berorientasi produksi secara terpusat menyebabkan terbatasnya program alternatif bagi aparat sektoral di tingkat lokal dan luruhnya pengetahuan dan praktek
pertanian berbasis kearifan lokal. Kedua pencapaian target produksi melalui mekanisasi, intensifikasi pertanian dan penggunaan pupuk kimia dan pestisida
secara berlebihan mengakibatkan pencemaran lingkungan. Penggunaan pupuk kimiawi telah menimbulkan pertumbuhan fitoplankton dalam jumlah berlebihan di
area konservasi Cagar Alam Rawa Danau. Pembusukan etika konservasi harus dibayar dengan semakin meningkatnya tambahan biaya produksi dan sekaligus
menimbulkan pencemaran lingkungan. Dalam ungkapan seorang petani: “penyemprotan hama dengan menggunakan pestisida, hama tanaman tidak
berkurang, sebaliknya terjadi ledakan hama karena terjadi resistensi terhadap pestisida dan pencemaran tanah dan air.”
7.3.4. Peluruhan Kearifan Lokal
Di atas dijelaskan komunitas petani memiliki kearifan lokal tentang tata kelola sumberdaya agraria, yang meliputi sistem olah tanah konservasi,
pemuliaan tanaman coo beunih, huma pupuhunan, mipit ritual pemilihan bibit unggul, ngubaran pare pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan dan
ngirab sawan acara ritual pembasmian hama padi ,
187
pergiliran tanam kidang dan zonasi hutan. Kearifan lokal merupakan bentuk pendekatan petani dalam
memahami kondisi ekologi lokal, sederhana namun di balik kesederhanaan justru terkandung kelebihan dalam upaya menjaga kelestarian ekosistem dengan cara
“tidak menyakiti bumi”. Etika konservasi dan aktivitas pertanian yang “tidak menyakiti bumi” itu
diprovokasi karena tidak sejalan dengan arus modernisasi dan sains modern. Provokasi aparat sektoral terhadap etika konservasi dilakukan secara persuasi dan
represif. Persuasi dan provokasi dilakukan melalui sosialisasi penggunaan teknologi modern, pupuk kimia dan pestisida untuk meningkatkan produksi
pertaniaan. Bentuk lainnya adalah membujuk petani untuk memodifikasi kebun
187
Bahan untuk membasmi hama padi adalah daun cangkudu, jeruk nipis, beuti laja lengkuas, karuhang, gembol, kalapa yang masih hijau, areuy beureum dan daun hanjuang. Bahan–bahan itu
ditumbuk sampai halus, kemudian dicampur dengan abu kapur, lalu ditebarkan di ladang. Kegiatan membasmi hama tergantung tingkat serangan hama, angka ganjil sering dijadikan acuan karena
dinilai mengandung keberuntungan. Sumber diolah dari sumber primer.
campuran dan talun menjadi tanaman monokultur kebun cengkeh, kebun kopi dan sejenisnya. Upaya provokasi ini dinilai masyarakat sebagai bentuk
ketidakpahaman aparat sektoral terhadap kondisi sosial dan ekologi lokal. Seperti terungkap dari pernyataan informan berikut:
Diakui petani hasil panen dan nilai jual cengkeh sering mengejutkan, tetapi tanaman cengkeh cukup rentan dari serangan hama pohon dan daun, untuk membasminya
perlu disemprot pestisida yang tidak selalu tersedia di pasar lokal dan harganya mahal. Pohon cengkeh memerlukan sinar matahari yang cukup, karena sebagian
besar kebun petani didominasi oleh kebun campuran dan talun, menyebabkan pohon cengkeh kurang subur, hasil panennya sedikit dan sering terkena serangan hama
daun yang mengakibatkan kematian. Ketika pohon cengkih milik petani banyak yang mati, petugas sulit diminta bantuan apalagi menggantinya.
Anjuran aparat sektoral untuk mengganti kebun campuran menjadi tanaman monokultur merupakan tindakan memaksakan kepentingan pemerintah
kepada masyarakat. Aparat sektoral tidak menghargai etika dan tradisi petani untuk menanam tanaman sesuai dengan kebutuhan dan kearifannya. Masyarakat
diprovokasi untuk membudidayakan tanaman tertentu sesuai dengan program sektoral, tetapi tidak dibekali keterampilan yang memadai. Tindakan provokasi
juga dilakukan terhadap tradisi dan praktik pemuliaan tanaman, pemilihan bibit unggul coo beunih, tempat persemaian benih huma pupuhunan, ritual
pemilihan bibit unggul mipit, maupun pada tahap pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan ngubaran pare dan acara ritualnya ngirab sawan. Aktivitas
tradisi dan praktik itu diprovokasi aparat sebagai “takhayul dan musyrik dan cara tatanen orang pasisian”
. Dampak dari provokasi tersebut adalah teralienasinya petani dari
komoditi yang ditanam dan diproduksinya. Pemuliaan bibit unggul yang sebelumnya melekat dan mentradisi dalam aktivitas pertanian, beralih tangan ke
laboratorium pusat-pusat kajian di perguruan tinggi dan penelitian dan pengembangan pertanian. Sebelum revolusi hijau bibit padi varietas lokal yang
terdapat di Indonesia mencapai 8000 jenis, setelah berlangsung revolusi hijau, bibit padi varietas lokal diperkirakan hanya mencapai sekitar 25 jenis.
188
Keberhasilan revolusi hijau di Indonesia harus dibayar dengan hilangnya kearifan lokal dan beralihnya penguasaan sekitar 7975 varietas padi lokal dari petani ke
188
Lihat Francis Wahono, “Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusi ke Perangkap Globalisasi”. Jurnal Wacana
. No.IV, 1999.
tangan bukan petani. Kearifan lokal tentang varietas padi lokal merupakan kekayaan intelektual yang tak ternilai yang beralih tangan dan menjadi milik IRRI
dan pemerintah Amerika Serikat. Pada komunitas petani di Citaman dan Cobojong, peluruhan kearifan lokal
mengakibatkan pudar dan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap pengetahuan keanekaragaman
hayati. Modernisasi
pertanian dan
kesehatan yang
mencerminkan tafsir Barat tentang ilmu pengetahuan moderen, mengesampingkan pengetahuan keanekaragaman hayati dan tanaman obat-obatan. Padahal kearifan
lokal tentang keanekaragaman hayati dan tanaman obat-obatan, bila direvitalisasi secara optimal berpotensi untuk bahan pengobatan alternatif secara herbal,
menjadi komoditas unggulan daerah dan dapat memberi nilai tambah bagi peningkatan pendapatan masyarakat.
Dari penggalian informasi di lapangan, sejauh ini belum ada upaya serius dari pemerintah daerah untuk merevitalisasi kearifan lokal masyarakat tentang
tanaman obat-obatan. Aparat sektoral di aras lokal lebih tertarik untuk melibatkan kelompok tani pada berbagai pameran dan pekan pertanian lokal dan regional,
meskipun tidak relavan bagi petani. Seperti dituturkan seorang pimpinan kelompok tani sebagai berikut:
“Bagi kami kelompok tani bisa ikut serta dalam pameran dan pekan pertanian, menambah percaya diri dan wawasan tentang dunia pertanian. Tetapi inovasi
pertanian yang diperkenalkan dalam pameran tidak punya arti, karena tidak sesuai dengan kondisi sumberdaya dan sumber dana yang dimiliki petani serta tidak ada
tindak lanjutnya. Ikut serta dalam pameran dan pekan pertanian hanya memberikan inspirasi untuk pengembangan agroforestry dan agrobisnis, tetapi tidak relevan
dengan kondisi SDM dan ekonomi petani.”
Pelibatan petani dalam pameran tampaknya dimaksudkan sebagai bagian dari upaya peluruhan kearifan lokal secara halus, untuk mendorong petani
merubah tradisi dan praktik agroforestry berbasis komunitas ke arah agroforestry komersial. Pengembangan agroforestry secara komersial berpeluang untuk
meningkatkan produktivitas agroforestry, tetapi peningkatan produktivitas tersebut berpotensi memudarkan kearifan lokal tentang keanekaragaman hayati
tanaman obat-obatan dan tanaman yang telah lama didomestikasi oleh petani. Pengembangan agroforestry komersial juga berpotensi merubah agro-ekosistem
tradisional yang bersifat polikultur dan stabil, digantikan sistem monokultur yang padat bahan kimia.
189
Peluruhan kelembagaan lokal oleh kekuatan supra lokal tak terlepas dari peran dan fungsi negara modern sebagai aktor pengatur utama dan mengatur
banyak hal kehidupan sosial. Meminjam istilah Schiller,
190
negara modern merupakan negara penentu daya power house state atau dalam istilah Giddens
1987
191
negara dalam masyarakat modern adalah aktor pendefinisi utama realitas sosial. Melalui proses weberisasi perumusan sejumlah peraturan perundang-
undangan, parkinsonisasi pembesaran kapasitas birokrasi, pemerintah melakukan orwelsiasi membatasi dan mengawasi aktivitas produksi agroforestry
yang dianggap mengganggu pencapaian target produksi. Peran dan posisi negara sebagai pendefinisi realitas dan penentu daya,
dimungkinkan untuk melakukan kekerasan fisik dan kerasan simbolik. Penggunaan kekerasan oleh aparat negara merupakan tindakan yang sah menurut
negara, tetapi tindakan serupa bila dilakukan oleh masyarakat sipil dianggap melawan hukum. Dari segi ini dapat dikatakan bahwa peran negara sebagai
pendefinisi utama realitas sosial, mengakibatkan peluruhan kelembagaan lokal berlangsung secara terstruktur. Merujuk pada Evers dan Schiel 1990, peluruhan
kelembagaan lokal melalui pengawasan pemerintah terhadap masyarakat sipil orwelisasi, dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonomi
rezim berkuasa, yakni penguasaan sumberdaya agraria termasuk sumberdaya hutan.
Hanya saja transformasi penguasaan sumberdaya hutan dari berbasis kelembagaan lokal ke penguasaan oleh negara, sejauh ini belum mampu
mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat seperti diamanat dalam
189
Indtrodusir tanaman monokultur mendorong aplikasi asupan kimiawi tak terkendali dalam pertanian yang menimbulkan kejenuhan tanah dan berdampak negatif pada kesehatan petani, yakni
melemahnya sistem endokrin yang ditandai dengan berkurangnya kesuburan, kelainan sistem kekebalan, gangguan rasa kepekaan dan menurunnya kecerdasan dan teragonik kelahiran anak
cacat dari ibu yang keracunan. Lihat, “Bahaya-bahaya Pestisida”. Tani Lestari No.4 Agustus, 1999.
190
Schiller, J., “Indonesia Mulai Tahun 1999: Hidup Tanpa Kepastian,” dalam Jalan Terjal Reformasi Lokal: Dinamika Politik di Indonesia
, Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2003.
191
Giddens, A. 1987. The Nation-State and Violence: Volume Two of A Contemporary Critique of Historical Materialism.
Berkeley: University of California Press.
konstitusi. Sehingga sejarah penguasaan sumberdaya hutan oleh negara merupakan sejarah kegagalan politik agraria kehutanan. Dalam konteks kawasan
DAS Cidanau gambarannya dapat disimak pada uraian berikut.
7.4. Kegagalan Politik Agraria