semakin sulitnya mencapai swa-sembada pangan dan tergusurnya petani dari kawasan pertanian.
Dalam bidang pertambangan
dan energi, kontestasi
sektoral menyebabkan rusaknya ekosistem hutan lindung sebagai akibat ekploitasi
pertambangan. Di sisi lain swa sembada energi semakin sulit dicapai dan harga semakin tidak terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah di pedesaan. Hal ini
disebabkan masing-masing instansi sektoral lebih mengutamakan pencapaian program, produktivitas dan target sektoral, sementara aspek perlindungan dan
pelayanan publik cenderung diabaikan. Kondisi ini terjadi pada berbagai jenjang kelembagaan pemerintahan kementriaan, provinsi dan KabupatenKota.
Otonomi daerah yang bertumpu pada pemerintah KabupatenKota, bukan hanya tidak mampu meredam ego sektoral, tetapi menumbuh-suburkan ego kedaerahan.
Ego kedaerahan tersebut ditunjukkan oleh perilaku dan tindakan Kepala Daerah sebagai ”raja lokal”. Menguat ego kedaerahan mengakibatkan semakin sulitnya
koordinasi dan sinkroniasasi pembangunan antar daerah, termasuk antar pemerintah kabupatenkota yang berada di satu kawasan bentang DAS.
2.2.2. Kontestasi Lokal Supralokal
Visi dan misi pengelolaan sumberdaya yang dirumuskan oleh pendiri republik untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat mengambarkan pemikiran
politik agraria populis. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara populis diarahkan untuk mencapai keselarasan, ketentraman, terjaganya keberlanjutan dan
keseimbangan ekosistem. Politik agraria populis sangat kecil peluang terjadinya ketimpangan dan kemiskinan dalam masyarakat, karena aktivitas tata kelola
sumberdaya diarahkan untuk kepentingan bersama dari pada kepentingan keuntungan individual.
62
Tata kelola sumberdaya populis didukung oleh pengetahuan dan kearifan lokal yang bersifat “mutable immobiles” pengetahuan yang relatif lunak dan
selalu selaras dengan lingkungan lokal. Partisipan yang terlibat dalam tradisi dan praktik tata kelola sumberdaya agraria berbasis komunitas memiliki pengalaman
62
Dewalt, Billie R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management. Human Organization, Vol. 53, No. 2.
yang melimpah tentang ekologi lokal dan kaya dengan detail-detail teknis pada ruang spasial komunitas menjalin interrelasinya. Sehingga komunitas yang terlibat
dalam tata kelola sumberdaya agraria berbasis kearifan lokal memiliki kesadaran yang tinggi tentang keterkaitan ekologis antara manusia, fauna, flora dan tanah.
Atas dasar itu tata kelola sumberdaya agraria populis dinilai sebagai kelembagaan yang efektif dan berkelanjutan.
63
Karena praktik tata kelolanya bersumber dari trust, menyediakan akses dan partisipasi komunitas lebih besar
daripada kelembagaan formal state and private property. Meski tata kelola sumberdaya agraria berbasis kelembagaan lokal lebih menjanjikan keberlanjutan
sumberdaya dan berkeadilan, sejauh ini tidak menjadi pilihan politik dan strategi pembangunan sumberdaya agraria di Indonesia. Sebaliknya rezim hak
sumberdaya di Indonesia mengalami transformasi dari indigenous property dan common property
ke state dan privatebusiness property. Proses transformasinya berjalan seiring dengan proses transformasi politik dari sistem politik tradisional
menuju sistem politik demokrasi modern. Penguasaan sumberdaya agraria oleh negara dan swasta dianggap sebagai syarat menuju masa depan negara yang lebih
modern dan demokratis. Pengarusutamaan state property dan privatebusiness property
menyebabkan eksistensi dan posisi tata kelola berbasis kelembagaan komunitas ditentukan oleh pemegang kekuasaan dan pemilik modal.
64
Sejak rezim Orde Baru berkuasa, hegemoni dan dominasi state dan privatebusiness
property mengalami transformasi menjadi kapitalis dan perjalanan politik agraria Orde Baru merupakan panggung kapitalis. Orientasi
politik agraria kapitalis, terlihat dari sejumlah kebijakan dan regulasi yang membuka pintu masuknya penanaman modal di Indonesia, baik PMDN maupun
PMA. Melalui UU PMDN dan PMA, pemerintah memberikan konsesi pada pemilik modal untuk menguasai sumberdaya hutan dalam skala besar seperti
63
Efektivitas dan keberlanjutan kelembagaan intitutional sustainability dapat dinilai berdasarkan faktor partisipasi, keragaman, kompleksitas dan derajat kemerosotan kelembagaannya. Modal
sosial, kondisi aktor, ekologi dan struktur otoritas, merupakan variabel yang mempengaruhi dinamika kelembagaan komunitas. Lihat Brinkerhoff, Derick W, and Arthur A. Goldsmith, 1992.
“ Promoting the Sustainability of Development Institutions: A Framework for Strategy”, World
Development , Vol. 20.
64
Escobar 1999, mencatat relasi kekuasaan power relations tata kelola berbasis kelembagaan lokal sering tidak seimbang, sehingga sering dimanfaatkan menjadi obyek kepentingan sosial dan
ekonomi supra lokal dan global. Escobar, Arturo, 1999. “After Nature: Steps to an Anti essentialist Political Ecology” in Current Anthropology Volume 40 Number 1 Februari 1999.
HPH, HTI, hak kuasa pertambangan. Dalam era reformasi dewasa ini, penguasaan sumberdaya dalam skala besar ditunjukkan oleh pencanangan Merauke
Integrated Food and Energy Estate MIFEE di Papua. Pencanangan MIFEE
yang mengintegrasikan produktivitas makanan dan energi dalam skala besar di Papua mengingatkan kita pada program pembukaan sawah satu juta hektar di
lahan gambut di Kalimantan pada masa Orde Baru yang gagal. Pencanangan Merauke Integrated Food and Energy Estate MIFEE,
menunjukkan bahwa setelah reformasi, politik agraria berpihak kepada yang besar dan pro bisnis terus menguat, dengan berbagai dalih dalam rangka memacu
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Di era reformasi, proses liberalisasi dan komodifikasi, tidak terbatas pada sumberdaya
agraria tetapi juga menyentuh pada bidang usaha untuk kepentingan publik, seperti privatisasi BULOG di bidang pangan, privatisasi PT. Krakatau Steel di
industri strategis, privatisasi Indosat di bidang telekomunikasi dan privatiasi Garuda di bidang transportasi. Privatisasi pada dasarnya merupakan ”amputasi”
peran dan fungsi negara untuk kepentingan publik atau hajat orang banyak, seperti terlihat dari amputasi peran dan fungsi BULOG sebagai stabilator harga dan
”penyangga” kebutuhan pokok masyarakat. Program privatisasi BUMN, seperti Bulog, Krakatau Steel, Indosat dan Garuda merupakan langkah untuk
memuluskan jalan masuknya pemilik modal dan perusahaan transnasional untuk menguasai pelayanan publik dan industri-industri strategis di Indonesia.
Selain privatisasi bidang publik, sepak terjang politik agraria kapitalis di era reformasi, dapat disimak dari Undang-Undang No. 411999 tentang
Kehutanan, Undang-Undang No. 72004 tentang Sumberdaya Air dan UU No 222001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Semangat yang terkandung dalam
undang-undang tersebut menempatkan sumberdaya agraria sebagai komoditi. Komoditifikasi sumberdaya agraria tercermin dari fasilitasi dan kemudahan yang
diberikan kepada pemilik modal, baik domestik maupun asing melalui pemberian konsesi hutan dan hak kuasa pertambangan dan program privatisasi yang
berlangsung secara masif dan kolosal di berbagai wilayah Indonesia. Sepanjang fasilitasi itu diberikan secara adil dan transparan serta ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat merupakan tugas pemerintah.
Masalahnya berbagai program fasilitasi pemerintah kepada dunia bisnis dan pemilik modal, tidak berkoeksistensi dengan kegiatan ekonomi masyarakat,
sebaliknya cenderung menegasikan aktivitas ekonomi komunitas. Sehingga kebijakan
konsesi dan
transformasi penguasaan
sumberdaya dari
indigenouscommon property ke business property, menjadi presenden buruk,
mengancam keberlanjutan
sumberdaya dan
menurunnya kesejahteraan
masyarakat. Argumentasi bahwa transformasi penguasaan sumberdaya dari indigenous
common property ke state dan private property sebagai upaya meminimalkan free
rider dalam kenyataan empirik yang terjadi sebaliknya. Transformasi hak
kepemilikan menyebabkan meningkatnya biaya transaksi
65
dan menambah semaraknya semangat memburu rente ekonomi, merebaknya konflik agraria,
66
dan semakin termarginalkannya kehidupan komunitas di sekitar pertambangan,
perkebunan dan kawasan HTI dan HPH. Pemasukan pajak dan retribusi yang diperoleh pemerintah dari pemberian konsensi kepada pemilik modal tidak
sebanding dengan kerusakan dan degradasi ekosistem hutan dan marginalisasi komunitas. Dari segi ini dapat dikatakan pemerintah sebagai regulator, tidak
mampu membuat regulasi dan membangun kelembagaan politik tata kelola sumberdaya yang adil untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Negara sebagai protektor, tidak mampu melindungi sumberdaya ke arah terjadinya Drama of The Commons
67
yang berpotensi dan mengarah pada ”Indonesia Sebentar Lagi.”
65
Biaya transaksi adalah dana yang dikeluarkan untuk mendapatkan informasi tentang barang, biaya koordinasi, pembuatan dan evaluasi kebijakan, biaya pembuatan dan pengawasan kontrak
yang dilakukan para pihak yang terlibat. Kinerja kelembagaan yang buruk diukur oleh biaya transaksi yang tinggi, ketimpangan informasi dan meluasnya sikap oportunis dan free rider.
Menurut Poffenberger, kerangka kebijakan regulasi yang didesain pemerintah dalam tata kelola sumberdaya agraria cenderung tidak mempertimbangkan kendala biaya transaksi. Lihat,
Pofenberger, Mark, 1990. “The Evolulution of Forest Management System in Southeast Asia” in M. Poffenberger, ed, Keeper of The Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia.
Connecticut: Kumarian Press.
66
Merujuk pada Wiradi 2002 konflik agraria di sekitar hutan disebabkan oleh 1 ketimpangan akses dan pengusaaan sumberdaya hutan, 2 ketimpangan peruntukan tanah dan 3 ketimpangan
persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir
. Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.
67
Laju kerusakan hutan Indonesia, 6 kali lapangan sepak bola per menit. Dari 673 bencana banjir, longsor dan kebakaran hutan 65 karena kesalahan kebijakan. Dari total kayu ditebang, 73
diantaranya illegal dengan kerugian 30 triliun rupiahtahun dgn total kayu tercuri 70 juta m3tahun.
2.3. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal