Zonasi Hutan Leuweung Kearifan Lokal Tata Kelola Sumberdaya Agraria

5.2.2. Zonasi Hutan Leuweung

Warga menyebut hutan dengan leuweung, merujuk pada kawasan tempat tumbuh kembangnya beragam flora dan fauna yang menjadi sumber kehidupan dan tempat kehidupan manusia yang telah meninggal buyut, karuhun dan makhluk halus. Pengertian ini menunjukkan bahwa pemahaman warga tentang leuweung tidak secara fisik dan spesifik tetapi juga sosial religius. Warga juga mengenal zonasi hutan, yang meliputi leuweung bukaan, leuweung kolot, dan leuweung titipan . Leuweung kolot atau leuweung tutupan merupakan area hutan yang dipersepsi warga sebagai kawasan hutan yang dititipkan dan diamanatkan para leluhur kepada incu putu untuk dilindungi dan dipelihara. Sebagai titipan para leluhur akses dan pemanfaatan warga setempat pada leuweung kolot bersifat terbatas. Pengambilan manfaat leuweung kolot baik berupa kayu maupun non kayu harus memperhatikan nilai-nilai kabuyutan dan keberlanjutannya. Warga diperkenankan untuk mengambil manfaat dalam bentuk hasil kayu maupun non kayu, sepanjang tidak melanggar buyut dan berdasarkan kesepakatan dan restu kokolot . Pengambilan hasil kayu dibatasi hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan tidak boleh untuk keperluan komersial. Sesuai dengan sebutannya, leuweung tutupan dipersepsi masyarakat seperti “pintu” bisa dibuka dan ditutup. Leuweung tutupan berfungsi sebagai “hutan cadangan”. Warga setempat mempercayai barang siapa yang melakukan eksploitasi leuweung kolot akan tertimpa kebendon kemalangan. Meskipun tidak dikeramatkan, pemanfaatan sumberdaya hutan leuweung kolot harus memperhatikan buyut atau etika konservasi. Komunitas desa Citaman merujuk leuweung kolot pada kawasan hutan lindung yang berada pada bagian tengah gunung Pangarang. Kawasan leuweung titipan dimaknai oleh warga sebagai hutan pembatas, dalam arti pembatas antara kawasan hutan yang terlarang buyut untuk mengambil manfaat ekonomi dengan kawasan hutan yang “boleh” dimanfaatkan yang diawasi secara ketat. Secara ekologis kawasan leuweung kolot berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi hutan dan mengeksploitasinya akan berakibat rusaknya pengatur siklus hidrologi yang dapat menimbulkan bencana banjir. Leuweung titipan merupakan kawasan hutan yang dititipkan buyutkaruhun kepada incu putu untuk dilindungi dan dipelihara. Mereka menganggap leuweung titipan merupakan area tempat bersemayamnya makhlukroh halus dan karuhun, dan mereka pula yang menjaganya. Warga setempat menempatkan dan memaknai leuweung titipan sebagai hutan keramat. Tata kelola dan perlakuan warga terhadap leuweung kolot dan leuweung titipan pada prinsip sama, warga dilarang buyut mengeksploitasinya. Hanya saja leuweung titipan dikeramatkan, tidak diperkenankan mengambil manfaat hutan baik dalam bentuk hasil kayu maupun non kayu. Warga desa Citaman merujuk leuweung titipan pada kawasan hutan lindung yang terletak di atas gunung Karang. Secara ekologis kawasan ini memiliki fungsi yang sama dengan leuweung kolot sebagai pengatur siklus hidrologi hutan, sehingga eksploitasi hutan berakibat rusaknya pengatur siklus hidrologi hutan yang dapat menimbulkan banjir. Leuweung titipan oleh komunitas disebut sebagai sirah cai sumber mata air dan pusat keseimbangan ekosistem. Zona hutan ketiga yang dikenal warga adalah leuweung bukaan atau sampalan hutan budidaya. Leuweung bukaan merupakan kawasan hutan yang telah digarap dan dikelola untuk kegiatan huma dan kebun. Pengelolaan leuweung bukaan oleh warga berdasarkan kearifan lokal. Aktivitas pertanian yang dilakukan warga pada sampalan senantiasa memperhatikan keberlanjutannya. Pengelolaan dan pengusahaan sampalan tidak boleh menyebabkan erosi tanah dan kepunahan varietas tanamantumbuhan yang terdapat di sampalan. Kearifan lokal yang dimiliki warga bersumber dari pesan dan ajaran leluhur yang disosialisasikan secara lisan dari generasi ke generasi, seperti tertuang dalam pepatah: Leuweung kakaian, gawir awian, legok balongan. Artinya: Hutan tanami kayu, tebing tanami bambu dan lembah jadikan kolam. 131 Bagi warga pepatah itu berfungsi sebagai rujukan, tuntunan moral dan pedoman dalam aktivitas berhuma dan berkebun. Tata kelola sampalan diarahkan untuk senantiasa menjaga hubungan harmonis antara manusia dan sumberdaya 131 Dalam masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak Banten, terdapat pikukuh aturan dalam pengelolaan sumberdaya agraria yang berbunyi: “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu menang dirusak, sasaka teu menang direumpak” . Artinya: Gunung tidak boleh dihancurkan, dataran tidak boleh dirusak dan tanah suci tidak boleh diacak-acak. Lihat, Judistira K. Garna, 1999. Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif . Bandung: Primaco Akademika. hutan sebagai bagian dari ritme budaya. 132 Hubungan harmonis ditunjukkan dari perilaku hidup bersahabat dengan hutan dan pemanfaatan hutan sebagai bagian dari mempertahankan keberlanjutan budaya. Arah orientasi pemanfaatan hutan secara berkelanjutan ditopang oleh tradisi dan religi, bahwa dunia ini tempat persinggahan sementara menuju kehidupan kekal di akhirat. Pemanfataan leuweung bukaan bukan hanya untuk menghasilkan tanaman yang dapat menopang kehidupan keluarga dan komunitas tetapi juga didasarkan semangat untuk mempertahankan fungsi ekologis hutan bukaan sebagai pengatur tata air. Tanaman yang ditanam oleh petani di leuweung bukaan merupakan tanaman multikultur beragam pohon buah-buahan secara bersama dengan pohon kayu-kayuan yang membentuk hamparan hutan dan menjunjung etika konservasi. Sistem olah tanah dilakukan dengan gilir balik dan tapak siring, budidaya tanaman dengan mengikuti daur musim dan pengambilan kayu dengan sistem tebang pilih. Pemanfaatan hutan secara demikian dalam upaya menjaga keharmonisan dan keberlanjutan sumberdaya hutan. Sejalan dengan komoditifikasi sumberdaya hutan, kearifan lokal tentang zonasi hutan dan tradisi praktik tata kelolanya dewasa ini semakin tergerus.

5.2.3. Domestikasi Tanaman Pangan dan Obat