Transisi Elit GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Resiprositas antar kuren rumah tangga tidak satu berbanding satu, tetapi bersifat proporsional, mutualistis dan berlangsung secara periodik bulanan dan tahunan sesuai dengan siklus kehidupan komunitas tujuh bulanan, khitanan, perkawinan, kematian. Resiprositas dan solidaritas warga, bentuknya bervariasi sesuai dengan status sosial dan kemampuannya, dapat berbentuk curahan tenaga maupun materi. Dalam acara siklus tahunan berbagai kelompok sosial berperan serta baik jalma bogajalma beunghar berstatus sosial ekonomi tinggi atau jalma teu boga berstatus sosial ekonomi rendah atau miskin. Dalam analisis Scott, resiprositas dan solidaritas sebagai karakteristik dari kehidupan komunitas pra-kapitalis. 114 Di hulu DAS Cidanau, resiprositas dan solidaritas bersifat fungsional dan berperan sebagai sarana pencapaian tujuan bersama dan jaminan keamanan subsistensi minimum. Resiprositas dan solidaritas merupakan modal sosial komunitas, 115 dan menjadi solusi masalah ketika warga menghapi kesulitan ekonomi. Sejalan dengan meluasnya komoditifikasi sumberdaya agraria di wilayah pedesaan, resiprositas dan solidaritas mengalami transisi, seperti halnya proses transisi elit yang berlangsung pada ketiga desa, yang gambarannya dapat disimak pada uraian selanjutnya.

4.5. Transisi Elit

Struktur sosial desa penelitian dibangun atas tiga pilar: yakni kiai, jawara, dan Pamong Desa. Dari tiga pilar tersebut, kedudukan kiai dan jawara cenderung semakin melemah, sebaliknya peran pamong desa dan kelompok pegawai negeri semakin kuat. Di wilayah pedesaan, kedudukan kiai sebagai elit lokal, berperan sebagai pemimpin ritual keagamaan, pendidik santri dan pembimbing moral umat. Di 114 Scott memandang resiprositas sebagai bagian dari “etika subsistensi”, karena adanya kekhawatiran kekurangan pangan dan sebagai konsekuensi dari kehidupan yang berada atau dekat dengan garis batas kemiskinan. Resiprositas berperan untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang tak terelakkan yang diderita oleh warga petani. Lihat James, Scott, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta, LP3ES. 115 Modal sosial pada komunitas di lokasi penelitian tidak terbatas pada modal sosial yang bersifat integrasi atau bonding tetapi juga modal sosial yang dikategorikan bridging social capital. Lihat Woolcock, M and Narayan, D. 2000. Social Capital: Implications for Developments Theory, Research, and Policy. The World Bank Research Observer, vol. 15, no. 2 August, 2000. Beugelsdijk S, Smulders, S, 2003. Bridging and Bonding Social Capital: Which Type is Good for Economic Growth?. Faculty of Economics. Tilburg University. s.beugelsdijkuvt.nl and j.a.smuldersuvt.nl. luar peran tradisionalnya sejumlah kiai, tertarik dengan dinamika politik lokal dan lingkungan, seperti Ustaz Bachrani dalam pengorganisasian petani hutan. 116 Keterlibatan kiai dalam dinamika politik lokal dilakukan melalui pemanfaatan forum keagamaan pengajian rutin, manakiban dan ajang sosial dengan menyampaikan ”wejangan agama” yang disisipi muatan politik. Pentingnya menjaga kekompakkan dan keutuhan kerabat, disisipi pesan memilih partai dan orang tertentu sebagai kemaslahatan; dan kemudaratan keburukan tidak memilih orangpartai tertentu. Dalam kapasitasnya sebagai publik figur dan pemuka pendapat, penyampaian pesan agama yang diberi makna tertentu muatan politik terlihat berdampak positif terhadap perolehan suara calon kepala desa yang dijagokannya dan terbukti efektif membentuk dan menggiring opini masyarakat sesuai dengan kepentingan politiknya. 117 Keterlibatan Kiai Muhaimin Saleh dalam politik praktis bukan hanya dalam panggung politik lokal pemilihan Kepala Desa Citaman, tetapi juga berkiprah dalam partai Golkar sejak tahun 1996 masa Partai Golkar dipimpin oleh Harmoko, yakni sebagai pengurus Satkar Ulama Golkar Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang. Tak berlebihan bila sebagian masyarakat menyebutnya sebagai kiai Golkar. Pilar kedua dalam struktur sosial masyarakat di lokasi penelitian adalah jawara. 118 Dalam wilayah Ciomas dan Padarincang, jawara memiliki tempat dan peran dalam masyarakat dan merupakan ciri khas dari struktur sosial di Kabupaten Serang dan wilayah Banten pada umumnya. Peran sosial yang menonjol dari jawara khususnya dalam keterampilan bela diri dan penguasaan ilmu kekebalan. Dalam masyarakat, khususnya di wilayah Kecamatan Ciomas dan Padarincang, jawara dibedakan atas dibedakan atas jawara ngora dan jawara kolot. Jawara ngora mengandalkan kemampuan otot, tindakan dan keputusannya sering tidak 116 Kepedulian terhadap lingkungan terlihat dari sikapnya yang kritis dalam menyikapi penyusutan debit air Rawa Danau. Tokoh masyarakat meyakini penebangan kayu di kawasan hutan Pangarang tidak dilakukan oleh penduduk setempat, kalaupun ada yang terlibat, mereka hanya diperalat oleh ”orang luar” yang tidak bertanggung jawab. Diolah dari sumber primer. 117 Keterlibatan kiai dalam politik praktis mampu mendongkrak perolehan suara calon kades dan menang mutlak dalam pemilihan Kades Citaman tahun 2007. Diolah dari sumber primer. 118 Istilah Jawara memiliki dua pengertian: 1 Akronim dari jago,wani dan rahul. Jago menunjuk pada seorang yang bertubuh kekar dan kuat, wani berarti berani bertarung dan rahul berarti banyak omong kosongberbohong. 2 Akronim dari jujur dan wara. Jujur berarti mengatakan apa adanya, yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah dan wara berarti hati-hati memilih pendapatan untuk menafkahi keluarga. Diolah dari sumber primer mempertimbangkan akal sehat. Jawara ngora sering diidentikkan dengan akronim jago , wani dan rahul. Jawara kolot diakronimkan dengan jujur dan wara. Jawara kolot merujuk pada sikap, tindakan dan pertimbangan matang dan pengalaman. 119 Secara sosiologis, jawara tidak bersifat homogen, melainkan bersifat hirarkis dan heterogen, ada pemilahan atas senioritas dan junioritas. Kategori ini didasarkan atas penguasaan ilmu kanuragan ilmu yang berkaitan dengan teknik-teknik menjaga kekebalan tubuh dan jangkauan pengaruh kekuasaannya. Merujuk pada pendapat Hobsbawm dalam Kartodirdjo, 1984 secara sosiologis jawara hampir menyerupai bandit sosial, yakni seseorang yang terpaksa melakukan tindakan kriminal tetapi hasilnya tidak dinikmati sendiri melainkan sebagian dibagikan kepada orang-orang miskin. Karenanya jawara seperti bandit sosial, disanjung dan dipuja sebagai “pahlawan sosial”, sekaligus dibencidicaci maki di luar komunitasnya, karena sering melakukan tindakan kriminalnya yang merugikan. Lapis ketiga yang menonjol dalam bangunan struktur masyarakat di lokasi penelitian adalah pamong desa dan pegawai negeri. Dalam struktur sosial pedesaan, pamong desa berada di puncak piramida, karena posisinya sebagai pengendali, pelaksana dan pemegang kekuasaan tertinggi di wilayahnya. 120 Meskipun nominal gaji Kepala Desa lebih kecil dari gaji pegawai negeri, tetapi dengan terlibat dalam berbagai proyek pembangunan pedesaan mendapatkan keuntungan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung yang diterima Kepala Desa adalah ”uang kadeudeuh”, komisi sekitar 5 dari nilai transaksi jual beli tanah dan biaya administrasi pemungutan PBB Pajak Bumi dan Bangunan. Keuntungan yang tidak langsung berasal dari proses administrasi pendataan warga yang berhak menerima BLT, Jamkesmas, SKTM Surat Keterangan Tidak Mampu, kompor gas, raskin dan “proyek” pembangunan ekonomi pedesaan. Dari keuntungan langsung dan tidak langsung pendapatan resmi dan tidak resmi, bila 119 Sebutan itu menggambarkan proses evolusi linier kehidupan seorang jawara. Perilaku baragajul, kumaha kula merupakan titik awal dan puncak dari perjalanan hidup jawara ngora. Sejalan dengan bertambahnya usia, pahit manisnya kehidupan kemudian berangsur mengalami transformasi menjadi handap asor rendah hati. Diolah dari sumber primer. 120 Kedudukan Kepala Desa sebagai kepala pemerintahan tertinggi di desa memungkinkannya untuk mendapat peluang ekonomi langsung maupun tidak langsung, dengan terlibat dalam berbagai proyek pembangunan ekonomi dan infrastruktur pedesaan. Mantan Kepala Desa menuturkan, dari pengalaman sebagai Kepala Desa ia dapat mengembalikan jumlah dana yang dikeluarkan dalam pemilihan Kepala Desa, berinvestasi di sektor pertanian termasuk membeli sebidang tanah. Diolah dari sumber primer. diakumulasi nilainya cukup besar hampir setara dengan sekitar 1 ha tanah sawah Citasuk dan tanah kebun di Cibojong dan Citaman. Kelompok sosial lain yang diuntungkan oleh pembangunan adalah pegawai negeri, karena memiliki pendapatan yang relatif tetap dan terhindar dari goncangan ekonomi dan musim paceklik. 121 Pendapatan yang diterimanya memungkinkan berinvestasi dalam sektor pertaniaan. Pegawai negeri, pamong desa, pekerja sektor formal dan pedagang merupakan kelompok di luar petani yang berperan sebagai elit ekonomi lokal dan pemilik tanah luas di desa. Munculnya pemilik lahan yang bukan petani, menggambarkan terjadinya transformasi penguasaan tanah dan elit pedesaan dari elit tradisonal dan informal ke tangan elit pemerintah desaelit formal. Di wilayah penelitian transformasi elit lokal dihela modernisasi pedesaan dan pemberlakuan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Struktur kepemimpinan pedesaan yang sebelumnya berada di tangan elit keagamaan dan kokolot, bergeser ke kepemimpinan formal seperti pamong desa. Tampilnya Kepala Desa sebagai elit lokal, disebabkan perannya sebagai pengendali tunggal pembangunan pedesaan dan kebijakan floating mass yang mengasingkan massa dari pemimpin politik yang berakibat melemahnya kepemimpinan informal dan kharismatik di wilayah pedesaan. Arah pembangunan yang lebih mengutamakan aspek material mengakibatkan pemimpin informal, kehilangan aura dan pengaruhnya di masyarakat. Sementara itu modernisasi dan pendirian SD Inpres, berdampak pada penurunan anak-anak desa menimba ilmu di pesantren yang berakibat terputusnya kaderisasi kepemimpinan informal

4.6. Kelembagaan Lokal