BAB V DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS
KELEMBAGAAN LOKAL 5.1. Pendahuluan
Seiring berjalannya waktu interaksi manusia dengan sumberdaya agraria air, tanah dan hutan disertai upaya pemeliharaan dan pembuatan aturan main
pemanfaatannya berupa adat, tradisi, norma, yang disebut kelembagaan. Bagi komunitas, sumberdaya agraria bukan hanya sebatas komoditas tetapi memiliki
makna sosial, kultural bahkan “religi”. Kelembagaan tata kelola sumberdaya komunitas yang terdapat di Indonesia bervariasi dan unik sesuai dengan kondisi
ekologi dan ruang sepasialnya. Salah satu keunikan tata kelola sumberdaya itu adalah kelembagaan lokal: buyut, pipeling, liliuran yang terdapat di hulu DAS
Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten. Kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria di wilayah ini terkait dengan
tradisi, pandangan hidup dan nilai sosial budaya Sunda. Dalam pandangan orang Sunda, memelihara sumberdaya sama pentingnya dengan mempertahankan
kelangsungan hidup dan peradaban. Pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan, apalagi merusaknya akan berimplikasi negatif bagi kelanjutan kehidupan dan
peradaban manusia. Gambaran tata kelola sumberdaya agraria di lokasi penelitian dapat disimak pada uraian bab ini.
5.2. Kearifan Lokal Tata Kelola Sumberdaya Agraria
Kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria di lokasi penelitian meliputi kearifan lokal konsepsi tanah, tata guna tanah, zonasi hutan leuweung,
kelembagaan buyut dan pipeling, dan kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat.
5.2.1. Konsepsi dan Tata Guna Tanah
Istilah yang digunakan warga untuk menyebut tanah adalah taneuh atau lemah
. Kata ini sering dipertukarkan dengan lembur kampung dan dikaitkan dengan cai air, lemah cai tanah air seperti terangkum pepatah Sunda: ”ka cai
jadi sa leuwi ka darat jadi sa logak” . Pepatah ini mengandung makna bahwa
konsep tanah dipahami secara luas dan holistik. Pemahaman warga tentang tanah tidak dilihat dalam bentuk fisik semata-mata tetapi dalam horizon luas.
126
Secara fisik tanah merupakan bagian dari permukaan-lapisan kulit bumi untuk menanam
tanaman dan tempat membuat tapak rumah. Dalam arti luas tanah merupakan tempat berlangsungnya berbagai peristiwa kehidupan kelahiran, perkawinan,
mencari nafkah, ibadah dan kematian. Sehingga manusia sepanjang hidupnya membutuhkan dan tergantung pada tanah. Paling sedikit terdapat tiga kebutuhan
manusia yang pemenuhannya berkaitan dengan tanah: 1 Manusia membutuhkan tanah untuk memperoleh pendapatan guna menunjang dan kelangsungan
kehidupan.
127
2 Manusia memerlukan tanah untuk mendirikan rumah sebagai tempat tinggal.
128
3 Manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggalnya yang terakhir pada saat mengakhiri hidupnya di dunia.
Pemahaman warga tentang tata guna tanah dibedakan atas lahan basahsawah dan lahan kering. Tata guna lahan kering mencakup pemanfaatan
tanah untuk pekarangan, kebun, kebun campuran, talun kebun dan ladang. Tata guna tanah basah penggunaannya untuk tanaman padi dan berbagai jenis tanaman
palawija. Kedua jenis tanah tersebut pada mulanya berasal dari pembukaan hutan dan ladang. Pemanfaatan dan tata guna lahan kering di lokasi penelitian
berlangsung secara linier: berawal dari pembukaan hutan menjadi ladang, kemudian menjadi kebun, talun kebun dan terakhir pekarangan dan pemukiman.
Warga menyebut pekarangan pada sebidang tanah di sekitar tempat tinggal yang sekelilingnya ditanami berbagai jenis tanaman semusim dan tahunan.
126
Bandingkan dengan tulisan Sediono MP Tjondronegero dan Gunawan Wiradi, ”Menelusuri Pengertian Istilah Agraria”, Jurnal Analisis Sosial, Vol.9, No.1 April 2004.
127
More menyatakan, pemilikan de facto atas tanah merupakan ciri pokok yang membedakan petani dan bukan petani. Bagi komunitas petani tanah merupakan bagian penting kehidupan. Lihat
Henry Landsberger, 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press. Wolf dalam Scot 1989 menyatakan petani merupakan produsen pertanian dengan penguasaan
efektif pada tanah, mengganggu tanah petani berarti mengusik statusnya sebagai produsen pertanian, karena tanah merupakan tulang punggung hidupnya. James Scott, 1989. Moral Ekonomi
Petani: Pergolakan dan Subsistensi Di Asia Tenggara
. Jakarta: LP3ES.
128
Tanah dianalogikan dengan perempuanibu pertiwi, tempat manusia membangun tapak rumah, meskipun sempit bila diserobot akan dipertahankan dengan nyawa. Lihat Paschalis Laksano,
”Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan, Antropologi Antah Berantah”, dalam Lounela, Anu dan R Yando Zakaria eds, 2002. Berebut Tanah Beberapa Kajian Perspektif Kampus dan Kampung.
Yogyakarta: Insis Press dan Karsa.
Karakteristik utama yang membedakan pekarangan dengan ladang, kebun, talun kebun, adalah adanya rumah pada pekarangan. Pepohonan sekitar rumah atau
pekarangan selain berfungsi sebagai pembatas juga bernilai ekonomi dan konservasi. Pohon buah-buahan di pekarangan berfungsi ganda, menghasilkan
buah-buahan untuk kebutuhan keluarga dan dijual, sekaligus pelindung tanah dari bahaya erosi, mengatur tata air, memelihara kesejukan dan keteduhan tempat
tinggal. Warga membedakan ladang, kebun, talun kebun atas dasar jenis dan
susunan tanaman yang ditanam. Kebun merujuk pada sebidang tanah yang didominasi oleh jenis tanaman semusim dan memerlukan curahan waktu dan
tenaga untuk merawatnya. Kebun campuran adalah sebidang yang ditanami berbagai jenis tanaman semusim dan tahunan yang keragamannya relatif tinggi.
Sedangkan talun merujuk pada sebidang tanah yang ditanami tanaman tahunan atau jenis tanaman keras untuk kayu bakar atau bangunan dan buah-buahan.
Sebutan talun mangga atau talun cengkeh untuk menggambarkan bahwa di dalam kebun terdapat dominasi tanaman mangga atau cengkeh dan adanya suksesi
pergantian tanaman. Proses suksesi biasanya disebabkan menurunnya produktivitas, atau jenis komoditi tertentu sedang naik daun yang mendorong
pemiliknya menanam tanaman yang diperkirakan hasilnya memiliki nilai jual lebih tinggi. Talun jenis ini secara perlahan akan menjadi kebun karena adanya
dominasi tanaman tertentu atau kebun campuran yang ditumbuhi campuran jenis tanaman semusim dan tahunan. Tata guna tanah lahan kering di lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 2.
Selain tata guna tanah yang diuraikan di atas, warga juga mengenal tata guna tanah untuk tanah pertanian taneuh tatanen, tanah tempat tinggal taneuh
bumenan , tanah tempat ibadah dan tanah kuburan, tanah kaguronan, kajaroan
Lahan Kering
Kebun Campuran kering
Lahan Pemukiman PPPemukimankerin
Lahan di Luar Pemukiman Pekarangan
kering Kebun
kering Talun Kebun
kering Ladang
kering
Gambar 2.Tata Guna Tanah Petani Desa Citaman Cibojong
dan tanah perburuan. Warga memandang tanah yang baik untuk huma dan kebun adalah tanah yang kemiringannya di bawah 30˚, karena lapisan permukaan tanah
relatif stabil. Sebaliknya permukaan tanah dengan kemiringan 45˚-75˚ akan mengalami erosi dan dapat menurunkan kesuburan tanah, kapasitas dan daya
menahan air jelek, peka terhadap erosi dan vegetasinya kebanyakan berupa belukar dan pohon yang berbatang lurus. Pada tanah yang kemiringannya di
bawah 45˚ bergelombang dan agak landai, dinilai warga cocok untuk ladang. Warga setempat memiliki pengetahuan tanah tatanen berdasarkan arah
mata angin, di mana bidang tanah yang baik untuk pertanian adalah yang membujur dari utara ke selatan. Pepohonan yang ditanam pada bidang tanah
tersebut pertumbuhannya lebih cepat dan hasilnya lebih produktif, karena mendapat sinar matahari yang cukup.
Warga juga memiliki pengetahuan tentang tata guna tanah untuk tempat tinggal, tempat ibadah dan kuburan. Menurut warga, tanah yang baik untuk
tempat tinggal adalah berupa hamparan datar dan letaknya tidak jauh dari sumber mata air. Bila tidak memiliki tanah datar, tingkat kemiringan tanah yang sesuai
untuk tempat tinggal adalah tanah yang kemiringannya di bawah 30 derajat. Hal ini didasarkan pertimbangan praktis untuk meratakannya tidak memakan waktu
dan tenaga kerja yang besar. Tanah yang baik untuk tempat ibadah masjid dan musholla adalah
letaknya lebih tinggi dari tempat tinggal dan berada di tengah perkampungan. Ini terkait dengan pemahaman warga, bahwa masjid bukan hanya tempat shalat tetapi
juga berfungsi sebagai sarana berjamaah bersosialisasi, pendidikan dan ajang sosial.
129
Lokasi ideal untuk tanah kuburan letaknya lebih tinggi dari tempat tinggal dan berada di luarsekitar kampung, bebas dari genangan air hujan dan suara
bising. Warga senantiasa memilih lokasi yang ideal untuk kuburan terkait dengan tradisi menghormati buyutleluhur dan ikatan batin anak dengan orang tualeluhur,
tidak berakhir dengan kematian. Keberlanjutan ikatan batin dipelihara melalui
129
Tempat ibadah sebagai ajang sosial terkait dengan fungsinya untuk berjamaah berkumpul, bertukar fikiran untuk pemandian umum laki-laki dan perempuan, tempat mencuci pakaian dan
bahkan bagi kaum perempuan kehidupan sehari-harinya berawal dan berakhir dari pemandian umum di sekitar masjid. Diolah dari sumber primer.
tradisi berziarah pada hari-hari yang dianggap penting Hari Raya Idul Fitri, menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Ikatan batin antara yang hidup dengan
yang mati diwujudkan dengan memelihara kuburan dan menanam pepohonan yang rindang dan area kuburan tidak boleh dijadikan ladang.
130
Tata guna yang cukup unik di lokasi penelitian adalah adanya tanah kaguronan
dan tanah kajaroan. Tanah kaguronan merujuk pada peruntukan dan pemanfaatan tanah untuk tujuan pengembangan pendidikan. Status tanah
kaguronan merupakan tanah wakaf tanah yang diberikan oleh warga untuk
kepentingan syi’ar Islam terutama kemajuan pendidikan Islam. Tanah kajaroan adalah tanah jabatan yang dimiliki aparat desa khususnya sekretaris desa
berbentuk kebunlahan kering. Sedangkan tanah jabatan kepala berupa sawah disebut sawah pangiwaan
.
Berkaitan dengan sejarah status tanah kaguronan di desa Citaman terdapat dua sumber. Sumber pertama menyatakan bahwa tanah kaguronan
berasal dari wakaf warga untuk kemajuan pendidikan Islam. Pendapat ini didukung oleh fakta sampai sekarang di sekitar tanah kaguronan masih terdapat
Pondok Pesantren Subulus Salam yang diasuh oleh Kyai Mufti. Sumber kedua
menyatakan bahwa tanah keguronan berasal dan merupakan hadiah dari Kesultanan Banten pada masa Sultan Agung Tirtayasa atas jasa masyarakat
Ciomas dalam pengembangan pendidikan Islam. Tanah tersebut diberikan oleh Sultan Banten kepada para guru yang menyiarkan agama Islam di wilayah
Ciomas. Tanah keguronan adalah pertanda kepedulian dan terima kasih Sultan kepada para guru yang telah mengembangkan pendidikan Islam. Pendapat kedua
argumentasinya tidak didukung oleh fakta keterkaitan antara masyarakat Citaman dengan kesultanan Banten. Dewasa ini sebagian tanah kaguronan menjadi tempat
kantor kelurahan dan lapangan sepak bola ”milik” Pemerintah Kecamatan Ciomas.
130
Kawasan kuburan berfungsi sebagai “kawasan konservasi komunitas”, keragaman hayati di
kawasan tersebut kelestariannya menjadi tanggung jawab bersama. Diolah dari sumber primer.
5.2.2. Zonasi Hutan Leuweung