6.2.1. Aktor Kontestasi Sektoral
Kontestasi sektoral pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan dan DAS melibatkan para pemangku kepentingan atau aktor pada berbagi tingkat:
internasional, nasional, regional dan lokal. Aktor yang terlibat dalam pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS di Cidanau disajikan pada
gambar 5.
Gambar 5. Aktor Kontestasi Pengelolaan Hutan DAS Cidanau
Dari gambar 5 diketahui bahwa pada tingkat internasional kontestasi sektoral melibatkan perusahaan Multinasional dan NGO internasional yakni IIED
International Institute for Environment Development. Pada tingkat nasional
aktor yang terlibat dalam pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan adalah Kementerian Kehutanan, Kementerian Eenergi dan Sumberdaya Mineral, DPR
dan NGO. Pada tingkat regional aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS, melibatkan BKSD, UPT DAS Cidanau,
FKDC Forum Komunikasi DAS Cidanau, Pemda Provinsi Banten dan LSM Rekonvasi Bumi. Pada tingkat lokal aktor yang terlibat dalam pengelolaan
sumberdaya hutan dan DAS adalah UPT Pertanian dan Kehutanan, aparat Kecamatan Padarincang dan Ciomas, Aparat Desa Cibojong dan Desa Citaman
serta Kelompok Tani Hutan Karya Muda dan Kelompok Tani Maju Bersama. Kontestasi sektoral antar aktor pada tingkat nasional dalam pengelolaan
dan penguasaan sumberdaya hutan, berlangsung sejak perumusan draf naskah perundangan, pengajuan ke Presiden dan perumusan di badan legislatif sampai
dengan alokasi anggaran dari APBN. Sengitnya kontestasi sektoral antar aktor tercermin dalam pembahasan, perumusan dan pengesahan Perpu No. 1 Tahun
2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 411999 tentang Kehutanan oleh
Internasional
Lokal Nasional
Regional NGO IIED
DPR NGO
UPT DAS Kemenhut
Pemda Rekonvasi
Aparat Desa UPT Sektoral
Pem.Kecamatan MNC
FKDC KTH
Kement.ESD
DPR. Pembahasan, perumusan dan pengesahan Perpu tersebut di DPR melibatkan berbagai pemangku kepentingan aktor yang memiliki kekuatan politik dan
ekonomi, baik di lingkungan internal DPR maupun kekuatan di luar DPR eksekutif dan pelaku usaha domestik dan asing bahkan badan internasional.
Pada awalnya DPR secara tegas menolak perpu tersebut tetapi penolakan lantang DPR kemudian redup dan melunak yang berakhir dengan persetujuan
melalui pengambilan keputusan secara voting. Perubahan sikap politik DPR dinilai janggal,
150
karena berlangsung secara drastis. Ketika Perpu No.1 tahun 2004 dikeluarkan pemerintah, pihak DPR secara tegas menolaknya, dengan alasan
bahwa negara tidak dalam kondisi darurat. Tetapi penolakan DPR terhadap Perpu tidak bulat, ada pro dan kontra, antara pro investasi dan pro lingkungan. Menolak
Perpu, khawatir DPR dituduh tidak pro investasi karena investasi diperlukan untuk menodorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain DPR khawatir
membebaskan hutan lindung dari aktivitas pertambangan akan menuai arbitrase, karena sebagian perusahaan pertambangan yang beroperasi di kawasan Hutan
Lindung adalah perusahaan Amerika Serikat. Ambiguitas DPR terhadap Perpu mencerminkan sengitnya kontestasi
sektoral penguasaan sumberdaya hutan yang berlangsung secara transaksional. Proses transaksional itu dimungkinkan karena menguatnya kedudukan badan
legislatif yang memberikan peluang proses pembuatan undang-undang menjadi lahan subur pencari rent seeker. Besarnya kepentingan ekonomi dari pemangku
kepentingan penguasa dan pengusaha dalam penguasaan sumberdaya hutan dan pertambangan adalah aspek lain yang memicu kontestasi sektoral.
Perubahan Undang-Undang No. 411999 tentang Kehutanan melalui Perpu No.1 tahun 2004 berawal dari penilaian stakeholder pertambangan bahwa UU No.
41 tidak menjamin kepastian hukum bagi ijin pertambangan di kawasan hutan lindung. Besarnya pengaruh politik dan ekonomi stakeholder pertambangan
mendorong pemerintah mengeluarkan Perpu No.1 tahun 2004 yang berisi revisi Undang-Undang No. 411999 tentang Kehutanan yang melegalkan perusahaan
pertambangan beroperasi di kawasan hutan lindung. Revisi UU Kehutanan No.
150
Perubahan sikap politik DPR menurut sejumlah aktivis lingkungn dan kaukus anti korupsi terdapat dugaan kuat disebabkan mengalirnya uang kepada sejumlah anggota DPR. Lihat Harian
Kompas 13-14 Juli 2004.
41 yang melegalisasi eksplorasi pertambangan di kawasan hutan lindung, menunjukkan kekuatan politik dan ekonomi sektor pertambangan mendesakkan
kepentingannya melalui Presiden. Ambiguitas DPR terhadap Perpu diselesaikan melalui pengambilan
keputusan secara voting dalam rapat paripurna, dengan keputusan menyetujui Perpu No. 1 tahun 2004. Persetujuan DPR terhadap Perpu itu menggambarkan
kontestasi sektoral, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral dengan Kementerian Kehutanan. Dalam kasus pertambangan di kawasan hutan lindung,
kontestasi sektoral tidak hanya melibatkan Presiden tetapi juga pihak di luar pemerintah, yakni DPR. Persetujuan DPR terhadap Perpu itu memperkuat dugaan
bahwa pelaku usaha untuk memuluskan tujuan dan ambisinya, tidak saja mempengaruhi pemerintah, Presiden sebagai pimpinan eksekutif tetapi juga
mampu mendesakkan kepentingannya kepada DPR untuk membuat peraturan perundangan yang menguntungkan sektor dan perusahaan pertambangan.
Ì Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Ì Ì
Sabuk Mineral Wilayah KK
Wilayah KK yang tak dapat dieksplorasi
Papua: 68
Nusa Tenggara: 43 Maluku: 7
Kalimantan: 19 Sulawesi: 26
Java-Bali: 6 Sumatra: 44
TUMPANG TINDIH PERTAMBANGAN DAN KEHUTANAN
Definisi hutan lindung dalam UU No 41 tahun 2004 tidak memberi ruang gerak
lagi bagi kegiatan pertambangan
UU 411999 Tambang tidak boleh di hutan
lindung PP 12004,
why not ?
Menguatnya kepentingan politik dan ekonomi instansi sektoral dan perusahaan dalam proses pembuatan perundang-undangan sektoral, menyebabkan
produk hukum dari badan legislatif menjadi “vehicle to get power” para pihak badan legislatif, eksekutif dan pelaku usaha domestik dan mancanegera. Dalam
proses pembuatan perundangan sektoral, wakil rakyat di badan legislatif cenderung merepresentasikan kepentingan diri sendiri dan partai politiknya
daripada kepentingan rakyat yang diwakilinya. Proses pembuatan undang-undang demikian, mengakibatkan isi dan subtansi perundang-undangan, bukan hanya
bersifat sektoral dan parsial, tetapi juga syarat muatan kepentingan politik dan ekonomi para pihak dan menjauhkan terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Gambar 6 Kontestasi Kehutanan dan Pertambangan
6.2.2. Kontestasi Sektoral: Kapitalisasi Sumberdaya