“populisme” yang terkandung dalam Undang–Undang Pokok Agraria, dewasa ini menjadi “vehicle to get power” dari penyelenggara negara dan kelompok kecil
pengusaha. Sementara itu pendekatan dan kelembagaan tata kelola sumberdaya bersifat sektoral, tidak sineregis dan tidak terkoordinasi secara baik.
Arah orientasi politik sumberdaya agraria kapitalis dan sektoral, tercermin dalam sejumlah peraturan perundangan dan praktik penyelengaraan pemerintahan
rezim Orde Baru dan rezim penggantinya.
60
Berbagai regulasi kebijakan pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya cenderung memfasilitasi dan membuka
akses kepada pemilik modal untuk menguasai sumberdaya melalui “mekanisme pasar”: supply and demand. Dalam kondisi penyelenggaraan negara bersifat
transaksional, maka mekanisme pasar dan menguatnya kontestasi sektoral pengelolaan sumberdaya agraria berpotensi menyuburkan pelaku usaha oportunis.
Pemilik modal, pengusaha yang memiliki jaringan pertemanan dan akses terhadap kekuasaan,
berpeluang memonopoli
sumberdaya agraria
hutan dan
pertambangan secara berlebihan, menimbulkan ketimpangan struktural penguasaanpemilikan sumberdaya. Sejumlah kecil pelaku usaha yang memiliki
akses terhadap kekuasaan, menguasai sumberdaya hutan yang berlimpah untuk mengakumulasi modalnya, sementara sebagian besar masyarakat yang hidupnya
tergantung pada sumberdaya hutan, berkeluh keringat dan mencucurkan darah memperebutkan setapak tanah untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
2.2.1. Kontestasi Sektoral
Kerangka politik pengelolaan sumberdaya agraria, idealnya berlandaskan karakteristik sumberdaya dan landasan konstitusional. Pengelolaan sumberdaya
secara sektoral apalagi diserahkan pada mekanisme pasar, selain bertentangan dengan landasan konstitusi, juga kontradiktif dan kontraproduktif dengan sifat
dari sumberdaya itu sendiri. Sifat sumberdaya agraria dapat dibedakan sebagai
60
Di era reformasi lahir TAP MPR No.IX2001 tentang Pembahruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, tapi perundang-undangan sesudahnya berpihak dan melayani kepentingan
pasar nasional dan global daripada kesejahteraan rakyat. Misalnya UU No. 72004 Tentang Sumber Daya Air; Perpu No.1 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 411999 tentang
Kehutanan; UU No.252007 tentang Penanaman Modal, UU No. 272007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No. 42009 tentang Pertambangan dan Mineral.
sistem daya dukung kehidupan, stock atau modal alam dan sebagai komoditi ekonomi.
61
Sumberdaya alam dalam bentuk stock menghasilkan sejumlah kegunaan yang dapat dirasa dan dilihat, seperti menyimpan air dan mencegah banjir di
musim hujan, mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2 di udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurai berbagai bahan beracun, dan
sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya komunitas. Fungsi sumberdaya alam dalam bentuk stock merupakan barang publik, sehingga tidak
dapat dimiliki secara perorangan, meskipun setiap orang memerlukannya. Sebagai komoditi, sumberdaya dapat dimanfaatkan untuk mendukung kehidupan manusia,
sepanjang pemanfaatannya memperhatikan daya dukung alamiahnya. Kedua fungsi sumberdaya tersebut saling terkait erat dan tak dapat dibagi-bagikan,
berdasarkan wilayah administrasi kekuasaanpemerintahan. Sumberdaya sebagai sistem daya dukung kehidupan misalnya bentang alam DAS, pengelolaannya
tidak dapat disekat berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan. Menurut Hariadi, 2006
upaya melestarikan kedua fungsi sumberdaya ditentukan oleh kelembagaan tata kelola dan sifat sumberdaya, karena
sumberdaya mempunyai keterbatasan daya dukung untuk menghasilkan komoditi dan fungsinya secara berkelanjutan. Setiap jenis komoditi yang diambil dari
sumberdaya berupa stock, akan mempengaruhi produktifitas jenis komoditi lain dan fungsi sumberdaya alam secara keseluruhan, seperti ketersediaan air dalam
DAS atau bioregion lainnya. Karakteristik DAS, seharusnya menjadi dasar perumusan pembuatan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan
daerah, yang menjamin keberlanjutan sumberdaya dan sekaligus memberi kesempatan kepada masyarakat terlibat.
Kondisi ini tidak dipahami sepenuhnya oleh pembuat kebijakan. Regulasi yang dirumuskan oleh pemangku otoritas lebih mengutamakan kepentingan fungsi
sumberdaya sebagai komoditi dari fungsinya sebagai daya dukung kehidupan. Arus utama pengelolaan sumberdaya yang berorientasi pada produksi komoditi
61
Klasifikasi sumberdaya sebagai stock atau modal alam hutan dan daerah aliran sungai dan sebagai aset ekonomi atau barangkomoditi tanah dan barang yang ada di bawah dan di atas
tanah, Lihat Hariadi Kartodiharjo dan Hira Jhamtani, 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan Di Indonesia
. Jakarta: Equinox Publisihing, p.55-56.
dan pertumbuhan ekonomi, mendorong komoditifikasi sumberdaya dan pengelolaan sumberdaya secara transaksional dalam rangka memburu rente
ekonomi dan vehicle to get power” penyelenggara negara dan kelompok kecil pengusaha.
Pendekatan tata kelola sumberdaya secara demikian mengakibatkan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pendukungnya yang
mengatur tata kelola sumberdaya, cenderung kontradiktif dan kontraproduktif dari upaya mewujudkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Gambaran
kontradiktif dan kontraproduktif dari sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengelolaan SDA Menurut 5 UU dan Potensi Masalahnya
Undang Undang
Pengaturan dan Usaha Potensi Masalah
Dampaknya Lingkup Tata Kelola Sumberdaya
Lingkup Pemanfaatan Lingkup
SDA Organisasi
Pengelola Perencanaan
Obyek Komoditi
Tata Kelola
dan Izin No.41’99
Kehutanan DAS,Hutan
Hsl Hutan Balai dan
Pengelola Wilayah
Pengelolaan Hutan
Pembentukan Wilayah
Pengelolaan Hutan Akti
vitas Pengelo laan
Kayu, Non Kayujasa
Lingkungan Izin
Usaha Pemanfaatan
Pemungutan dan Izin
Pinjam Pakai Izin dikeluarkan
meski perencanaan tidak dilaksanakan.
Secara nasional mengukuhkan hutn
10 kwasan hutn
No. 7’04 SD Air
Wil. Su- ngai Dpt
Lebih dr 1 DAS
Cekungan Air Tanah
Dewan SDA Air
Nas, Prov
dan Kab. Kota
Pola Pengelo- laan wil. su-
ngai, Pengelo laan SD air
pendayagu anaan sda Air
Air Penggunaan
peran serta,
pengemb, izin pengusahaan
sda air Izin dpt dikeluar-
kan meski belum ada
perencanaan. Degradasi
dan komersialisasi air
No. 31’04 Perikanan
Perairan ZEE danau
Waduk su
ngai Rawa dan Ikan
Pengawas Perikanan
Renc.Pengel. Perikanan, Po
tensiAlokasi SDA ikan
Jum Tangkp alat tangkap
Ikan Izin Penang-
kapan Ikan Izin
Kapl Pengangkut
ikan Tak disebutkan dgn
jelas, Izin dpt dibe- rikan tanpa diketa
tahui daya dukung sda perikannan. Eks
ploitasi konflik
No.51990 Konserv.
SDA Hayati dan
Ekosistem Wil.
Sbg sistem per
lindungan penyangga
kehidupan Lembaga-
Lembaga Pengelola
Kawasan Konservasi
Pembentukan Wil. Pola dsr,
Pengaturan Pemanfaatan
Konservasi Kondisi
Lingkungan, Tumbuhan
dan Satwa
Liar Tidak
Menetapkan perizinan
Konservasi mengabaikan
komunitas lokal
No 22’01 Minyak
dan Gas
Bumi Minyak dan
Gas Bumi sbg
komoditi Badan
Pelaksana Pengatur
Wilayah Kerja untuk Kegiat-
tan Hulu dan Hilir
Minyak dan Gas Bumi
Hulu: Kontrak Kerjasama, Hi
lir: Perizinan Wil. kerja hulu hilir
tak terkait. Harga migas makin tinggi
sulit dijangkau
Dari Tabel 1 diketahui bahwa undang-undang sektoral pertambangan, kehutanan, perikanan, minyak dan energi satu sama lainnya tumpang tindih, tidak
adanya kordinasi antar sektor dan menimbulkan sejumlah masalah dalam hal perizinan, pemanfaatan, pengelolaan dan kelembagaannya. Arus utama dari
regulasi dan tata kelola sumberdaya diarah orientasikan untuk menyokong pertumbuhan ekonomi dan menempatkannya sebagai komoditas semata-mata.
Arus utama dan pendekatan tata kelola sumberdaya secara demikian berimplikasi cukup kompleks terhadap keberlanjutan sumberdaya maupun keberadaan
komunitas di sekitarnya. Dari penelaahan terhadap lima peraturan perundangan di atas
diidentifikasi sejumlah implikasi negatif sebagai berikut: 1.
Mendorong perubahan fungsi bentang alam yang luas untuk perkebunan, pertambangan dan infrastruktur jalan, bendungan, properti, pemukiman dan
kawasan industri. 2. Konsentrasi peruntukan lahan untuk sektor-sektor yang diunggulkan demi
mengejar target, meskipun yang menikmati dari pencapaian target segelintir orang pemilik modal yang melakukan negoisasi secara transaksional.
3. Menyingkirkan kebutuhan lain seperti keberlanjutan tata air permukaan dan bawah permukaan, keberlanjutan lahan untuk penyediaan pangan, serta
ketersediaan kawasan pemukiman yang sehat bagi warga miskin. 4. Peluruhan kelembagaan dan alienasi komunitas di wilayah yang menjadi
kawasan sektor-sektor unggulan. 5. Kelima meluasnya pengungsi ekologik di perkotaan dengan fasilitas pendukung
terbatas yang menimbulkan pertumbuhan kriminalitas, sektor informal, kantung-kantung permukiman kumuh.
Kelima aspek tersebut menunjukkan bahwa kontestasi sektoral yang menempatkan sektor tertentu sebagai sektor unggulan sulit untuk menselaraskan
pertumbuhan ekonomi dengan upaya mempertahankan ekosistem bentang alam dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Menguatnya kontestasi dan ego sektoral
menyebabkan program pembangunan yang melibatkan berbagai sektor tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Misalnya program agropolitan yang dilakukan
Kementerian Pertanian dan Pekerjaan Umum. Kontestasi sektoral mengakibatkan konversi lahan pertanian untuk kepentingan bukan pertanian pemukiman,
perkantoran, wisata, restoran, hotel dan jalan tol baik di Jawa maupun di luar Jawa terus berlanjut dan sulit dikendalikan. Dampak dari tak terkendalinya
konversi lahan pertanian untuk kepentingan bukan pertanian mengakibatkan
semakin sulitnya mencapai swa-sembada pangan dan tergusurnya petani dari kawasan pertanian.
Dalam bidang pertambangan
dan energi, kontestasi
sektoral menyebabkan rusaknya ekosistem hutan lindung sebagai akibat ekploitasi
pertambangan. Di sisi lain swa sembada energi semakin sulit dicapai dan harga semakin tidak terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah di pedesaan. Hal ini
disebabkan masing-masing instansi sektoral lebih mengutamakan pencapaian program, produktivitas dan target sektoral, sementara aspek perlindungan dan
pelayanan publik cenderung diabaikan. Kondisi ini terjadi pada berbagai jenjang kelembagaan pemerintahan kementriaan, provinsi dan KabupatenKota.
Otonomi daerah yang bertumpu pada pemerintah KabupatenKota, bukan hanya tidak mampu meredam ego sektoral, tetapi menumbuh-suburkan ego kedaerahan.
Ego kedaerahan tersebut ditunjukkan oleh perilaku dan tindakan Kepala Daerah sebagai ”raja lokal”. Menguat ego kedaerahan mengakibatkan semakin sulitnya
koordinasi dan sinkroniasasi pembangunan antar daerah, termasuk antar pemerintah kabupatenkota yang berada di satu kawasan bentang DAS.
2.2.2. Kontestasi Lokal Supralokal