adalah sami’na wa ath’na mendengar dan patuh pada penguasa daripada terlibat dalam politik praktis. Mereka memahami agama sebagai urusan manusia dengan
Tuhannya dan agama terpisah dari kehidupan politik. Perbedaan paham modernis dan konservatif juga merembes dalam
berbagai acara ritual keagamaan dan praktik kelola sumberdaya agraria. Dalam penyelenggaraan
ritual keagamaan
kelompok konservatif
cenderung mensinkretiskan unsur agama dengan adat tradisi. Pembacaan tahlil, dzikir dan
do’a dalam acara selamatan sering diikuti dengan pembakaran kemenyan. Acara selamatan
secara demikian oleh kelompok modernis dipandang sebagai dinamisme
dan bid’ah inovasi ritual terlarang. Ritual agama tidak boleh bercampur baur dengan adattradisi.
6.4.2. Afiliasi Politik dan Konflik Elit
Afiliasi warga terhadap partai politik tercermin dalam pemilihan umum tahun 2009 terutama untuk pemilihan anggota legislatif Kabupaten Serang. Dalam
masa kampanye afiliasi politik ditunjukkan dari pemasangan dan pemakaian atribut partai politik yang menjadi afiliasinya seperti kaos dan bendera partai politik.
Menurut penuturan informan, afiliasi politik warga dalam pemilihan umum tidak berkaitan dengan paham keagamaan yang dianutnya, pilihan politik seseorang tidak
dipengaruhi oleh paham keagamaannya. Sehingga afiliasi warga dengan partai politik, tidak menyebabkan pengelompokan sosial.
Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui bahwa pilihan dan afiliasi warga pada partai politik dalam pemilihan umum bulan April 2009,
didasarkan atas pertimbangan: 1 mengikuti pilihan partai politik orang yang ditokohkandihormati, 2 tokohpemimpin partai politiknya populer, 3 partai
politik yang memiliki kepedulian sosial, 4 partai politik yang menjadi simbol perlawanan dan pembelaan wong cilik, 5 partai politik yang mengusung nilai
agama Islam, 6 partai politik yang memperjuangkan kesejahteraan petani. Fenomena ini menunjukkan dua hal: pertama terjadi pergeseran sumber
opini yang mempengaruhi masyarakat pedesaan atas afiliasi politik dalam pemilihan umum. Bila sebelumnya afiliasi politik dipengaruhi dan ditentukan
tokoh masyarakat sebagai pembentuk opini, dewasa ini afiliasi politik penduduk
pedesaan dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh terpaan informasi media audo visual. Informasi partai politik yang disiarkan oleh media televisi, cukup efektif
membentuk opini masyarakat pedesaan untuk menentukan afiliasi politiknya secara bebas.
Kedua perubahan orientasi dan afiliasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan umum, tidak lagi terpolarisasi atas ideologi tertentu
163
nasionalis dan religius, tetapi cenderung lebih pragmatis. Kondisi ini menyebabkan perbedaan
afiliasi politik dalam pemilihan umum, tidak menimbulkan ketegangan- ketegangan sosial dalam masyarakat. Sejumlah warga menyatakan, afiliasinya
dengan partai politik tertentu tidak didasarkan ikatan ideologis tetapi atas dasar pertimbangan sosiologis, seperti terungkap dari pernyataan seorang warga sebagai
berikut: “afiliasi politik warga dalam pemilihan umum mengikuti pandangan orang yang dihormatinya seperti tokoh masyarakat, orang tua, majikan dan orang-
orang yang berbuat baik serta informasi dan obrolan yang berkembang dalam ajang-ajang sosial yang berlangsung secara informal”.
Pergeseran afiliasi politik masyarakat pedesaan tak terlepas dari penghapusan kebijakan massa mengambang floating mass, yang memungkinkan
partai politik memiliki kepengurusan pada tingkat desa. Meskipun
demikian tidak berarti partai politik berbasiskan ideologi kehilangan pengaruhnya di
pedesaan. Partai politik yang berbasiskan ideologi agama, masih mendapat ruang di tengah masyarakat, terutama partai politik berbasis agama yang memiliki
perpanjangan tangan sampai ke wilayah pedesaan dan partai politik yang mampu mengemas isu yang relevan dan menarik masyarakat
164
. Afiliasi politik yang menimbulkan ketegangan terjadi dalam pemilihan
Kepala Desa, seperti pemilihan Kepala Desa Citaman. Antara pro dan kontra terhadap calon Kepala Desa pada waktu dan hal tertentu terjadi ketegangan dalam
intensitas yang relatif tinggi. Dari penggalian informasi dengan narasumber, ketegangan sosial tersebut disebabkan faktor sebagai berikut:
163
Dari penelitian di Mojokuto Geertz, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara paham keagamaan dengan afiliasi partai politik. Penganut modernism Muhammadiyah berafiliasi
dengan partai Masyumi dan penganut konservatif NU untuk memilih PNI. Lihat Clifford Geertz, 1983, Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
164
Menurut informan partai politik dalam kategori ini antara lain Partai Keadilan Sejahtera PKS dan Partai Golkar.
Pertama hiruk pikuk politik dalam pemilihan Kepala Desa melibatkan
kepentingan sosial ekonomi warga secara langsung dan kongkrit, seperti pengurusan KTP dan PBB, bantuan Raskin, kompor GAS, Askeskin, pelayanan
kesehatan dan bantuan sarana produksi pertanian. Pihak yang mendapat kemudahan dan bantuan dari Kepala Desa cenderung membela Caleg Kepala
Desa incumbent petahana, sebaliknya mereka yang pernah dipersulit atau tidak mendapatkan bantuan, bersikap kontra terhadap Kepala Desa incumbent.
Berbeda dengan pemilihan anggota legislatif dan Presiden, hanya melibatkan kepentingan
semu warga. Hasil akhir pertarungan dalam pemilihan badan legislatif dan Presiden, tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan dan perbaikan
kesejahteraan masyarakat. Informan mengumpamakan pihak-pihak yang bersitegang dalam pemilihan badan legislatif dan Presiden sebagai “perebutan
pepesan kosong .”
Kedua afiliasi politik warga dalam pemilihan kepala desa melibatkan elit desa
termasuk tokoh agama. Keterlibatan pemimpin informal dan kharismatik seperti kiai, menyebabkan pemilihan kepala desa melibatkan dimensi psikologis dan
emosial warga. Dalam pemilihan Kepala Desa Citaman keterlibatan kiai sebagai pembentuk opini, cukup efektif mendongkrak perolehan suara Kepala Desa yang
dijagokannya. Ketiga
sejalan dengan semakin banyaknya program pembangunan pedesaan dan otonomi daerah, kedudukan Kepala Desa semakin penting secara politik dan
ekonomi. Makna strategis kedudukan Kepala Desa, terlihat dari upaya yang dilakukan oleh incumbent dan pesaingnya untuk mengerahkan segenap
sumberdaya ekonomi dan politik, termasuk penggunaan politik uang untuk memenangkan pemilihan Kepala Desa, seperti dituturkan informan sebagai
berikut:
“Permainan politik uang” dalam pemilihan Kepala Desa dilakukan secara tertutup atau terbuka yang dikoordinir tim sukses masing-masing. Nilai “transaksi suara”
bervariasi, berkisar Rp 10.000,- sd Rp. 50.000,-. Calon Kepala Desa yang mampu “membeli suara pemilih” yang lebih besar berpeluang menang lebih besar.”
Maraknya politik uang dalam pemilihan Kepala Desa karena berkembangnya fenomena, dimana warga sebagai pemilih merasa dirinya berhak “menjual suara”
sementara calon kades merasa berhak “membeli suara pemilih” sesuai dengan kemampuannya.”
Pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa ”permainan politik uang” yang mengemuka pada pentas politik nasional, dewasa ini telah menembus
wilayah pedesaan. Mistifikasi pembangunan ekonomi yang berlangsung pada aras nasional, berimbas pada proses moneterisasi di masyarakat pedesaan. Indikasinya
adalah meluasnya pemburuan rente ekonomi dan munculnya perilaku masyarakat yang lebih mengedepankan preferensi ekonomi dari pada nilai agama, sosial
budaya dan keluhuran politik. Maraknya politik uang dalam pemilihan kepala desa, menunjukkan bahwa warga dalam memberikan hak suara cenderung
pragmatis dan kurang mempertimbangkan kualifikasi status, kompetensi dan kapasitas calon Kepala Desa yang dipilihnya. Permainan politik uang dalam
pemilihan Kepala Desa yang terjadi di desa Citaman, melainkan juga terjadi di sejumlah pemilihan kepala desa di wilayah Jawa Tengah seperti dikemukakan
Smith: 1982
165
“Beberapa tokoh masyarakat memberitahukan bahwa di sejumlah desa, pemilihan kepala desa seringkali diwarnai oleh cara-cara untuk memperoleh dukungan
melalui pembagian uang kepada calon pemilihnya. Dalam hal ini mereka yang memberi hadiah paling besar seringkali memiliki peluang pertama untuk
memenangkan pemilihan sebagai calon kepala desa. Calon kepala desa yang menguasai sumber ekonomi berlebih atau menguasai tanah luas mempunyai
kesempatan yang lebih terbuka untuk dipilih menjadi kepala desa.”
Keempat pertarungan dalam pemilihan Kepala Desa dipicu oleh perebutan
penguasaan tanah kajaroan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemilihan kepala desa pertimbangan motif ekonomi penguasaan tanah lebih menonjol daripada
kehendak mengabdi membangun membangun desa. Sengitnya perebutan untuk menguasai tanah kajaroan dan sumber-sumber ekonomi lain, ditunjukkan oleh
dengan “pecahnya kongsi” atau “koalisi” antara Kepala Desa dan Sekretaris Desa, untuk selanjutnya bertarung dalam pemilihan kepala desa pada periode
berikutnya. Kelima
ketegangan politik akibat pertarungan pemilihan kepala desa meluas pada hubungan antar kelompok sosial. Ketegangan dipicu oleh pergantian
Sekretaris Desa yang dilakukan oleh kepala desa yang tidak melibatkan Badan Perwakilan Desa BPD dan tokoh masyarakat yang bermukim di bagian atas desa
165
Lihat Theodor Smith 1982 “Kepala Desa: Pelopor Pembaharuan?” dalam Koentjaraningrat ed. Masalah-Masalah Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES.
kampung Cibarugbug, Sibopong Landeuh, Sibopong Tengah, Sibopong Girang dan Pematang. Sebagian besar anggota BPD dan tokoh masyarakat bagian atas,
mengharapkan agar Sekretaris Desa yang mendampingi Kepala Desa adalah M Bachraini. Beliau dipandang sebagai representasi aspirasi penduduk desa bagian
atas, sehingga struktur politik desa berada dalam keseimbangan. Sayangnya aspirasi BPD dan masyarakat Desa Citaman bagian atas, tidak
ditanggapi positif dari Kepala Desa terpilih, karena yang diangkat sebagai Sekretaris Desa adalah keponakan Kepala Desa. Kepala Desa berdalih
pengangkatan keponakannya sebagai Sekretaris Desa, telah memenuhi kualifikasi persyaratan minimal untuk menjadi perangkat desa, yakni sekurang-kurangnya
berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama danatau berpengetahuan yang sederajat. Argumen Kepala Desa tidak dapat dipahami oleh BPD dan tokoh
masyarakat, karena Kepala Desa mengabaikan persyaratan lain untuk menjabat perangkat desa seperti pengalaman dan umur.
166
Pengangkatan Sekretaris Desa memang merupakan kewenangan Kepala Desa, tetapi pengangkatan yang hanya memperhatikan syarat administrasi tingkat
pendidikan dengan mengabaikan kompetensi, pengalaman dan aspirasi BPD merupakan tindakan sewenang-wenang. Kondisi ini mengakibatkan ketegangan
sosial setelah pemilihan Kepala Desa berlanjut dan Kepala Desa dituduh bersikap nepotis dalam pengangkatan perangkat desa. Berhembusnya isu nepotisme,
menggambarkan semakin pentingnya peran politik dan ekonomi pemerintahan desa dalam masyarakat pedesaan. Terdapat gejala, di mana ajang perebutan
kekuasaan di wilayah pedesaan, bukan hanya pada kedudukan Kepala Desa, tetapi meluas dalam jabatan-jabatan birokrasi desa termasuk Sekretaris Desa. Adanya
rencana pemerintah yang akan mengangkat Sekretaris Desa sebagai pegawai negeri sipil, dapat dipastikan akan menambah sengitnya pertarungan untuk
menduduki jabatan Sekretaris Desa.
166
Dalam UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah pasal 97 disebutkan untuk menjadi Kepala Desaperangkat desa adalah penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang
memenuhi syarat antara lain: a bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; c berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama danatau berpengetahuan yang sederajat; d berumur sekurang- kurangnya 25 tahun; e mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di desa setempat.
6.4.3. Kontestasi Merebut Insentif Jasa Lingkungan