Indikasinya ditunjukkan oleh dua hal: a mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau dirancang untuk mengontrol aktivitas komunitas
petani di hulu DAS daripada membangun kelembagaan tata kelola DAS yang partisipatif, terpadu dan berkelanjutan. 2 Sistem penganggaran FKDC untuk
kegiatan operasional dibebankan kepada APBD provinsi, sedangkan untuk pembayaran jasa lingkungan berasal dari PT Krakatau Tirta Industri BUMD.
Patut diduga pejabat pemerintah daerah yang menjadi pengurus FKDC menjadi ’benalu” daripada memperjuangkan keberlanjutan ekosistem DAS Cidanau. 3
Pengurus FKDC cenderung sewenang-wenang, bertindak sebagai “pembeli” yang menentukan “harga” jasa lingkungan secara sepihak daripada menjadi pengayom
petani dan menjaga kelesatarian ekosistem hulu DAS Cidanau.
6.5. Ikhtisar
Pemahaman yang menempatkan sumberdaya agraria sebagai komoditi daripada sebagai stock dan barang publik, mengakibatkan kontestasi sektoral
menjadi tak terhindarkan. Kurangnya pemahaman memilah dan memilih fungsi sumberdaya alam sebagai stock, barang publik dan sebagai komoditi,
mengakibatkan pengelolaan dan penguasaan sumberdaya tidak memperhatikan karakteristik sifat dan fungsi sumberdaya. Kontestasi penguasaan sumberdaya
agraria di wilayah pedesaan berlangsung pada aras makronasional dan mikro di masyarakat. Pada aras makro kontestasi berlangsung antar berbagai aktor atau
kekuatan politik dan ekonomi melalui perumusan sejumlah peraturan perundang- undangan, seperti revisi Undang-Undang No. 41 tahun 1999 yang melegalkan
eksploitasi pertambangan di hutan lindung. Di aras mikromasyarakat, kontestasi sektoral, muncul dalam pelaksanaan
program sektoral melalui proyek pembangunan yang bersifat top down yang disertai pembentukan kelembagaan yang menegasikan kelembagaan masyarakat.
Pembentukan kelembagaan baru oleh instansi sektoral di pedesaan disebabkan rendahnya political will pemangku otoritas terhadap kelembagaan komunitas.
Kelembagaan komunitas dipersepsi dan diposisikan sebagai sebagai orphan factor anak tiri dan tidak diinginkan. Sehingga kontestasi sektoral pada aras desa
mengakibatkan kapitalisasi sumberdaya pedesaan.
Dalam konteks komunitas sekitar hutan dan desa hutan, kapitalisasi sumberdaya pedesaan menyebabkan interaksi negara dengan warga negara atau
desa cenderung menjadi transaksional. Dampak lebih lanjutnya adalah proses pembangunan didominasi oleh kepentingan memburu rente ekonomi dan abai
terhadap pemberdayaan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Kapitalisasi sumberdaya pedesaan juga mereduksi sumberdaya sumberdaya agraria dan
manusia sebagai komoditas semata-mata. Akibatnya pembangunan ekonomi sebatas peningkatan angka statistik dan indikator kuantitatif, sementara esensi
pembangunan untuk memberdayakan dan memandirikan masyarakat diabaikan. Menguatnya
kontestasi sektoral
tidak hanya
berdampak pada
pembangunan kehutanan dan kawasan DAS Cidanau tidak dikelola secara terkoordinasi dan tidak sinergis. Kontestasi disertai ego kedaerahan
mengakibatkan pembangunan ekonomi tidak mampu menurunkan dan merubah desa hutan sebagai salah satu kantong kemiskinan. Karena kontestasi sektoral dan
ego keadaerahan mendorong masing-masing instansi sektoral dan daerah memiliki perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring tersendiri tanpa koordinasi.
Padahal dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS memerlukan adanya ”rumah bersama” untuk memadu serasikan antar pemangku kepentingan
untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya manusia dan sumberdaya hutan.
BAB VII PELURUHAN KELEMBAGAAN LOKAL
DAN KEGAGALAN POLITIK SUMBERDAYA AGRARIA 7.1. Pendahuluan
Interkasi masyarakat pedesaan dengan kekuatan supra lokal berlangsung secara tidak simetris, timpang dan cenderung dominatif, bentuknya berbeda-beda
dari waktu ke waktu tergantung kepentingan politik dan ekonomi rezim yang berkuasa.
Di bawah
rezim pemerintahan
yang menganut
ideologi pembangunanisme, interaksi masyarakat pedesaan dengan kekuatan supra lokal
seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi mendorong peningkatan produktivitas komoditas, tumbuhnya
jaringan perdagangan desa kota dan makin terintegrasinya kehidupan petani dengan kehidupan kota. Di sisi lain interaksi masyarakat pedesaan yang tidak
simetris menyebabkan hilangnya kemandirian dan keswadayaan masyarakat pedesaan. Kedua hal tersebut merupakan implikasi dari pengarus-utamaan politik
agraria kapitalistik. Dalam pembangunan kehutanan orientasi politik agraria kapitalis ditandai oleh kebijakan yang kurang mempertimbangkan komunitas
sebagai komponen utama ekosistem hutan. Secara umum politik agraria termanifestasikan dalam sejumlah peraturan
perundang-undangan dan kebijakan kehutanan yang menempatkan komponen manusia atau masyarakat lokal sebagai sumber gangguan daripada kunci
keberhasilan. Pemahaman ini bersumber dan berakar dari politik agraria kapitalis kolonial dan pelaksanaan pembangunan ekonomi dengan cara instant dan
pro pasar, yang mereduksi sumberdaya agraria hanya sebagai komoditi bernilai ekonomi. Dampak dari pelestarian politik agraria kapitalis kolonial tersebut
adalah berujung pada kegagalan penyelenggara negara mewujudkan tujuan politik agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Indikasi dari kegagalannya
adalah peluruhan kelembagaan komunitas sekitar hutan. Gambaran kedua aspek tersebut menjadi fokus utama uraian bagian ini.