Konflik Tenurial Kontestasi Lokal Supralokal

Perbedaan pemangku kepentingan atau aktor dalam melihat masalah DAS Cidanau juga berpengariuh terhadap bentuk kelembagaan atau tata kelolanya. Aparat Kecamatan memandang perlunya political action untuk mewujudkan keterpaduan hulu dan hilir dalam pengelolaan DAS, melalui penguatan kelembagaan DAS. Hal senada dikemukakan oleh staf UPT DAS, yang memandang perlunya peningkatan kapasitas kelembagaan DAS, koordinasi antar sektor dan penguatan Forum Komunikasi DAS Cidanau. Sementara tokoh masyarakat menghendaki DAS Cidanau dikelola secara terpadu yang melibatkan masyarakat, kemitraan hulu dan hilir dan dialog demokratis yang setara dan berkelanjutan.

6.3.2. Konflik Tenurial

Konflik agraria di kawasan DAS Cidanau Desa Citaman dan di Cagar Alam Rawa Danau merupakan pertentangan antara komunitas petani dengan perusahaan dan pemerintah. Para pihak yang terlibat konflik mengklaim dan memperjuangkan kepentingan atas objek agraria yang sama, tetapi dari sumber hukum yang berbeda. Pengembang mengklaim bahwa penguasaannya atas sejumlah area tanah di kaki Gunung Karang sah secara hukum, sesuai izin yang dikeluarkan Pemerintah Daerah. Pengembang yang memiliki legalitas formal mengklaim bahwa leuweung bukaan merupakan tanah negara, sehingga hak pemilikan dan penguasaannya gugur dan melanggar hukum. Atas dasar itu pengembang merampas dan memancang patok tanah petani. 155 Tindakan sepihak pengembang mendapat perlawanan petani. Petani mengklaim bahwa tanah yang dikuasainya berdasarkan hak kesejarahan, hak sosial, dan “hak kepribumian” yang telah berlangsung secara turun temurun, jauh sebelum terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia. Hak kesejarahan dan “hak kepribumian” terhadap sumberdaya agraria pada komunitas kajaroan memiliki fungsi dan kedudukan sebagai hak ulayat. 156 Karena itu konflik agraria 155 Terdapat dugaan kuat bahwa klaim sepihak pengembang atas leuweung bukaan di wilayah Citaman dilakukan melalui konspirasi dengan aparat terkait. Di tengah komersialisasi tanah penguasaan tanah sekitar 50 ha untuk mengembangkan usaha agrowisata memerlukan investasi yang besar. Diolah dari sumber primer. 156 Hak ulayat diakui UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 dan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Pemerintah menilai masyarakat hukum adat di wilayah Citaman dikategorikan sebagai konflik tenurial, 157 yakni pertentangan klaim terhadap obyek agraria yang sama berdasarkan hukum yang berbeda, hukum positif berhadapan dengan hukum adat. Penguasaan komunitas atas sumberdaya agraria telah berkembang jauh sebelum negara Indonesia berdiri, sehingga memiliki hak kesejarahan dan kepribumian. Menurut petani tanah merupakan kebutuhan dasar basic need pemenuhan tanah sebagai bagian dari pemenuhan hak azasinya dan sekaligus sebagai public good yang pemanfaatannya harus dapat diakses oleh petani. Bagi petani, tanah yang dikuasainya merupakan sumber nafkah, tempat kelahiran dan kematian, budaya bahkan religi. Hak tenurial atas tanah yang dikuasai penduduk berasal dari berbagai perolehan hak dan peralihan hak, seperti warisan, pembelian dan pembukaan leuweung bukaan sebelum kemerdekaan. Menurut sejumlah informan, tanah yang dikuasai penduduk merupakan leuweung bukaaan, warisan buyut leluhur yang telah berlangsung sejak masa kolonial Belanda dan diakui pemerintah berdasarkan Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan . Klaim pengembang bahwa tanah yang dikuasai petani sebagai tanah negara merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak kesejarahan dan hak kepribumian. Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui alasan pemerintah daerah mengeluarkan surat izin hak guna usaha pada pengembang didasarkan atas pemahaman bahwa hak turun temurun, hak kepribumian atau hak ulayat yang berada di tangan penduduk telah “diangkat dan digantikan menjadi hak ulayat yang dipegang oleh negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi di Indonesia. Komunitas petani bukan masyarakat hukum adat dan bukan subjek hukum, sehingga tidak memiliki hak penguasaan dan kekayaan yang diatur dalam KUHP. Akibat kedua belah pihak tetap kukuh pada pendiriannya, konflik agraria kenyataannya sudah tidak ada lagi, implikasinya hak ulayat dianggap tidak ada. Pandangan ini menjadi sikap pemerintah dalam menanggapi “hak tradisi’ dan hak kepribumian penguasaan dan pemilikan tanah oleh komunitas petani. 157 Uraian tentang hak tenurial lihat Ton Diez, Ton. 1998. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist-Remedec. menjadi tak terhindarkan. Dari segi eskalasinya bersifat lokal-regional, 158 para pihak yang terlibat konflik terbatas pada wilayah Kecamatan Ciomas. Para petani yang tanahnya diklaim oleh pengembang turun ke jalan, dalam aksinya mereka menggunakan atribut hitam putih, sebagai simbol kebersihan protes mempertahankan hak tanah yang dikuasainya. 159 Prosesnya berlangsung sekitar tiga bulan dari April sampai Juni 1997. Sejumlah informan yang terlibat dalam aksi demonstrasi menyatakan, aksi-aksi massa petani tidak sempat menimbulkan korban, karena pada saat aksi berlangsung, pihak pengembang menahan diri dengan menarik stafnya dari wilayah tanah yang disengketakan. Petani hanya mendapat teror dan intimidasi dari pengembang dan aparat keamanan secara terus menerus sampai jatuhnya Presiden Soeharto bulan Mei 1998. Perjuangan petani mempertahankan haknya atas tanah, tidak terbatas dalam bentuk aksi demonstrasi, tetapi juga sesuai dengan keyakinannya disertai penyelenggaraan shalat jenazah kematian tujuh malam berturut-turut. Perjuangan petani secara “batin” melalui shalat jenazah menunjukkan dua hal: pertama tanah merupakan kebutuhan ekonomi yang bersifat azasi buat petani sehingga harus dibela sampai mati. Kedua mempertahankan penguasaan tanahnya merupakan hak kebenaran, karena itu ketika haknya dipersoalkan dikembalikan dan minta bantuan kepada Yang Maha Pemilik Hak. Keyakinan petani bahwa tanah yang dikuasainya sebagai hak dan kebenaran, kemudian menjadi kenyataan. Perjuangannya membuahkan hasil, sekitar empat puluh hari setelah selesai shalat jenazah atau tiga bulan setelah jatuhnya Rezim Orde Baru diperoleh informasi pemilik perusahaan pengembang meninggal dunia. Informasi kematian pemilik pengembang disambut gembira oleh penduduk Desa Citaman. Kabar meninggalnya pengembang di tengah rezim transisi, disambut suka cita, menumbuhkan semangat baru, karena petani memiliki amunisi dan darah segar untuk mempertahankan hak sosial ekonomi atas tanah 158 Data tentang konflik agraria yang eskalasinya lokal dapat dilihat dari Statistik Potensi Desa, BPS 2003. Dari 69.000 desakelurahan yang di data pada tahun 2002, dilaporkan terjadi konflik lokal pada sekitar 4.872 desakelurahan 7. Lihat Statistik Potensi Desa, BPS, 2003. 159 Dalam aksinya pengunjuk rasa sering meneriakkan: “Jangan sebut tanah leluhur Kajaroan kalau tanah kami dirampas secara sewenang-wenang”. “Bebaskan kami dari PBB Pajak Bumi dan Bangunan jika tanah leluhur tidak diakui”. “Hentikan perampasan tanah leluhur.” Dituturkan oleh narasumber yang telah lama dikuasainya. Kegembiraan tersebut diwujudkan dalam bentuk syukuran dan liliuran pada tanah yang telah diklaim oleh pengembang yang melibatkan sekitar 60 orang petani bersama keluarganya. Kegiatan liliuran merupakan titik puncak perjuangan petani untuk memperjuangkan tanah sebagai hak sosial ekonomi dan kepribumian penduduk. 160 Dalam diskusi dengan masyarakat timbul kesadaran, bahwa konflik agraria di Desa Citaman dipicu oleh kebijakan agraria betting on the strong. Bagi petani konflik tersebut, bukan hanya menegangkan, menyengsarakan dan menimbulkan trauma tetapi juga mengancam aset produktifnya, yakni tanah dan hampir merenggut keselamatan jiwanya. Pengabaian hak sosial ekonomi komunitas dan keberpihakan Pemda pengembang, mengakibatkan petani mengalami tindak kekerasan, penindasan dan penyingkiran. Konflik agraria di wilayah desa Citaman disebabkan pelaksanaan politik agraria pemerintah daerah, tidak berdasarkan horizon yang luas menjamin kepentingan, akses dan kesejahteraan rakyat tetapi bersifat sektoral dan mengarah pada upaya pelestarian kepentingan sempit, yakni peningkatan asli daerah. Pengembangan kawasan ekowisata dengan mencaplok tanah masyarakat, merupakan bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap nilai dan fungsi tanah bagi petani. Pemerintah lebih mengedepankan preferensi ekonomi daripada pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga tidaklah berlebihan bila masyarakat menuduh, pemerintah menghidupkan kembali politik agraria kolonial karena menegasikan hak-hak rakyat dan bukan melindunginya.

6.4. Kontestasi Internal Komunitas