Kelembagaan Lokal GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

diakumulasi nilainya cukup besar hampir setara dengan sekitar 1 ha tanah sawah Citasuk dan tanah kebun di Cibojong dan Citaman. Kelompok sosial lain yang diuntungkan oleh pembangunan adalah pegawai negeri, karena memiliki pendapatan yang relatif tetap dan terhindar dari goncangan ekonomi dan musim paceklik. 121 Pendapatan yang diterimanya memungkinkan berinvestasi dalam sektor pertaniaan. Pegawai negeri, pamong desa, pekerja sektor formal dan pedagang merupakan kelompok di luar petani yang berperan sebagai elit ekonomi lokal dan pemilik tanah luas di desa. Munculnya pemilik lahan yang bukan petani, menggambarkan terjadinya transformasi penguasaan tanah dan elit pedesaan dari elit tradisonal dan informal ke tangan elit pemerintah desaelit formal. Di wilayah penelitian transformasi elit lokal dihela modernisasi pedesaan dan pemberlakuan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Struktur kepemimpinan pedesaan yang sebelumnya berada di tangan elit keagamaan dan kokolot, bergeser ke kepemimpinan formal seperti pamong desa. Tampilnya Kepala Desa sebagai elit lokal, disebabkan perannya sebagai pengendali tunggal pembangunan pedesaan dan kebijakan floating mass yang mengasingkan massa dari pemimpin politik yang berakibat melemahnya kepemimpinan informal dan kharismatik di wilayah pedesaan. Arah pembangunan yang lebih mengutamakan aspek material mengakibatkan pemimpin informal, kehilangan aura dan pengaruhnya di masyarakat. Sementara itu modernisasi dan pendirian SD Inpres, berdampak pada penurunan anak-anak desa menimba ilmu di pesantren yang berakibat terputusnya kaderisasi kepemimpinan informal

4.6. Kelembagaan Lokal

Sebelum terbentuknya pemerintahan desa, di Desa Citaman terdapat kelembagaan kajaroan, pimpinannya disebut jaro yang berperan sebagai pengelola pemerintahan desa dan memiliki hak penguasaan tanah kajaroan istilah lokal untuk tanah jabatan. Kajaroan merupakan kelembagaan lokal dan berperan sebagai pemerintahan “adat”. Di wilayah kesultanan Banten juga terdapat kelembagaan hak 121 Musim paceklik adalah masa sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan karena gagal panen. Pegawai negeri pada umumnya terhindar dari musim paceklik, bahkan sebagian pegawai negeri dari tabungannya dapat membeli tanah. Diolah dari sumber primer. penguasaan tanah, yakni sawah negara, sawah ganjaran pusaka laden atau pecaton, tanah kawargaan, tanah kanayakan, tanah pangawulaa dan tanah yasa. Pemegang tanah kawargaan dan tanah kanayakan berhak atas bagi hasil panen dan tenaga kerja cacah untuk membuka tanah baru atau untuk melakukan pelbagai macam kerja bakti. Sawah ganjaranpusaka laden atau pecaton merupakan hak penguasaan tanah yang dimiliki anggota kerabat Sultan dan berasal dari pemberian Sultan. Status ganjaranpusaka laden adalah hak milik dan dapat diwariskan secara turun temurun tetapi tidak dapat dipindah-tangankan kepada pihak lain. Di wilayah kesultanan Banten juga terdapat berbagai praktik, tradisi dan ritual berkaitan dengan proses rangkaian tata kelola sumberdaya agraria seperti mipit, ngirab sawan, ngaseuk, nganyaran, ngalaksa selamatan. Lembaga kajaroan merupakan sarana mobilisasi ekonomi, tenaga kerja dan perpanjangan tangan Sultan di wilayah pedesaan dan sekaligus menjadi tulang punggung stabilitas politik. Kajaroan bertugas menentukan tata cara dan haluan pemerintahan, menyelenggarakan musyawarah bersama kokolot untuk menentukan pelaksanaan kegiatan pertanian. Dalam kehidupan sosial, kajaroan berperan sebagai “pengetua adat”, perekat dan pengikat tata hubungan antar anggota masyarakat dan kesultanan. Dalam tata kelola sumberdaya agraria, kajaroan memiliki kewenangan administratif dan bertanggungjawab menyelesaikan persoalan tanah. Kajaroan bertindak sebagai penghubung antara kajaroan dengan “abdi dalem” diangkat dan diberi tugas oleh Sultan untuk memungut upeti dan pajak dari petani serta cukai perdagangan dari pedagang. Sebagai imbalannya, Sultan memberikan tanah pangawulaan kepada abdi dalem. Setelah kesultanan Banten jatuh ke tangan kolonial Belanda, beban kajaroan semakin berat karena harus memobilisasi tenaga kerja dan memungut pajak hasil bumi. 122 Tekanan pemerintah kolonial Belanda yang semakin berat juga mendorong para demang melakukan pemerasan dan bertindak sewenang-wenang 123 yang 122 Akibat beban kerja yang berat para bujang lari dari tuannya. Ulasan penderitaan rakyat di wilayah kesultanan Banten, lihat C. Fasseur, 1987. “Tentang Lebak” dalam Ibrahim Alfian, Koesoemanto, H.J., Hardjowidjono dan Djoko Suryo: Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 123 Seperti perampasan kerbau milik ayah Saijah yang dilakukan oleh demang Parangkujang kerabat Bupati Lebak Raden Adipati Karta Negara. Lihat H.B. JassinG Termorshuizen, 1985. Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda . memicu timbulnya keresahan sosial dan pemberontakan petani di Banten serta meluasnya keresahan sosial di pelbagai wilayah lain di Indonesia. Keresahan sosial itu dipicu oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda, mengeluarkan sejumlah peraturan reglement tentang kehutanan yang membatasi hak, akses masyarakat terhadap hutan. 124 Pembatasan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan terus berlanjut sampai runtuhnya kolonial Belanda dan Bala Tentara Dai Nippon 125 . Secara de facto sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menjadi negara merdeka. Tetapi politik agraria kolonial Belanda menjiwai politik agraria nasional, karena pemerintah melegitimasi peraturan perundangan Kolonial Belanda yang bersifat kapitalis dan eksploitatif. Legitimasi hukum kolonial dalam sistem hukum agraria nasional, memberikan ruang gerak yang bebas bagi negara dan pemilik modal untuk menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya agraria, yang ternyata berdampak negatif terhadap dinamika kelembagaan komunitas. Gambarannya dapat disimak pada bab selanjutnya. 124 Untuk memperkuat landasan hukum eksploitasi hutan, pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan sejumlah reglemen. Reglemen 1874, cakupannya menembus ke wilayah kesultanan Vorstenlanden; Reglemen 1879 mengatur kepemilikan negara atas hutan dan penggolongan hutan atas hutan tetap dan tidak tetap; Reglemen 1879 memperkuat genggaman Belanda terhadap penguasaan hutan di Hindia Belanda; Reglemen 1913 mengatur pengamanan hutan dan ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar; Ordonansi 1927 mengatur pemberian sanksi pidana bagi pelanggar dan perusak hutan dan Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan pada tahun 1935. Berbagai reglemen tersebut mengakibatkan semakin terbatasnya akses dan termarginalkannya kehidupan masyarakat sekitar hutan. Lihat Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika. 125 Bala Tentara Jepang mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1942 yang berisi penegasan berlakunya peraturan-peraturan dari pemerintahan masa penjajahan Belanda dan Ordonansi Hutan 1927. UU tersebut ditujukan untuk memobilisasi penduduk Indonesia melawan sekutu dan meneruskan eksploitasi sumberdaya hutan di Indonesia. Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.

BAB V DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS