lingkungan dilakukan atas dasar “kesukarelaan” voluntry dari PT Krakatau Tirta Industri.
Keenam pembayaran jasa kepada petani secara voluntry kesukarelaan
pemakai jasa jasa lingkungan yakni KTI, hendaknya menjadi stimulus pemerintah dan perusahaan pemakai jasa lingkungan. Oleh karena itu pelaksanaan
partnership based governance dalam pengelolaan DAS Cidanau, hendaknya
melibatkan perusahaan lainnya yang memanfaatkan jasa lingkungan DAS Cidanau. Karena dari sejumlah intansi pemerintah dan perusahaan di hilir yang
memanfaatkan jasa lingkungan DAS Cidanau, hanya PT Krakatau Tirta Industri yang bersedia membayar jasa lingkungan kepada petani sebagai produsen jasa
lingkungan di hulu. Oleh karena itu dalam upaya pengelolaan DAS secara terpadu dan
kemitraan antara hulu dan hilir, pemerintah dituntut untuk membuat regulasi dan kelembagaan pembayaran jasa lingkungan secara berkelanjutan dan mengikat
berbagai pemakai jasa lingkungan DAS Cidanau. Pelaksanaan partnership based governance
dalam tata kelola DAS Cidanau akan berdampak positif bila pada periode kedua ini Pemerintah Daerah, dapat diwujudkannya dengan
mengalokasian anggaran untuk pembayaran jasa lingkungan. Supaya semangat pemerintah untuk mendatangkan pemilik modal berinvestasi dalam pemanfaatan
hutan diimbangi dengan political action dan pengalokasian anggaran untuk pembayaran jasa lingkungan.
8.3. Menuju Politik Agraria Transformatif
Keenam bentuk penguatan kelembagaan komunitas tersebut merujuk pada Capra mensyaratkan perubahan paradigmatik atau dalam istilah Sobhan menuntut
adanya politik agraria transformatif dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS. Perlunya politik agraria transformatif didasarkan pemikiran
sebagai berikut: Pertama
politik agraria bidang kehutanan dan pertanian konvensional cenderung membela rasionalitas yang dianut dalam pasal-pasal peraturan
perundang-undangan dan kebijakan pendukungnya, meskipun tidak relevan dengan masalah sosial ekonomi dan kelembagaan komunitas sekitar hutan.
Pembelaan atas rasionalitas hukum positif mengakibatkan aktivitas sosial ekonomi komunitas menjadi sasaran aksi polisionil, obyek penggusuran dan
tindak kekerasan serta kriminalisasi sering dipandang sebagai solusi. Akibatnya penanganan masalah sosial ekonomi komunitas sekitar hutan dan penduduk di
hulu DAS, tidak memecahkan akar masalah sosiologis dan ekonomi komunitas dan pelestarian sumberdaya hutan dan kawasan DAS.
Kedua politik agraria kehutanan yang diadopsi dari produk hukum
kolonial dan kapitalistik, cenderung berorientasi betting on the strong, pro pertumbuhan, tetapi abai terhadap pembangunan kehutanan berkelanjutan,
pelestarian ekologi wide ecological sustainability, kelembagaan komunitas dan kearifan lokal. Dampak lebih lanjut dari politik agraria tersebut adalah meluasnya
eskalasi konflik agraria, meningkatnya kemiskinan struktural, peluruhan kelembagaan komunitas dan meluasnya deforestasi dan degradasi hutan dan
kawasan hulu DAS. Ketiga
politik kehutanan berorientasi “pembangunanisme” menempatkan sumberdaya hutan sebagai komoditas dan sekaligus sebagai enclave barang antik
bagi komunitas sekitar hutan. Sehingga pembangunan kehutanan menimbulkan ketidakadilan ekonomi dan ekologi bagi masyarakat sekitarnya. Di satu sisi,
sumberdaya hutan dieksploitasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi negara, kapitalisasi negara dan akumulasi kapital pemilik modal. Di sisi lain komunitas
yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan teralienasi dan dimarginalkan. Bahkan dalam rangka kapitalisasi negara, komunitas sekitar hutan, distigmatisasi
sebagai perambah hutan, urang pasisian, urang leuweung, dan menjadi sumber gangguan dan kendala pembangunan kehutanan. Ikatan sejarah, hak sosial
budaya dan ekonomi komunitas sekitar hutan dinegasikan. Demikian juga keberadaan mereka sebagai “pelestari plasma nutfah” diluruhkan secara sistemik.
Sementara itu “agensi dan korporasi” kehutanan dari supralokal meskipun diantaranya terindikasi terlibat dalam aktivitas deforestasi dengan mudah
mendapat berkah ekonomi dari sumberdaya hutan.
Pemikiran politik agraria transformatif yang ditawarkan dalam tulisan ini diakomodasi dari Beck tentang safety state
219
. Dalam kaitannya dengan
pembangunan kehutanan, konsep safety state mencakup tiga hal: 1 penggunaan mekanisme asuransi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan 2
penegakkan hukum bagi perusak hutan 3 pemberian kompensasi kepada komunitas yang terkena dampak ekonomi dan ekologi akibat eksploitasi
sumberdaya hutan. Konsep safety state diperlukan dalam pembangunan kehutanan baik untuk
jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam jangka panjang konsep safety state
menjadi landasan dalam upaya mewujudkan good resources governance, pembangunan kehutanan berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim dan
pemanasan global. Sedangkan dalam jangka pendek konsep safety state berguna untuk pemberdayaan komunitas sekitar hutan dan menurunkan tingkat degradasi
sumberdaya hutan. Konsep safety state menyediakan landasan yuridis dan teoritis bahwa
negara sebagai pemegang hak kuasa dan penentu regulasi kehutanan, memposisikan komunitas sekitar hutan sebagai subyek seperti pemangku
kepentingan lainnya. Selama ini komunitas sekitar hutan, diposisikan sebagai obyek semata-mata dari berbagai kekuatan supralokal penguasa dan pemilik
modal nasional dan global, sehingga proses interaksi mereka dengan kekuatan supralokal bersifat hegemonik dan eksploitatif. Dengan statusnya sebagai subyek
dalam pengelolaan dan pemanfaatan kehutanan, maka proses interaksinya dengan kekuatan supralokal seyogyanya bersifat setara dan demokratis.
Dalam konsep safety state, jika pemerintah mengeluarkan hak konsensi kepada pemilik modal untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan, maka komunitas
sekitar hutan berhak atas mekanisme asuransi dan kompensasi. Dari segi ini konsep safety state merupakan upaya meminimalkan alienasi komunitas sekitar
hutan dan sekaligus solusi atas enclavisme dan komoditifikasi sumberdaya hutan.
219
Lihat Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes” in J. Van Loon ed. The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London:
Sage.
Lemahnya struktur otoritatif dan alokatif atas sumberdaya hutan, menjadi kendala komunitas untuk mendapatkan akses dan peluang memperoleh rejeki atas
sumberdaya hutan, tanpa mendapat kompensasi sama sekali, baik dari korporasi dan maupun pemerintah.
Politik agraria transformatif bidang kehutanan dapat diwujudkan dalam bentuk tata kelola dan pemanfaatan sumberdaya hutan atas dasar rasionalitas hijau
green rationalism atau rasionalitas eko-sosial. Tawaran rasionalitas hijau didasarkan pemahaman dan kenyataan empirik, bahwa paradigma pengelolaan
hutan atas dasar rasionalitas utility maximum, mendorong manusia tenggelam ke dalam “barbarisme baru” dan menempatkan manusia sebagai homo economicus.
Sementara dimensi manusia sebagai homo ecologicus diabaikan, yang ternyata berdampak pada dehumanisasi, marginalisasi komunitas, meluasnya deforestasi
dan degradasi sumberdaya hutan. Tawaran rasionalitas eko-sosial, karena memadukan perlindungan
lingkungan, pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi. Rasionalitas eko-sosial merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan material dengan cara yang sebaik-
baiknya dengan materi sekecil mungkin, yaitu menggunakan barang, tenaga kerja dan modal dengan nilai guna berdurabilitas tinggi. Dalam rasionalitas eko-sosial,
prinsip durabilitas lebih diutamakan daripada produktivitas. Dapat dikatakan durabilitas
sebagai anti tesa atas produktivitas yang diusung rasionalitas utility maximum
. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa deforestasi dan degradasi sumberdaya hutan di Indonesia pada dasarnya disebabkan politik tata kelola hutan
berorientasi pada produktivitas dan pengarus-utamaan rasionalitas utility maximum.
Sementara durabilitas, konservasi, reboisasi dan rehabalitisasi hutan diabaikan atau hanya tambal sulam, serta posisi dan eksistensi manusia sebagai
bagian dari ekosistem hutan dimarginalkan. Politik agraria transformatif mensyaratkan transformasi rasionalitas
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dari rasionalitas utility maximum menuju utility maximum manner. Rasionalitas utility maximum manner kondusif
untuk mendorong tumbuhnya tata kelola dan pemanfaatan sumberdaya hutan berkelanjutan, ramah terhadap hutan dan bersahabat dengan komunitas lokal.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan berbasis utility maximum manner
akan membantu menekan komoditifikasi dan eksploitasi hutan yang ditujukan semata-mata untuk memacu produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi
negara dan akmumulasi kapital. Transformasi rasionalitas dari utility maximum ke utility maximum
manner merujuk pada Habermas mensyaratkan adanya empati dalam komunikasi
antara negara dengan warga negara. Komunikasi negara dengan warga negara berpola benevolent - obedient dan hegemonik, bukan hanya tidak solutif tetapi
juga problematik dan kontra produktif. Karena itu komunikasi negara dengan warga negara hendaknya berbasis kesetaraan, kebenaran, ketepatan, kejujuran,
dan komprehensif. Pola komunikasi demikian idealnya juga menjadi ciri proses interaksi dan komunikasi antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS.
Aturan main dan mekanisme yurisdiksi tata kelola DAS dirumuskan atas dasar representasi, demokrasi dan menyediakan ruang dialog dan partisipasi penduduk
sekitar DAS. Interaksi antar pemangku kepentingan yang demokratis dapat menjadi landsan untuk pengelolaan DAS kolaboratif dan terwudunya
kelembagaan partnership based governance. Sejalan dengan rasionalitas utility maximum manner, maka penguasaan
sumberdaya hutan yang terdistribusi pada banyak orang lebih dihargai daripada dikuasi secara oligarki dan elitis. Rasionalitas utility maximum manner
mengandung makna, reforma agraria merupakan solusi untuk memperbaiki kehidupan ekonomi komunitas sekitar hutan dan mendorong pertumbuhan
agroforestry. Berbeda dengan reforma agraria berbasis rasionalitas utility maximum
yang melahirkan rekonsentrasi penguasaan tanah oleh orang kota, pemilik modal dan kelompok yang diuntungkan oleh proses pembangunan, maka
reforma agraria di bawah payung utility maximum manner ditujukan untuk redistribusi tanah dan menjadi pintu masuk untuk pemberdayaan sosial ekonomi,
menurunkan kawasan sekitar hutan sebagai kantong kemisknan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Bentuk dan proses reforma agraria komunitas sekitar hutan dapat bervariasi sesuai dengan kondisi ekologi dan ruang spasial dan sosialnya.
Misalnya fasilitasi perhutanan sosial, distribusi tanah dan kemudahan akses komunitas terhadap sumber keuangan. Redistrubusi tanah kehutanan bagi
komunitas sekitar hutan memerlukan rasionalitas kehutanan, di mana hutan terlantar, tidak produktif dan tanah sengketa, dipetakan dan diidentifikasi sebagai
sebagai obyek reforma agraria. Secara yuridis dan kelembagaan, politik agraria transformatif dapat
dilakukan melalui penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengikis habis pendekatan sektoral dan administrasi kewilayahan. Undang-Undang
sektoral, seperti kehutanan, sumberdaya air dan lingkungan hidup, sebaiknya diintegrasikan dalam Undang-Undang Pertanahan atau Undang-Undang Pokok
Agraria. Pengintegrasian peraturan perundang-undangan tersebut dengan sendirinya mengharuskan adanya transformasi pengaturan undang-undang
sektoral, kewenangan pemerintah daerah dan relasi kekuasaan tata kelola sumberdaya hutan, sumberdaya air dan pertanahan keagrarian. Transformasi
ketiga peraturan perundang-undangan tersebut ditujukan untuk meminimalkan konflik kepentingan, menekan konflik agraria, kontestasi sektoral dan
mewujudkan tujuan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN