26 GDP mencapai 53, lebih tinggi dari Malaysia, Korea Selatan, Argentina maupun
Brazil. Menurut Rusastra et al. 2005, dalam rangka mewujudkan struktur
perekonomian yang seimbang, kebijakan ekonomi di sektor agroindustri memiliki beberapa sasaran menarik pembangunan sektor pertanian, menciptakan nilai tambah,
menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan devisa, dan meningkatkan pembagian pendapatan. Agar agroindustri dapat berperan sebagai
penggerak utama perekonomian maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : berlokasi di pedesaan, terintegrasi vertikal ke bawah, mempunyai kaitan
input-output yang besar dengan industri lainnya, dan padat tenaga kerja Simatupang dan Purwoto, 1990.
2.4. Klaster Industri dan Kebijakan Pengembangannya
Menurut Porter 1998, klaster adalah sekelompok perusahaan dan lembaga terkait yang berdekatan secara geografis, memiliki kemiripan yang mendorong
kompetisi serta juga bersifat komplementer. Kedekatan produk dari perusahaan- perusahaan ini pada tahap awal akan memacu kompetisi dan kemudian mendorong
adanya spesialisasi dan peningkatan kualitas serta mendorong inovasi dalam diferensiasi pasar. Porter 1998 menggambarkan bahwa klaster merupakan
konsentrasi geografis atas berbagai industri yang terkait, penyedia jasa pendukung dan berbagai institusi yang mendukungnya.
Klaster dapat berupa sebuah kawasan tertentu, sebuah kota sampai wilayah yang lebih luas. Bahkan klaster juga berupa sebuah wilayah lintas negara seperti
Jerman Selatan dengan wilayah Swiss yang berbahasa Jerman. Kriteria geografisnya terletak pada apakah efisien ekonomis atas jarak tersebut ada dan terwujud dalam
berbagai aktivitas bisnis yang menguntungkan atau tidak.
27 Porter 1998 berpendapat bahwa klaster disebabkan oleh 1 keunggulan
kompetitif, 2 sejarah, dan 3 institusi. Keunggulan kompetitif berkaitan dengan faktor yang berhubungan dengan kondisi penawaran dan permintaan, hubungan
industri, dan persaingan lokal yang memberikan keuntungan bagi perusahaan lokal. Sejarah berkaitan dengan faktor yang mendasari industri atau penggunaan teknologi
yang menyebabkan keunggulan kompetitif. Institusi adalah kelembagaan formal dan informal yang mempengaruhi pengembangan klaster guna mendukung kreasi, difusi,
dan impor pengetahuan. Proses pembentukan klaster pertama kali diamati oleh Alfred Marshall pada
tahun 1919. Marshall mengidentifikasi manfaat dari berkumpulnya perusahaan dalam sebuah ruang geografis tertentu. Karakteristik manfaat ini tidak dinikmati
secara pribadi dan mikro oleh sebuah perusahaan serta dapat dinikmati bersama oleh perusahaan lain. Manfaat seperti ini sering juga disebut sebagai economies of
localization .
Menurut Hartarto 2004, fenomena pengklasteran merupakan suatu fenomena yang terjadi sejak permulaan awal industrialisasi. Fenomena ini terjadi
dari penenunan kapas di Lancashire dan industri mobil di Detroit sampai industri tekstil di Ahmadabad dan Bombay serta penyamakan kulit di Calcutta dan Arcot.
Markusen 1996
membuat tesis tentang pola klaster industri beradasarkan
studinya di Amerika Serikat. Berdasarkan variabel struktur bisnis dan skala ekonomi, keputusan investasi, jalinan kerjasama dengan pemasok, jaringan
kerjasama sesama pengusaha dalam klaster, jaringan kerjasama dengan perusahaan di luar klaster, pasar dan migrasi tenaga kerja, keterkaitan identitas budaya lokal,
peranan pemerintahan daerah, dan peranan asosiasi, pola klaster dibedakan menjadi empat distrik yaitu Distrik Marshallian, Distrik Hub Spoke, Distrik Satelit, dan
Distrik State-anchored.
28 Kebijakan pengembangan klaster industri di Indonesia secara formal
tercantum dalam Program Pembangunan Nasional 1999-2004. Dalam Program Pembangunan Nasional tersebut dijelaskan bahwa dalam rangka
mengkonsolidasikan pembangunan sektor-sektor primer, sekunder, dan tersier, termasuk keseimbangan persebaran pembangunannya ditempuh pendekatan klaster
industri. Melalui pendekatan ini diharapkan pola keterkaitan antar kegiatan baik di dalam sektor industri sendiri keterkaitan horisontal maupun antara sektor industri
dengan seluruh jaringan produksi dan distribusi terkait keterkaitan vertikal akan dapat secara responsif menjawab tantangan persaingan global yang semakin ketat.
Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong oleh pemikiran bahwa berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi lebih pada
kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan keterkaitan horisontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan pada
gilirannya justru melemahkan pengembangan klaster dan daya saing nasional. Berdasarkan RPJM Tahun 2004-2009 dan Kebijakan Menteri Perindustrian
2005-2009, peningkatan daya saing industri manufaktur dilakukan melalui penguatan klaster. Strategi pengembangan industri di masa depan terdiri atas strategi
pokok dan strategi operasional. Strategi pokok tersebut meliputi: 1 memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai pada klaster dari industri yang
bersangkutan, 2 meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai, 3 meningkatkan sumber daya yang digunakan industri, dan 4 menumbuh-
kembangkan industri kecil dan menengah. Sedangkan untuk strategi operasional terdiri dari: 1 menumbuh-kembangkan lingkungan bisnis yang nyaman dan
kondusif, 2 penetapan prioritas industri dan penyebarannya, 3 pengembangan industri dilakukan dengan pendekatan klaster, dan 4 pengembangan kemampuan
inovasi teknologi.
29 Sesuai dengan permasalahan mendesak yang dihadapi serta terbatasnya
kemampuan sumberdaya pemerintah, fokus utama pengembangan industri manufaktur ditetapkan pada beberapa sub-sektor yang memenuhi satu atau lebih
kriteria sebagai berikut: 1 menyerap banyak tenaga kerja, 2 memenuhi kebutuhan dasar dalam negeri seperti makanan-minuman dan obat-obatan, 3 mengolah hasil
pertanian dalam arti luas termasuk perikanan dan sumber-sumber daya alam lain dalam negeri, dan 4 memiliki potensi pengembangan ekspor. Diturunkan dari
keempat kriteria di atas berdasarkan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif, prioritas dalam tahun 2005-2009 adalah pada penguatan klaster-klaster: 1 industri
makanan dan minuman, 2 industri pengolah hasil laut, 3 industri tekstil dan produk tekstil, 4 industri alas kaki, 5 industri kelapa sawit; 6 industri barang
kayu termasuk rotan dan bambu, 7 industri karet dan barang karet, 8 industri pulp dan kertas, 9 industri mesin listrik dan peralatan listrik, dan 10 industri
petrokimia. Intervensi langsung pemerintah secara fungsional dalam bentuk investasi dan
layanan publik diarahkan pada hal-hal di mana mekanisme pasar tidak dapat berlangsung. Dalam tataran ini, aspek tersebut meliputi: 1 pengembangan riset
untuk pembaruan dan inovasi teknologi produksi, termasuk pada pengembangan manajemen produksi yang memperhatikan kesinambungan lingkungan dan teknik
produksi yang ramah lingkungan clean production, 2 peningkatan kompetensi dan keterampilan tenaga kerja, 3 layanan informasi pasar produk dan faktor
produksi baik di dalam maupun luar negeri, 4 pengembangan fasilitasi untuk memanfaatkan aliran masuk dana asing sebagai potensi sumber alih teknologi dan
perluasan pasar ekspor, 5 sarana dan prasarana umum pengendalian mutu dan pengembangan produk, dan 6 prasarana klaster lainnya, terutama dalam
mendorong penyebaran industri ke luar Jawa.
30
2.5. Geografi dan Lokasi Industri