berorientasi community development.
215
LSM atau gerakan lingkungan asosiatif dan paralel dekat dan menjadi mitra pemerintah, bahkan program kerjanya
seringkali dependen atau kompelementer dengan program pemerintah. Hal ini terkait dengan aktivitas gerakannya bersumber dari dana pemerintah. Akibatnya
mereka tidak memiliki energi mengusung isu-isu lingkungan secara komprehensif dan radikal, karena terkooptasi dan terhegemoni oleh arus utama politik
lingkungan negara yang semu. Gerakan lingkungan kategori ini oleh Ranjit LSM disebut gerakan lingkungan berorientasi pada mata pencaharian.
216
Sepak terjang dan gerakan LSM demikian dapat menjadi mimpi buruk bagi terwujudnya politik
agraria berkeadilan, tata kelola sumberdaya dan DAS yang baik, dan pengelolaan jasa lingkungan yang partisipatif dan keberlanjutan.
7.5. Ikhtisar
Politik agraria bidang kehutanan yang berorientasi betting on the strong diakui berdampak positif terhadap perolehan devisa negara, menggelembungnya
dompet pemerintah pusat. Tetapi arah dan orientasi politik kehutanan tersebut tidak meneteskan kemakmuran, kurang mempertimbangkan manusia sebagai
komponen ekosistem hutan dan peranserta masyarakat lokal dalam tata kelola sumberdaya hutan. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan, kebijakan
pendukung dan pelaksanaan pengelolaan hutan, menempatkan manusia dan masyarakat lokal sebagai “sumber gangguan” dan bukan kunci keberhasilan
pembangunan kehutanan. Pengabaian manusia dan masyarakat, ditunjukkan dengan adanya stigmatisasi masyarakat sekitar hutan : ”the other, orang pasisian
dan perambah hutan”. Rasionalitas hukum dan stigmatisasi tersebut mengakibatkan tidak tersedianya akses masyarakat, penyempitan ruang hidup dan
peluruhan kelembagaan masyarakat sekitar hutan.
215
Korten mengidentifikasi LSM lingkungan atas lima kategori Relief and Welfare, Community Development
, Sustainble System Devolopment, People’s Movement and Empower People. Lihat Korten, David, C. 1988. “LSM Generasi Keempat: Fasilitator Gerakan Kemasyarakatan”, Prisma
XVII, No. 4.
216
Dwivedi, Ranjit, 2001.”Environmental Movements in the Global South: Issues of Livelihood and Beyond”, in International Sociology, March 2001, Vol 16 1.
Proses peluruhan kelembagaan lokal di hulu DAS Cidanau berlangsung secara sistemik, terjadi di aras sistem peraturan perundang-undangan, aras
organisasional dan aras perilaku individual agensi. Peluruhan kelembagaan komunitas oleh kekuatan supralokal mencakup aspek kelembagaan buyut dan
liliuran , etika konservasi dan kearifan lokal. Dampak dari proses peluruhan
secara sistemik adalah penggusuran petani, tampilnya agensi sebagai predator, enclavisme, relokasi petani secara exsitu dan kepedulian semu terhadap jasa
lingkungan. Hal
ini menggambarkan
ketidakmampuan pemerintah
menyelenggarakan politik tata kelola sumberdaya hutan dan DAS yang berkeadilan dan berkelanjutan dan gagal mewujudkan tujuan konstitusional politik
agraria sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kekhawatiran yang ditimbulkan oleh aktivitas deforestasi dan degradasi
hutan dan kawasan hulu DAS Cidanau, melahirkan pemikiran perlunya membangun ”rumah bersama” dan jejaring hubungan hulu hilir DAS Cidanau
secara terpadu melalui pembayaran jasa lingkungan. Tetapi karena ”rumah bersama” tersebut fondasinya kurang kokoh, prosedur dan mekanismenya tidak
demokratis dan posisi relasi antar pemangku kepentingan tidak setara, maka pembayaran jasa lingkungan kepada petani di DAS Cidanau, masih jauh dari
upaya peningkatan kesejahteraan petani hutan, pemberdayaan petani dan pengembangan agroforestry yang kondusif untuk konservasi hulu DAS.
BAB VIII URGENSI PENGUATAN KELEMBAGAN LOKAL
DAN POLITIK AGRARIA TRANSFOMATIF 8.1. Pendahuluan
Dalam uraian sebelumnya dijelaskan bahwa interaksi negara desa diwarnai dengan proses kapitalisasi negara dan pedesaan serta peluruhan kelembagaan
komunitas. Dampak dari kapitalisasi negara dan pedesaan mengakibatkan penyelenggara negara gagal mewujudkan tujuan politik agraria untuk sebesar-
sebesarnya kesejahteraan rakyat dan tidak mampu membangun kelembagaan tata kelola DAS yang terpadu berkelanjutan dan partisipatif. Berpangkal tolak dari
temuan empirik tersebut, fokus dari bab ini menguraikan implikasi dan proyeksi untuk penguatan kelembagaan komunitas dan politik agraria transformatif.
8.2. Urgensi Penguatan Kelembagaan Lokal
Peluruhan kelembagaan lokal yang berlangsung secara sistemik, maka upaya penguatannya perlu dilakukan secara sistemik pula. Merujuk pada Giddens
2004,
217
penguatan kelembagaan lokal memerlukan perubahan struktur dimensi signifikansi, otoritatif, alokatif dan legitimasi atau perubahan rasionalitas
ekososial yang ditawarkan Groz dan reformasi rasionalitas komunikasi yang dikemukakan Habermas.
Perubahan struktural signifikasi, otoritatif, alokatif dan legitimasi didorong oleh kenyataan empirik bahwa paradigma signifikasi, otoritatif, alokatif dan
legitimasi, yang menjadi dasar rekayasa sosial dan pembangunan pedesaan, terbukti melahirkan perlakuan kurang manusiawi dehumanisasi dan alienasi
masyarakat. Penguatan kelembagaan komunitas juga mensyaratkan adanya perubahan rasionalitas dan bangunan ilmu pengetahuan sosial modernis dan
positivis, karena rasionalitasnya yang bertumpu rasionalitas utility maximum mendorong pemanfaatan sumberdaya secara eksploitatif dan tidak ramah
lingkungan. Struktur signifikansi, otoritatif, alokatif yang dibangun atas atas dasar rasionalitas utility maximum
dalam pengelolaan sumberdaya dan pemberdayaan
217
Anthony Giddens, 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati, p.39.