hutan sebagai bagian dari ritme budaya.
132
Hubungan harmonis ditunjukkan dari perilaku hidup bersahabat dengan hutan dan pemanfaatan hutan sebagai bagian
dari mempertahankan keberlanjutan budaya. Arah orientasi pemanfaatan hutan secara berkelanjutan ditopang oleh tradisi dan religi, bahwa dunia ini tempat
persinggahan sementara menuju kehidupan kekal di akhirat. Pemanfataan leuweung bukaan bukan hanya untuk menghasilkan tanaman
yang dapat menopang kehidupan keluarga dan komunitas tetapi juga didasarkan semangat untuk mempertahankan fungsi ekologis hutan bukaan sebagai pengatur
tata air. Tanaman yang ditanam oleh petani di leuweung bukaan merupakan tanaman multikultur beragam pohon buah-buahan secara bersama dengan pohon
kayu-kayuan yang membentuk hamparan hutan dan menjunjung etika konservasi. Sistem olah tanah dilakukan dengan gilir balik dan tapak siring, budidaya tanaman
dengan mengikuti daur musim dan pengambilan kayu dengan sistem tebang pilih. Pemanfaatan hutan secara demikian dalam upaya menjaga keharmonisan dan
keberlanjutan sumberdaya hutan. Sejalan dengan komoditifikasi sumberdaya hutan, kearifan lokal tentang zonasi hutan dan tradisi praktik tata kelolanya
dewasa ini semakin tergerus.
5.2.3. Domestikasi Tanaman Pangan dan Obat
Tanaman pangan dan obat yang dibudidayakan komunitas petani sesuai dengan kondisi ekologi wilayah Serang Selatan yang sebagian besar berupa
perbukitan. Dari penggalian informasi pada sejumlah narasumber, pengetahuan warga setempat tentang tanaman pangan terutama varietas padi lokal bervariasi.
Pengetahuan warga tentang varietas padi lokal terdiri atas lima jenis, seperti diuraikan berikut.
1. Klasifikasi padi berdasarkan warna berasnya, yakni pare hideung padiketan hitam, pare bodas padi putih dan pare beureum padi merah. Dari tiga jenis
padi itu terdapat variannya yang ditanam tergantung pada lahan huma. Varietas padi merah yang biasa ditanam adalah Ramanteun.
132
Bagi masyarakat setempat hutan merupakan mata rantai dari sistem sosio-religius dan ekologis, seperti tempat penyelenggaraan acara ritual, pelepasan nazar, doa, kegiatan liliuran dan macak
makan bersama. Diolah dari sumber primer.
2. Klasifikasi atas padi biasa dan padi ketan pare ketan. Padi biasa dibedakan oleh petani atas varietas Melati, Ramanteun dan Mayang. Padi ketan
diidentifikasi berdasarkan karakteristik utamanya, yakni rasanya enak, gurih, pulen
dan likat sticky yang dikonsumsi hanya waktu-waktu tertentu, seperti upacara selamatan atau kue tradisional seperti kue oli dan tape peyem.
3. Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya bulu sekam: pare bulu dan pare tidak berbulu. Padi berbulu dapat terhindar dari hama pemakan padi misalnya
burung pemakan padi seperti burung pipit, tikus dan babi hutan. 4. Petani membedakan padi berdasarkan bentuk, ukuran dan warna bulu butir
padi, seperti pare sabeulah padi sebelah karena bentuk butirnya tipis dan pare kasumba
, pare warna violet karena bulu biji padinya berwarna kasumba. Varietas padi ini diidentifikasi berdasarkan morfologi dan warna biji padi.
5. Klasifikasi padi menurut umurnya sampai panen, padi di bawah enam bulan yang disebut pare hawara dan padi berumur normal enam bulan yang
disebut pare hawara bunar. Klasifikasi umur padi membantu petani untuk merencanakan penanaman padi.
Merujuk pada pemilahan varietas padi atas kelompok javanica, sinicaindica
dan javanica, maka varietas padi lokal yang ditanam oleh komunitas petani di DAS hulu Cidanau termasuk padi kelompok javanica. Karakteristik
varietas kelompok javanica, umur tanaman padi relatif panjang, berdaun lebar, jerami tinggi dan biji padi tidak mudah rontok, sehingga dapat mengurangi
gangguan dari burung pemakan padi seperti burung pipit, tikus dan babi hutan. Selain menanam padi lokal kelompok javanica, komunitas petani juga
menanam beberapa jenis tanaman tambahan di huma, seperti cengekcabe rawit Capsium frutesces, kacang panjang Vigna sinensis, dangdeurpisang Manihot
utilisama , bontengketimun Cucuxumis sativus, terong Sanumum melongena.
Penanaman tanaman itu umumnya untuk keperluan sendiri, kadangkala dijual sebagai tambahan penghasilan.
Selain menanam berbagai jenis tanaman pangan, komunitas petani memiliki pengetahuan lokal tentang tanaman obat, jenis-jenis penyakit yang dapat
diobati dengan tanaman obat. Dari hasil wawancara mendalam dan diskusi terfokus, warga mengetahui sekitar 55 lima puluh lima jenis tumbuhan yang
dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Dari lima puluh lima jenis tumbuhan tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh macam habitus kelompok, yaitu pohon,
herba, semak, tumbuhan memanjat, semak, rumput dan lainnya. Dari lima puluh jenis tumbuhan obat yang diketahui dan dimanfaatkan oleh warga sebagian besar
terdiri dari pepohonan yang mencapai 25 jenis tumbuhan, lihat lampiran 1.a. Sebagian warga mengetahui cara pengolahan, kegunaan dan pemanfaatan
ke dua puluh lima jenis tumbuhan tersebut. Dari kelompok habitus herba yang biasa dimanfaatkan warga untuk obat-obatan adalah getah batang, satu jenis yaitu
Parahulu Amomum Oculeatum; bagian daun tiga jenis: Kumis Kucing, Ciriwuh dan Jonge; bagian batang dua jenis: Sariawan dan Ilat; bagian kulit batang satu
jenis yaitu Kanyere; rimpang dua jenis yaitu Loa Gajah dan Koneng Beurang; bagian Kulit Umbi satu jenis yaitu Taleus; dan akar satu jenis yaitu Cau Galek,
lihat lampiran 1.b. Bagian-bagian dari kelompok habitus pepohonan yang dapat dipergunakan
untuk pengobatan mencakup kulit batang, bagian batang, bagian daun,
133
bagian getah batang Angsana, bagian pucuk daun: Jambu Batu dan bagian buah satu
jenis yaitu Gaharu. Warga menggunakan dan memanfaatkan habitus pepohonan untuk mengobati 22 jenis penyakit, dengan cara ditumbuk, dibuat tuak, diperas
getahair, dikerik batangranting, direbus. Setelah diolah kemudian dijadikan obat untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Untuk obat sakit panas, menambah
stamina, sakit kuning, sakit perut, mencret, demam diolah dengan cara direbus kemudian diminum. Untuk sakit gigi dan gatal dengan cara ditempel di bagian
tubuh yang sakit dan untuk mengobati bisul dan borok dengan cara dibalurkan. Habitus lainnya yang didomestikasi oleh warga adalah kelompok herba: 11
jenis, Semak: 7 jenis, Perdu: 4 jenis, Tumbuhan memanjat: 3 jenis, Lainnya: 4 jenis dan rumput 1 jenis. Dari penggalian informasi di lapangan diketahui bahwa
warga setempat mengetahui berbagai jenis perdu dan tumbuhan semak yang dapat dipergunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit tertentu. Pengetahuan
warga terhadap habitus perdu yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit
133
Bagian kulit batang yang dapat digunakan untuk obat adalah Jeunjing, Kitoke, Lame, Teureup, Andul, Beunying, dan Pisitan; bagian batang: Muncang, Awi Koneng, Cangkore, Bisoro,
Kondang, Kimerak; bagian daun meliputi: Lampeni, Nangka, Awi Apus, Cangkudu, Tundun, Kisabrang, Kicapi dan Sangkar Badak. Diolah dari sumber primer.
mencakup empat jenis: Kiajag, Katepeng, Jeruk Nipis dan Harendong. Sedangkan habitus semak yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit mencapai tujuh
jenis yaitu Babakoan, Heuras Tulang, Keji Beling, Singgugu, Amis Mata, dan Salak
, lihat lampiran 1.c. Dari enam habitus tumbuhan yang diketahui oleh warga bila dibandingkan
dengan jumlah jenis tumbuhan obat yang disusun menurut Buku Indeks Tumbuhan Obat Indonesia tahun 1986 dan 1995, diketahui jumlah tumbuhan obat
yang dimanfaatkan masyarakat yang sudah terdaftar adalah sebanyak 47 jenis. Jumlah ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tumbuhan tersebut juga dimanfaatkan
oleh masyarakat lain di wilayah Indonesia. Penggunaan tumbuhan obat tersebut oleh warga digunakan untuk mengobati penyakit yang sama atau penyakit yang
berbeda. Sedangkan 8 delapan jenis tumbuhan lainnya belum terdaftar dalam Buku Indeks Tumbuhan Obat Indonesia tahun 1986 dan 1995. Kedelapan jenis
tumbuhan tersebut adalah 4 jenis dalam habitus pepohonan yaitu Kitoke Albizia Tomenntella
, Cangkore, Albizia Tomenntella, Garu Gonystillus Macrophylus dan Sangkar Badak Voacanga Grandifolia, 2 jenis dalam habitus Herba yaitu
Laja Goah Catimbium Malaccensis dan Ilat Scleria Purpuscens; satu jenis dalam habitus Perdu Harendong Melastoma Polyanthum dan satu jenis habitus
lainnya, yaitu Kihadangan Fissitigma Latifolium. Pengetahuan warga setempat tentang jenis-jenis tumbuhan obat ternyata
berkorelasi dengan pengetahuan mereka tentang cara pengolahan, penggunaannya dan jenis-jenis penyakit yang dapat diobati oleh jenis tumbuhan tersebut.
Sebagaimana diuraikan di atas dari lima puluh lima jenis tumbuhan, warga setempat menggunakannya untuk mengobati 32 jenis penyakit.
Kearifan lokal tentang tanaman obot-obatan dapat menjadi salah satu bentuk pengobatan alternatif dan berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat
bila diberdayakan dengan melibatkan berbagai pihak yang kompeten. Sejauh ini langkah itu belum dilakukan secara optimal, rendahnya political will dan
pemberdayaan masyarakat yang kurang sinergis menyebabkan kearifan lokal itu berkembang secara optimal bahkan cenderung layu.
5.2.4. Buyut dan Pipeling: Pengawal Keserakahan