Urgensi Penguatan Kelembagaan Lokal

BAB VIII URGENSI PENGUATAN KELEMBAGAN LOKAL

DAN POLITIK AGRARIA TRANSFOMATIF 8.1. Pendahuluan Dalam uraian sebelumnya dijelaskan bahwa interaksi negara desa diwarnai dengan proses kapitalisasi negara dan pedesaan serta peluruhan kelembagaan komunitas. Dampak dari kapitalisasi negara dan pedesaan mengakibatkan penyelenggara negara gagal mewujudkan tujuan politik agraria untuk sebesar- sebesarnya kesejahteraan rakyat dan tidak mampu membangun kelembagaan tata kelola DAS yang terpadu berkelanjutan dan partisipatif. Berpangkal tolak dari temuan empirik tersebut, fokus dari bab ini menguraikan implikasi dan proyeksi untuk penguatan kelembagaan komunitas dan politik agraria transformatif.

8.2. Urgensi Penguatan Kelembagaan Lokal

Peluruhan kelembagaan lokal yang berlangsung secara sistemik, maka upaya penguatannya perlu dilakukan secara sistemik pula. Merujuk pada Giddens 2004, 217 penguatan kelembagaan lokal memerlukan perubahan struktur dimensi signifikansi, otoritatif, alokatif dan legitimasi atau perubahan rasionalitas ekososial yang ditawarkan Groz dan reformasi rasionalitas komunikasi yang dikemukakan Habermas. Perubahan struktural signifikasi, otoritatif, alokatif dan legitimasi didorong oleh kenyataan empirik bahwa paradigma signifikasi, otoritatif, alokatif dan legitimasi, yang menjadi dasar rekayasa sosial dan pembangunan pedesaan, terbukti melahirkan perlakuan kurang manusiawi dehumanisasi dan alienasi masyarakat. Penguatan kelembagaan komunitas juga mensyaratkan adanya perubahan rasionalitas dan bangunan ilmu pengetahuan sosial modernis dan positivis, karena rasionalitasnya yang bertumpu rasionalitas utility maximum mendorong pemanfaatan sumberdaya secara eksploitatif dan tidak ramah lingkungan. Struktur signifikansi, otoritatif, alokatif yang dibangun atas atas dasar rasionalitas utility maximum dalam pengelolaan sumberdaya dan pemberdayaan 217 Anthony Giddens, 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati, p.39. masyarakat diposisikan hanya sebagai obyek dan komoditas semata-mata. Pengembangan dimensi manusia sebagai “homo-economicus” lebih menonjol dari dimensi dan jati dirinya sebagai “homo-ecologicus” dan “homo- sociologicus”. Pengarus-utamaan dimensi manusia sebagai “homo-economicus” adalah terbatasnya ruang kultural, tidak tersedianya ruang bagi tumbuhnya kearifan lokal dan kelembagaan parsipatori dalam masyarakat. Dari segi ini perubahan struktural signifikasi, otoritatif, alokatif dan legitimasi dimaksudkan untuk membebaskan sumberdaya dan kelembagaan komunitas dari penetrasi kekuatan ekonomi dan politik supra lokal. Merujuk pada Habermas, pembebasan komunitas dari cengkraman kekuatan supralokal yang menindas hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perubahan rasionalitas komunikasi antara negara dengan warga negara atau perubahan rasionalitas dari rasionalitas utility maximum menuju utility maximising manner. Sebab selama ini komunikasi negara dengan warga negara seperti halnya dengan komunitas sekitar hutan bersifat searah, dominatif dan hegemonik. Pola komunikasi demikian cenderung memposisikan komunitas sekitar hutan menjadi objek kepentingan supra lokal negara dan pasar dan tidak menjadi bagian dari stakeholder kehutanan dan kelembagaan pengelolaan DAS. Penempatan komunitas sekitar hutan sebagai “obyek” dan the other berakibat penegasian hak sosial, sejarah dan hak kepribumiannya. Memposisikan mereka sebagai “obyek” dan the other berdasarkan rasionalitas hukum positif menyebabkan tidak dapat memperoleh akses dan manfaat ekonomi dari sumberdaya hutan yang berada di sekitarnya. Dengan posisinya sebagai the other, komunitas sekitar hutan merupakan out group dari kelembagan kehutanan, bahkan distigmatisasi sebagai perambah hutan, urang pasisian, atau urang leuweung ” dan predikat lainnya yang negatif. Tradisi dan praktik tata kelola sumberdaya hutan yang berkontribusi terhadap pelestarian plasma nutfah, tidak mengantarkannya menjadi mitra pemerintah dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya hutan. Sebaliknya mereka dipersepsi sebagai sumber gangguan atau kendala untuk kegiatan konservasi dan eksploitasi sumberdaya hutan atau dipandang tidak sejalan dengan arus utama dan kepentingan ekonomi supralokal negara dan pasar dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Berangkat dari pemikiran di atas, maka penguatan kelembagaan komunitas sekitar hutan dirumuskan sebagai berikut: Pertama merujuk pada pandangan Habermas, penguatan kelembagaan komunitas mensyaratkan perubahan rasionalitas komunikasi antara negara dengan warga negara dan antara pemangku otoritas kehutanan dengan komunitas sekitar hutan. Rasionalitas komunikasi yang ditawarkan Habermas adalah pola komunikasi antar komunikan segenap pemangku kepentingan termasuk masyarakat berbasis kepercayaan trust, kebenaran truth, ketepatan rightness, komprehensibilitas comprehensibility dan kejujuran sincerety. Dari segi ini maka stigmatisasi komunitas sekitar hutan sebagai perambah hutan, urang pasisian , atau urang leuweung dan memposisikan mereka sebagai the other atau out group, menggambarkan pola komunikasi yang bertentangan rasionalitas komunikasi yang ditawarkan Habermas. Kedua penguatan komunitas sekitar hutan mensyaratkan adanya perubahan paradigma dalam pembangunan kehutanan dan rasionalitas dalam mempersepsi dan memposisikan kelembagaan komunitas sekitar hutan. Paradigma pengelolaan hutan berbasis ekonomi kayu dan menempatkan sumberdaya hutan sebagai komoditi semata-mata, tidak kondusif untuk pembangunan hutan berkelanjutan. Pemanfaatan sumberdaya hutan dengan sistem tebang pilih, lebih bijak daripada pengelolaan hutan berskala besar oleh pemilik modal. Demikian juga sikap prejudice pemangku otoritas terhadap komunits sekitar hutan sebagai perambah hutan, urang pasisian, atau urang leuweung tidak mendukung program pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan komunitas sekitar hutan. Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan akan bermakna jika ditempatkan sebagai stakeholder dan bagian tak terpisahkan dari ekosistem sumberdaya hutan. Perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan dan cara pandang terhadap komunitas sekitar hutan relavan dengan dalam menghadapi pemanasan dan perubahan iklim global serta moratorium kehutanan. Ketiga penguatan kelembagan dan kesejahteraan komunitas sekitar hutan dapat dilakukan melalui akselarasi pengembangan Hutan Tanaman Rakyat HTR dan moratorium pengeluaran izin konsesi penguasaan hutan kepada pemilik modal. Sejauh ini pengembangan Hutan Tanaman Rakyat HTR yang difasilitasi oleh Badan Layanan Umum P2H Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan yang ditargetkan 5,4 juta hektar baru mencapai 87.299.89 hektar atau sekitar 1,6 persen. Rendahnya realisasi pengembangan Hutan Tanaman Rakyat HTR disebabkan rendahnya political will dan political action untuk mengalokasikan sumberdaya hutan pada masyarakat. Rendahnya political will dan political action ditunjukkan dari kelembagaan dan prosedur perijinan pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat HTR kepada masyarakat yang birokratis. Bila moratorium pengeluaran izin konsesi penguasaan hutan kepada pemilik modal terus berlanjut, sudah selayaknya pengeluaran izin konsesi pemanfaatan hutan mensyaratkan rekomendasi dan pemberian konpensasi yang pantas kepada komunitas sekitar hutan. Rekomendasi dan pemberian konpensasi dimaksudkan untuk penguatan aspek otoritatif dan legalitimasi sekaligus dalam upaya penguatan alokatif ekonomi komunitas sekitar hutan. Rekomendasi dan konpensasi berguna untuk memperkuat struktur otoritatif, legitimasi dan posisi tawar menawar masyarakat sekitar hutan berhadapan dengan kekuatan pasar sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesejahteraannya. Gagasan dan pemikiran tentang rekomendasi dan konpensasi, didasarkan kenyataan, bahwa ijin konsesi pengelolaan hutan kepada korporasi, selama ini menimbulkan ketidakadilan ekologi dan ekonomi. Pemilik modal berasal dari supra lokal memiliki legitimasi mengeksploitasi hutan, sedangkan hak sosial ekonomi dan hak kepribumian komunitas lokal, dikriminalisasi dan menjadi sasaran aksi polisionil. Kehadiran kekuatan ekonomi korporasi kehutanan yang tidak berkoeksistensi dengan kelembagaan komunitas, menggiring komunitas sekitar masuk perangkap kebijakan kehutanan, menjadi tenaga kuli dan tidak berdaya secara ekonomi dan politik. 218 Sehingga kehadiran perusahaan kehutanan bukannya membawa berkah ekonomi, tapi sebalikanya mendatangkan musibah dan bencana ekologi. Sementara itu pengarus uatamaan rasionalitas hukum positif dalam penataan kehutanan memaksa dan menegasikan hak sosial ekonomi komunitas sekitar hutan bahkan menjadi sasaran aksi polisionil. 218 Bank Dunia mencatat ketidaksetaraan atau ketimpangan ekonomi yang berlangsung di Indonesia disebabkan konsentrasi kekayaan pada kalangan elit politik dan ekonomi. Masyarakat miskin termarginalkan karena adanya perangkap kebijakan. Bank Dunia, 2006. Laporan Bank Dunia: Kesetaraan dan Pembangunan. Jakarta: The World Bank-Salemba Empat.p. 60-80. Keempat penguatan aspek alokatif dan otoritatif komunitas kawasan DAS menghendaki paradigma pengelolaan DAS atas prinsip partnership based governance. Rancang bangun kelembagaan dan pelaksanaan prinsip partnership based governance dalam pengelolaan DAS Cidanau diwujudkan melalui pembentukan FKDC dan Perjanjian Kesepakatan Pembayaran Jasa Lingkungan antara FKDC dengan Kelompok Tani Hutan di Desa Citaman dan Desa Cibojong. Tata kelola DAS Cidanau berdasarkan partnership based governance tersebut menjadi sumber inspirasi pembentukan kelembagaan tata kelola DAS di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, NTT dan provinsi Papua. Meskipun demikian, peran FKDC dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, belum menggambarkan kemitraan sejati antar aktor atau pemangku kepentingan hulu hilir. Sejak berdirinya tahun 2003 kepengurusan FKDC didominasi pejabat dan mantan pejabat, yang berkibat FKDC menjadi perpanjangan tangan pemerintah dan kurang menyuarakan kepentingan masyarakat. Aturan dan mekanisme yurisdiksi pembayaran jasa lingkungan disusun tanpa representasi petani. Akibatnya petani sebagai “produsen” jasa lingkungan tidak menerima insentif yang sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkannya, tidak berkelanjutan dan terbatasnya jumlah petani dan area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan. Kelima rancang bangun kelembagaan dan pelaksanaan partnership based governance DAS Cidanau masa yang akan datang, hendaknya diarahkan untuk memperkuat basis partisipasi dan representasi petani dalam FKDC, penambahan jumlah petani dan area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan. Perluasan area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan berguna untuk mempertahankan kawasan hulu DAS Cidanau sebagai pengatur siklus hidrologi hutan dan mencegah bencana banjir. Penambahan jumah kelompok tani yang mendapat pembayaran jasa lingkungan berguna untuk mempertahankan praktik agroforestry dan meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini mensyaratkan adanya “politik anggaran hijau” dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Selama ini pemerintah daerah hanya menyediakan anggaran untuk membiayai operasional aparat pemerintah yang bertugas di FKDC, sementara pembayaran jasa lingkungan dilakukan atas dasar “kesukarelaan” voluntry dari PT Krakatau Tirta Industri. Keenam pembayaran jasa kepada petani secara voluntry kesukarelaan pemakai jasa jasa lingkungan yakni KTI, hendaknya menjadi stimulus pemerintah dan perusahaan pemakai jasa lingkungan. Oleh karena itu pelaksanaan partnership based governance dalam pengelolaan DAS Cidanau, hendaknya melibatkan perusahaan lainnya yang memanfaatkan jasa lingkungan DAS Cidanau. Karena dari sejumlah intansi pemerintah dan perusahaan di hilir yang memanfaatkan jasa lingkungan DAS Cidanau, hanya PT Krakatau Tirta Industri yang bersedia membayar jasa lingkungan kepada petani sebagai produsen jasa lingkungan di hulu. Oleh karena itu dalam upaya pengelolaan DAS secara terpadu dan kemitraan antara hulu dan hilir, pemerintah dituntut untuk membuat regulasi dan kelembagaan pembayaran jasa lingkungan secara berkelanjutan dan mengikat berbagai pemakai jasa lingkungan DAS Cidanau. Pelaksanaan partnership based governance dalam tata kelola DAS Cidanau akan berdampak positif bila pada periode kedua ini Pemerintah Daerah, dapat diwujudkannya dengan mengalokasian anggaran untuk pembayaran jasa lingkungan. Supaya semangat pemerintah untuk mendatangkan pemilik modal berinvestasi dalam pemanfaatan hutan diimbangi dengan political action dan pengalokasian anggaran untuk pembayaran jasa lingkungan.

8.3. Menuju Politik Agraria Transformatif