Ihtisar DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS

yang luas. Liliuran sebagai embedded institute dalam tata kelola sumberdaya agraria merupakan modal dasar bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan.

5.4. Ihtisar

Kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya agraria di hulu DAS Cidanau dibedakan atas kelembagaan lokal berupa aturan main, nilai dan norma dan berupa institusi dan praktik tata kelolanya. Bentuk kelembagaan lokal berupa aturan main meliputi buyut, pipeling, konsepsi tanah, tata guna tanah dan zonasi hutan leuweung, dan kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat. Sedangkan kelembagaan lokal berupa institusi adalah liliuran dan agroforestry. Buyut dan pepeling merupakan mekanisme dan aturan warga setempat yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan keberlanjutan sumberdaya. Pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan-melampaui daya dukung alam sama dengan menghancurkan masa depan kehidupan manusia, karena manusia dan sumberdaya merupakan bagian dari ekosistem. Dalam kehidupan petani, kelembagaan buyut dan pepeling diwujudkan dengan sistem olah tanah konservasi penerapan teknologi pertanian gilir balik, terasering, pembuatan guludan, ngaseuk, coo benih, pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan, masa tanam mengikuti daur musim dan pergiliran tanaman. Aspek penting yang terkandung dalam tata kelola sumberdaya agraria berbasis kearifan lokal adalah visi dan orientasinya yang memadukan produksi dan konservasi. Visi dan orientasi pengelolaan sumberdaya secara demikian diperlukan dalam tata kelola hutan berkelanjutan. Sejauh ini ilmu pengetahuan pertanian dan kehutanan modern yang mencerminkan tafsir Barat gagal memahami dan menempatkan kelembagaan sosial dan kearifan lokal dalam konservasi hutan. Kegagalan ini berujung pada meluasnya deforestasi dan peluruhan kelembagaan komunitas yang mengakibatkan komunitas sekitar hutan mengalami keterbelakangan dan menjadi kantong kemiskinan. Dalam upaya mewujudkan pembangunan hutan berbasis masyarakat, maka kelembagaan dan kearifan lokal tata kelola sumberdaya hutan komunitas selayaknya dipertimbangkan dan mendapat tempat dalam politik agraria kehutanan dan khususnya perhutanan sesuai ruang sosial, lokalitas dan spasialnya.

BAB VI KONTESTASI SEKTORAL, LOKAL SUPRALOKAL

DAN INTERNAL KOMUNITAS 6.1. Pendahuluan Kontestasi penguasaan sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia di wilayah pedesaan berlangsung pada aras makronasional dan mikro di masyarakat. Pada aras makro kontestasi berlangsung antar berbagai kekuatan politik dan ekonomi melalui perumusan sejumlah peraturan perundang-undangan. Di aras mikromasyarakat, kontestasi sektoral, muncul dalam pelaksanaan program sektoral melalui proyek yang bersifat top down yang disertai pembentukan kelembagaan yang menegasikan kelembagaan masyarakat. Sehingga kontestasi sektoral mengakibatkan kapitalisasi sumberdaya pedesaan dan mengabikan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Kontestasi sektoral juga semakin menjauhkan upaya peningkatan taraf hidup dan kemandirian masyarakat pedesaan dan mendorong meluasnya konflik agraria di wilayah pedesaan. Kontestasi sektoral dipicu oleh tumpang tindihnya regulasi dan lemahnya sinergi dan koordinasi masing-masing sektor dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring. Gambaran kontestasi sektoral di lokasi penelitian dapat disimak pada uraian berikut.

6.2. Kontestasi Sektoral

Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui bahwa kontestasi sektoral penguasaan sumberdaya agraria terkait erat dengan tumpang tindihnya peraturan penundang-undangan sektoral, menguatnya ego sektoral dan kurangnya pemahaman pemangku kepentingan atas sifat dan fungsi sumberdaya sebagai sistem daya dukung kehidupan atau modal alam. Pemangku kepentingan atau aktor yang terlibat dalam kontestasi sektoral, menempatkan sumberdaya agraria semata-mata sebagai komoditi ekonomi dan mengabaikan fungsinya sebagai daya dukung kehidupan atau modal alam. Sebab sumberdaya sebagai daya dukung kehidupan, jika dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi semata-