dan sekitar Cagar Alam Rawa Danau dipaksa ikut program transmigrasi ke Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu. Relokasi petani secara exsitu
merupakan titik kulminasi sikap represif aparat pemerintah terhadap komunitas. Menurut penuturan informan, langkah itu dilakukan didasarkan pertimbangan: 1
untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap kawasan hulu DAS Cidanau dan Cagar Alam Rawa Danau 2 sistem pertanian modern dapat dibangun dengan
memisahkan ikatan emosional dan sosial kulturalnya. Secara sosiologis relokasi exsitu, berarti mencabut petani dari akar dan
relung budaya dan lingkungannya. Petani dipaksa beradaptasi dengan lingkungan fisik dan sosial budaya baru, meskipun mereka tidak memiliki informasi dan
pengetahuan tentang kondisi sosial dan ekologi daerah tujuannya.
179
Tindakan pemerintah merelokasi petani secara paksa ke lingkungan ekologi baru, merujuk
pada Ever merupakan manifestasi orwelisasi tindakan respresif pemerintah terhadap masyarakat. Secara ekologi relokasi penduduk menggambarkan cara
pandang bahwa peradaban dapat dibangun tanpa ikatan historis manusia dengan tanah. Padahal krisis komunitas dan kemanusiaan pada umumnya, antara lain
disebabkan manusia hidup dalam wilayah maya di wilayah antah berantah tak bertanah. Kegagalan program transmigrasi antara lain didasarkan asumsi bahwa
manusia bisa hidup di wilayah antar berantah dan tanpa ikatan sosial kultural.
7.3.2. Penghancuran Modal Sosial
Modal sosial yang mengalami peluruhan yang berdampak luas terhadap kehidupan petani adalah liliuran. Bagi petani, liliuran merupakan institusi sosial
yang berperan menjaga kohesivitas dan solidaritas, distribusi tenaga kerja dan “katup pengaman” ketahanan pangan komunitas petani. Untuk wilayah hulu DAS
Cidanau, merujuk pada Polanyi, kelembagaan liliuran memiliki karakteristik sebagai embedded economy.
180
Dari penggalian informasi di lapangan, peran strategis kelembagaan lokal itu kurang mendapat perhatian dari aparat sektoral.
179
Lihat Laksono, “Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan: Antropologi Antah Berantah” dalam Anu Lounela dan R Yando Zakaria, 2002, Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan
Kampung . Yogyakarta: Insist-KARSA.
180
Lihat Karl Polanyi, “Perkembangan Ekonomi Pasar” dalam Hans Dieter Evers, 1998, Teori Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Moderen
. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Aparat sektoral di tingkat lokal lebih tertarik mensosialisasikan kelembagaan bentukan pemerintah, seperti KUBE, Kelompok Tani, LUEP, LMDH dan
Gapoktan untuk meningkatkan pemenuhan pangan dan kesejahteraan keluarga petani. Sementara warga yang sehari-harinya bergelut dengan aktivitas produksi
pertanian yang bergabung dalam liliuran yang secara nyata memiliki kontribusi terhadap ketahanan pangan keluarga tidak diberdayakan.
Rendahnya kemauan politik agensi pembangunan meningkatkan kapasitas kelembagaan liliuran, berlangsung ketika wilayah Banten menjadi bagian dari
provinsi Jawa Barat dan setelah Banten menjadi provinsi sendiri yang otonom. Hal ini menunjukkan otonomi daerah belum menghilangkan prejudis negatif dan
subyektivitas aparat di tingkat lokal terhadap kelembagaan liliuran. Indikasinya adalah pembentukan kelembagaan baru yang menjadi substitusi dan menapikan
kelembagaan komunitas. Dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan, aparat lebih menaruh perhatian pada “kelembgaan konspirasi” daripada yang tumbuh kembang
dari akar rumput. Kondisi ini terjadi karena pelaksanaan otonomi daerah pada aras lokal,
merupakan duplikasi sentralisasi dengan mengedepankan efisiensi dan peningkatan pendapatan asli daerah daripada demokratisasi dan memberdayakan
kelembagaan komunitas. UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004, diakui menyediakan peluang dan ruang kepada masyarakat dan
komunitas adat untuk membentuk pemerintahan desa sesuai dengan struktur sosial adatnya. Tetapi sejauh ini khususnya di tiga desa penelitian, otonomi daerah
belum sepenuhnya mampu mereposisi kelembagaan lokal. Kultur dan perilaku politik masyarakat desa yang telah lama terkooptasi oleh birokrasi dan sistem
politik elitis dan monolitik, perlu waktu untuk memberdayakan kelembagaan komunitas. Sementara UU No. 41 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan
cenderung ambigu, tidak memberikan rasa aman atas hak keperibumian dan hak atas daerah leluhurnya. UU No. 411999 tidak secara jelas mengakui kelembagaan
komunitas adatkomunitas sekitar hutan, karena hutan adat diposisikan sebagai hutan negara yang berada di wilayah masyarakat adat.
Ketentuan ini merupakan mainstream yang diturunkan dari asas dan dasar negara kesatuan, negara sebagai organisasi yang berkuasa atas rakyatnya.
181
Meskipun Undang-Undang No. 41 tahun 1999 lahir di era reformasi, tetapi dominasi negara atas kehutanan sangat kuat, negara sebagai pemegang kendali
dapat mencabut status ”hukum adat”. Hak negara atas hutan adalah syah, sebaliknya klaim sejarah masyarakat adat terhadap hutan tidak syah. Negara
mengakui hukum adat tetapi kedudukan hukumnya lemah dan tidak memberikan rasa aman unscure tenure bagi komunitas sekitar hutan, hak atas daerah leluhur
dan kepribumiannya tidak diakui.
182
Ini berbeda dengan pemangku otoritas hutan di Filipina dan Meksiko. Pemangku otoritas Filipina mengakui secara sah kedudukan, hak adat dan klaim
atas kawasan nenek moyang Ancestral Domain Claims. Hal serupa berlaku di Meksiko yang mengakui klaim atas masyarakat pribumi Communidandes. Di
Indonesia pengakuan terhadap kelembagaan hutan adat sekedar jargon politik, karena penyerobotan tanahhutan rakyat terus berlangsung dengan tingkat eskalasi
yang semakin luas. Sejauh ini pemberian izin HPH dan HTI tidak mempertimbangkanmenyertakan rekomendasi dari pemangku hutan adat dan
komunitas sekitar hutan, meskipun mereka merupakan tangan pertama yang menerima dampak langsung kerusakan akibat beroperasi HPH dan HTI.
Pemerintah alih-alih mengakui dan memperkuat kelembagaan komunitas, yang terjadi sebaliknya, melakukan pembusukan secara sistematis.
Merujuk pada analisis Peluso, produk hukum dan kebijakan kehutanan yang dikeluarkan
pemerintah cenderung memperparah kemerosotan hutan dan semakin merunyamkan kemiskinan penduduk yang tinggal di pinggiran hutan.
183
Kondisi inilah yang terjadi dan dialami kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di lokasi
penelitian. Kebijakan tata kelola hutan dan program pembangunan kehutanan
181
Lihat Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999.
182
Lihat Kartodihardjo, “Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan Baru Indonesia” dalam Ida Aju Prandja Resosudarmo dan Carol J.P. Colfer, 2003, Kemana Harus Melangkah. Jakarta Yayasan Obor
Indonesia.
183
Lihat Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan Rakyat
. Yogyakarta: Insist Press.
belum sepenuhnya berorientasi pada pemberdayaan komunitas, peningkatan kesejahteraan komunitas sekitar hutan.
Dampak dari kebijakan kehutanan demikian adalah semakin terbatasnya kesempatan kaum perempuan untuk mengais rejeki untuk mempertahankan
ketahanan pangan rumah tangganya. Penetrasi ekonomi kapital terhadap masyarakat sekitar hutan, menimbulkan perubahan hubungan kerja agraria dari
patron-client ke tenaga kerja upahan, dari bapak angkat - anak angkat ke pemilik -
buruh harian. Perubahan hubungan kerja agraria patron-client, mengakibatkan hilangnya perlindungan petani miskin dan buruh tani di sekitar hutan. Kebutuhan
tenaga kerja, biaya produksi dan sarana produksi usaha tani bibit yang sebelumnya dapat dipenuhi secara resiprositas melalui liliuran, dewasa ini harus
dibeli secara tunai dari luar desa. Dalam ungkapan seorang informan, kehancuran modal sosial ditandai dengan “tumbuhnya kecerdasan petani dari kepandaian
berbagi, beralih ke kepandaian berkali” dari resiprositas dan rasionalitas sosial ke rasionalitas ekonomi dan utilitarian.
7.3.3. “Pembusukan” Etika Konservasi