 2000 yang menggunakan PDRB yaitu: i s i s i PDRB PDRB V = 3.10 dimana : S i V = pangsa dari PDRB subsektor Agroindustri s di kota atau kabupaten i terhadap PDRB sektor industri manufaktur kabupaten atau kota i secara keseluruhan. i = kota atau kabupaten di Provinsi Lampung s = subsektor industri agroindustri berdasarkan klasifikasi ISIC 57 Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Aiginger and Hansberg 2003, kontribusi PDRB subsektor industri manufaktur s di kabupaten atau kota i terhadap PDRB kabupaten secara keseluruhan dapat menunjukkan subsektor industri manufaktur apa yang merupakan spesialisasi sektor dan kabupaten i. i s i s i PDRB PDRB V = 3.11 Spesialisasi pada tingkatan yang lebih luas dilambangkan oleh s V yang merupakan pangsa dari PDRB subsektor agroindustri s terhadap PDRB sektor agroindustri Provinsi Lampung secara keseluruhan. s V menunjukkan subsektor agroindustri yang merupakan spesialisasi dari sektor agroindustri. Penggunaan data PDRB dalam menganalisis spesialisasi didasarkan pada penelitian Kuncoro 2000. S S i S i PDRB PDRB S = 3.12 dimana : S S i = konsentrasi spesial S i PDRB = PDRB subsektor S di kota kabupaten i S PDRB = PDRB subsektor S di seluruh provinsi Pada sisi lain, Aiginger and Hansberg 2003 menyatakan bahwa konsentrasi dapat didefinisikan sebagai regional pangsa yang menunjukkaan distribusi lokasional dari suatu industri. Konsentrasi spesial yang dilambangkan S S i menunjukkan kontribusi PDRB subsektor s di kota kabupaten i terhadap PDRB subsektor s di seluruh Provinsi Lampung. Penggunaan data PDRB pada konsentrasi spasial berdasarkan penelitian yang dilakukan Sjoberg and Sjoholm 2001. PDRB PDRB X i i = 3.13 dimana : 58 X i = kontribusi kabupaten kota i terhadap agroindustri Provinsi Lampung Perbandingan nilai X i antara daerah i = 1…..n menunjukkan distribusi lokasional agroindustri di Provinsi Lampung. Salah satu pendekatan yang paling sering digunakan adalah menganalisis spesialisasi daerah adalah Location Quotient LQ, yang juga disebut Koefisien Hoover-Balassa Lafourcade and Mion, 2003. Pendekatan ini menyatakan bahwa spesialisasi relatif agroindustri pada suatu wilayah terjadi apabila spesialisasi industri pada suatu wilayah lebih besar dari pada spesialisasi industri pada wilayah agregat Kuncoro, 2000. X S V V LQ i S i S S i = = 3.14 dimana : LQ = Location Quotient atau Koefisien Hoover-Balassa S i V = pangsa subsektor agroindustri s di kabupaten kota terhadap industri provinsi S V = pangsa sektor agroindustri kabupaten kota terhadap agroindustri provinsi S i S = kontribusi subsektor agroindustri di kabupaten kota terhadap agroindustri provinsi i X = kontribusi sektor agroindustri kabupaten kota terhadap agroindustri provinsi Apabila V V S S i atau X S i S i maka 1 LQ ; Apabila V V S S i atau X S i S i maka 1 LQ . Nilai 1 LQ , menunjukkan bahwa subsektor s terspesialisasi secara relatif di wilayah i. Menurut Bendhavid 1991, subsektor s merupakan subsektor unggulan yang layak untuk dikembangkan di wilayah i dan 59 demikian pula sebaliknya apabila 1 LQ maka subsektor s bukan merupakan subsektor unggulan daerah tersebut. Pada sisi lain, Krugman 1991 menyatakan tentang perbedaan struktur industri pada suatu wilayah dengan struktur industri pada suatu wilayah lain maupun seluruh wilayah akan mempengaruhi daya saing wilayah yang menjadi standar. Hasil penilaian menunjukkan tingkat spesialisasi wilayah yang dianalisis. Oleh karena itu, dalam menganalisis spesialisasi suatu daerah digunakan indikator yang digunakan oleh Krugman 1991 yaitu Indeks spesialisasi regional atau K SPEC . Kim 1999 menyatakan bahwa nilai yang menjadi ukuran K SPEC berkisar antara nilai nol dan dua. Nilai nol menunjukkan bahwa adanya kesamaan struktur industri antara wilayah yang dianalisis dengan wilayah yang dijadikan benchmark. Nilai dua menunjukkan tidak adanya kesamaan struktur antara wilayah yang dianalisis sehingga masing-masing wilayah yang dinalisis terspesialisasi pada industri unggulan masing-masing. ∑ − = = N S S S i SPEC V V K 1 3.15 dimana : K SPEC = indeks spesialisasi regional. S i V = pangsa subsektor agroindustri s di kabupaten kota terhadap agroindustri di tingkat provinsi S V = pangsa sektor agroindustri kabupaten kota terhadap agroindustri provinsi K SPEC atau indeks spesialisasi regional menunjukkan tingkatan spesialisasi suatu wilayah bila dengan wilayah lain dengan wilayah bersama sebagai benchmark. Dalam konteks Provinsi Lampung, yang menjadi benchmark dalam menganalisis K SPEC pada i adalah struktur agroindustri Provinsi Lampung. K SPEC bernilai dua 60 apabila struktur agroindustri pada wilayah i memiliki tidak memiliki kesamaan dengan struktur agroindustri di Lampung secara keseluruhan. K SPEC bernilai nol apabila persamaan struktur agroindustri daerah i sama dengan struktur agroindustri Lampung secara keseluruhan. K SPEC wilayah i bernilai lebih besar daripada satu sampai dengan lebih kecil sama dengan dua menunjukkan bahwa wilayah i lebih terspesialisasi daripada wilayah lain di Lampung. Pendekatan lain untuk menganalisis konsentrasi spasial adalah Indeks Herfindahl yang dilambangkan H S yang menunjukkan distribusi lokasi pada subsektor s di wilayah tertentu. Nilai H S berkisar antara nol dan satu, semakin tinggi H S maka distribusi lokasi semakin tidak merata dan industri manufaktur pada subsektor S cenderung terkonsentrasi pada wilayah tertentu. ∑ = = M i S S S H i 1 2 3.16 dimana : H S = distribusi lokasi pada subsektor s di wilayah tertentu S i S = konsentrasi spasial subsektor s di kabupaten kota i Ellison and Glaeser 1997 menganalisis konsentrasi spasial dengan menggunakan indeks yang berbasis tenaga kerja : ∑ = = − M i EG X S g i s i 1 2 3.17 dimana : g EG = Indikator Gini Lokasional s i S = kontribusi subsektor agroindustri di kabupaten kota terhadap agroindustri provinsi i X = kontribusi sektor agroindustri kabupaten kota terhadap agroindustri provinsi 61 Indikator ini menunjukkan tingkat spesialisasi suatu sektor dan konsentrasi spasial antara beberapa wilayah. Indeks yang dikembangkan dari g EG telah digunakan oleh Ellison and Glaeser 1999 untuk menganalisa konsentrasi spasial dari industri manufaktur di Amerika Serikat, berdasarkan analisa yang telah dilakukan berkesimpulan bahwa pada industri yang terspesialisasi, konsentrasi spasial terjadi karena natural advantage dan knowledge spillover disebut juga Marshal-Arrow-Romer atau MAR eksternalitas. Akan tetapi sangat sulit untuk mengukur dorongan dari knowledge spillover terhadap konsentrasi spasial. Oleh karena itu, Ellison and Glaeser 1999 mengemukakan tentang kontribusi natural advantages berdasarkan factor endowment yang secara simultan mempengaruhi dan mendorong skala ekonomi internal perusahaan. Ellison and Glaeser 1999 membangun indikator untuk merefleksikan kontribusi dari natural advantages dan knowledge spillover, yaitu : f f EG EG H H G − − = 1 γ 3.18 dimana : EG γ = Indeks Ellison dan Glaeser EG G = besarnya kekuatan aglomerasi f H = indeks Herfindahl Indikator tersebut dibangun dari persamaan 3.19 dan 3.20 ∑ − = = M i EG EG X g G i 1 2 1 3.19 dimana : EG G = besarnya kekuatan aglomerasi EG g = indeks konsentrasi spasial 62 i X = kontribusi kabupaten kota terhadap agroindustri provinsi G EG atau yang biasa disebut dengan raw concentration menunjukkan besarnya kekuatan aglomerasi yang mendorong konsentrasi spasial dan disusun berdasarkan persamaan 3.17 2 1 ∑ = = L f S f Z H 3.20 H f merupakan firm size Herfindahl yang menunjukkan distribusi tenaga kerja pada industri, sedangkan S f Z adalah firm size yang dikalkulasi berdasarkan pangsa tenaga kerja firm terhadap tenaga kerja industri. Lafourcade and Mion 2003 menggunakan H sebagai proxy untuk menggantikan H f dengan memakai data PDRB salah unsurnya adalah upah tenaga kerja dimana : ∑ = = M i S M S H i 1 2 1 3.21 H = Indeks Herfindahl S i S = konsentrasi spasial subsektor s di kabupaten kota i Oleh karena itu, dengan mengganti H f dengan H maka persamaan 3.18 akan berubah menjadi: H H G EG EG − − = 1 γ 3.22 dimana : EG γ = Indeks Ellison dan Glaeser EG G = besarnya kekuatan aglomerasi H = Indeks Herfindahl Berdasarkan pengamatan empiris yang dilakukan oleh Ellison dan Glaeser, γ EG menunjukkan pengaruh natural advantage dan knowledge spillover terhadap konsentrasi spasial dari industri. Ellison and Glaeser 1997 menyatakan bahwa standar pengukuran dari indeks tersebut berdasarkan beberapa perhitungan empiris 63 adalah: di bawah 0.02 menunjukkan dispersi spasial dan di atas 0.05 menunjukkan terjadinya aglomerasi yang kedua-duanya disebabkan oleh pengaruh natural advantage dan knowledge spillover.

3.1.3. Keterkaitan Model Input-Output dan Ekonometrika