9. Hubungan antara persepsi dengan pekerjaan alternatif nelayan
Hubungan antara persepsi dengan pekerjaan alternatif nelayan adalah tidak ada hubungan nyata. Nilai peluang yang diperoleh adalah 0,105 yang lebih besar
dari alpha α=10 dengan koefisien korelasi Rank Spearman sebesar 0,301.
Nelayan yang memiliki pekerjaan alternatif dan yang hanya menggantungkan perekonomiannya pada sumberdaya ikan Bilih namun telah menyadari
kelestarian ikan Bilih merupakan hal yang penting sehingga harus dijaga.
6.15 Peraturan Nagari di Nagari Sumpur
Pengaturan terhadap sumberdaya ikan telah diatur melalui UU No, 31 tahun 2004 Bab IV, pasal 6 ayat 1 yaitu tercapainya manfaat optimal dan berkelanjutan
serta terjaminnya kelestarian ikan. Hal ini mendorong terbentuknya peraturan lokal yang berasal dari masyarakat. Kearifan lokal ini telah ada di masyarakat
nagari Sumpur sejak dulu, namun sebelumnya hanya merupakan kesepakatan antar nelayan. Pemerintahan nagari, masyarakat dan instansi terkait bekerjasama
untuk menggali kembali aturan tersebut dan aturan ini mulai disahkan sejak tahun 2006 menjadi Peraturan Nagari Perna.
Perubahan bentuk kesepakatan ini menjadi aturan nagari disebabkan oleh adanya dorongan dari masyarakat akan perlunya kekuatan hukum dari aturan
tersebut dengan adanya sangsi yang kuat dan jelas. Tujuan dari pembentukan aturan tersebut antara lain: pertama, secara sosial dapat menimbulkan efek jera
terhadap nelayan. Kedua, secara ekologis dapat melestarikan sumberdaya ikan Bilih, serta ketiga mencakup tujuan ekonomi untuk mendukung keberlanjutan
ekonomi masyarakat dalam jangka panjang karena ikan Bilih merupakan komoditas utama dalam menunjang perekonomian masyarakat Sumpur. Peraturan
Nagari Perna ini tidak hanya berlaku bagi nelayan di kenagarian Sumpur tetapi
juga bagi nelayan lainnya yang melakukan penangkapan di wilayah perairan Sumpur. Sangsi dari peraturan ini ditindak tegas tanpa pandang bulu. Pelaporan
terhadap pelanggaran dapat dilakukan oleh masyarakat yang bertindak langsung sebagai pengawas POKMASWAS. Bentuk peraturan nagari ini dapat dilihat
pada Lampiran 8.
6.16 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Bilih di Danau
Singkarak.
Berdasarkan hasil pengkajian stok stock assessment, saat ini kondisi aktual sumberdaya ikan Bilih di Danau Singkarak diduga telah mengalami overfishing
baik secara biologi maupun ekonomi. Kondisi overfishing ini disebabkan oleh jumlah penangkapan ikan Bilih yang melebihi kondisi maksimum yang
sustainable secara biologi, tingkat effort yang lebih tinggi dari kondisi open access, serta rasio biaya yang lebih besar dibandingkan harga p. Jika kondisi
ini terus berlangsung maka dikhawatirkan stok ikan Bilih terus mengalami penurunan.
Selain itu dari hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan diperoleh faktor-faktor yang rata-rata mempengaruhi pendapatan nelayan
untuk ketiga alat tangkap adalah hasil tangkapan. Hasil tangkapan berpengaruh positif terhadap pendapatan. Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan
pendapatan nelayan harus meningkatkan hasil tangkapan. Jika kondisi sumberdaya ikan Bilih mengalami overfishing maka ketersediaan stok akan
berkurang sehingga nelayan tidak dapat meningkatkan kesejahteraannya. Hal ini menjadi acuan perlunya pengelolaan terhadap sumberdaya ikan Bilih yang
berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya ikan Bilih dapat diarahkan pada kondisi MEY Maximum Economic Yield dan kondisi MSY Maximum Suistanable Yield. Jika
pengelolaan diarahkan pada kondisi MEY maka effort harus ditekan sampai pada angka 630,40 unit standar alat tangkap. Artinya jumlah effort aktual harus
dikurangi sebesar 2.861,68 unit sandar alat tangkap atau 392,3 unit langli, 35,48 unit alahan, dan 107,46 unit jala. Pada kondisi ini rente ekonomi yang diperoleh
mencapai tingkat maksimum. Namun jika kebijakan ini diterapkan maka tenaga kerja yang dapat diserap lebih sedikit sehingga akan meningkatkan jumlah
pengangguran. Menurut Widodo dan Suadi 2006, pada kenyataannya orang akan lebih mudah diajak untuk menangkap lebih banyak ikan daripada mengejar nilai
ekonomi yang abstrak. Sehingga kebijakan ini sulit untuk dilakukan. Pengelolaan sumberdaya ikan Bilih membutuhkan pertimbangan ekonomi
untuk menghindari terjadinya over exploitation dan pertimbangan biologis untuk menjaga mortalitas penangkapan agar tidak melampaui kemampuan populasi
untuk bertahan serta untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan Bilih. Oleh karena itu jika kebijakan pengelolaan diarahkan pada kondisi MSY Maximum
Suistanable Yield dengan menekan effort sampai pada angka 815,76 unit standar alat tangkap. Hal ini berarti bahwa effort harus dikurangi sebanyak 2.676,32 unit
standar alat tangkap atau 258 unit langli, 23 unit alahan, dan 70,82 unit jala. Nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan kondisi MEY. Penurunan penangkapan
ke tingkat MSY tidak akan mengakibatkan kerugian besar, sebab kelebihan tenaga kerja yang lebih sedikit dapat diarahkan ke bentuk usaha lainnya yang lebih
produktif. Pertanian dan pariwisata merupakan usaha yang potensial untuk dikembangkan di Danau Singkarak. Sektor ini juga dapat menyerap lebih banyak
tenaga kerja. Kelebihan dan kekurangan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan Bilih tersebut disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31.Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Bilih di Danau Singkarak Kebijakan Kelebihan
Kekurangan
MEY
1. Rente sumberdaya yang
diperoleh maksimum. 1.
Penyerapan tenaga kerja rendah 2.
Mengurangi 392,3 unit langli, 35,48 unit alahan, dan 107,46
unit jala.
MSY
1. Penyerapan tenaga kerja
tinggi. 2.
Mengurangi 258 unit langli, 23 unit alahan, dan
70,82 unit jala. 1.
Tingkat keuntungan yang diperoleh tidak maksimum.
Sumber: Widodo dan Suadi diolah, 2006 Menurut Kusumastanto 2007, untuk mewujudkan pengelolaan yang
mempertimbangkan keberlanjutan stok, keberlanjutan pendapatan, dan kesejahteraan nelayan ada tiga langkah yang dapat dilakukan yaitu langkah teknis,
pengendalian masukan, dan pengendalian keluaran. Tapi dalam kasus ini strategi
yang dapat dilakukan adalah: Langkah Teknis. Kebijakan langkah teknis yang
dapat dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan Bilih dapat dilakukan
melalui:
1. Pembatasan ukuran jaring langli minimum yaitu 1 inci. Tujuan dari
pembatasan ini adalah mengurangi dampak dari penggunaan alat tangkap terhadap ukuran ikan dan habitatnya serta mengurangi mortalitas penangkapan.
Pembatasan ukuran jaring minimum ini telah dilakukan pemerintah provinsi mulai tahun 2007 namun belum ditetapkan menjadi peraturah yang jelas.
Akibatnya masih banyak masyarakat yang tetap menggunakan jaring langli dengan ukuran ¾ inci.
2. Pembatasan penggunaan alat tangkap. Tujuan pembatasan ini adalah untuk
mengurangi jumlah effort ke tingkat MSY. Tingginya jumlah effort saat ini yaitu mencapai tingkat 3.492,08 unit standar alat tangkap mengakibatkan
kondisi perikanan berada pada kondisi open access. Pada kondisi ini terjadi inefisiensi dalam perikanan. Dimana tingkat biaya yang dikeluarkan nelayan
tinggi namun rente yang diperoleh tidak ada. Hal ini dapat menurunkan kesejahteraan nelayan ikan Bilih.
3. Pembatasan terhadap kawasan dan waktu penangkapan untuk alat tangkap jala
dan alahan. Hal ini dilakukan karena kegiatan penangkapan kedua alat tangkap ini dilakukan di muara-muara sungai pada waktu-waktu pemijahan. Sehingga
kegiatan penangkapan perlu dibatasi beberapa meter dari muara sungai. Pembatasan waktu penangkapan untuk alat tangkap jala dapat dilakukan
melalui sistem shift. 4.
Pembatasan ukuran minimum ikan yang ditangkap. Tujuan pembatasan ini adalah mengurangi mortalitas penangkapan.
Kebijakan pengelolaan tersebut disesuaikan dengan keadaan sosial masyarakat, topografi, dan alat tangkap yang dominan digunakan. Selain itu kebijakan
pengelolaan memerlukan aturanregulasi yang jelas. Perikanan yang tidak diatur unregulated akan cenderung menempatkan upaya penangkapan pada tingkat
yang melebihi tingkat optimal, sehingga over investasi akan terjadi dan perikanan berada pada tingkat yang tidak efisien secara sosial dan ekonomi. Regulasi ini
diperlukan untuk meningkatkan kualitas serta bobot dan ukuran ikan. Hasil analisis persepsi diketahui bahwa keberadaan aturan berperan sangat penting
dalam upaya menjaga kelestarian ikan Bilih. Oleh karena itu perlu adanya regulasi
terhadap penangkapan yang memiliki hukum dan sanksi yang jelas seperti Perda. Selain itu, peraturan nagari yang berlaku di Kenagarian Sumpur dapat dijadikan
sebagai acuan bahwa aturan sangat penting sehingga masyarakat Sumpur cenderung lebih ramah lingkungan dalam kegiatan penangkapan ikan Bilih.
Namun keberhasilan dari peraturan sangat ditentukan oleh dukungan semua stakeholders dan pengawasan terhadap aturan yang dilakukan oleh berbagai
pihak.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan yaitu:
1. Pemanfaatan sumberdaya ikan Bilih optimum yang diperoleh dari hasil
perhitungan bioekonomi menghasilkan kondisi optimal nilai biomassa x 2.245,92 tontahun, hasil tangkapan lestari h 953,24 tontahun, dan Effort
E nelayan sebesar 630,40 triptahun sehingga diperoleh rente ekonomi sebesar Rp 10.196.741.207,25 per tahun.
2. Sumberdaya ikan Bilih di Danau Singkarak belum mengalami degradasi dan
depresiasi karena rata-rata koefisien laju degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan Bilih berturut-turut adalah 0,316516 dan 0,316544.
3. Faktor-faktor yang secara umum mempengaruhi pendapatan nelayan
sumberdaya ikan Bilih untuk setiap alat tangkap adalah hasil tangkapan nelayan. Faktor-faktor yang secara umum berhubungan nyata dengan persepsi
nelayan terhadap kelestarian ikan Bilih adalah aturan. 4.
Pengelolaan sumberdaya ikan Bilih dapat diarahkan pada kondisi MEY sehingga didapatkan keuntungan yang maksimum. Namun kebijakan ini
berdampak pada pengurangan tenaga kerja yang cukup besar. Dalam rangka menyerap lapangan kerja yang lebih besar dengan tetap memperhatikan
kelestarian sumberdaya, maka kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan Bilih didorong pada kondisi MSY dengan mengurangi alat tangkap sebanyak 258
unit langli, 23 unit alahan, dan 70,82 unit jala. Kebijakan ini harus didukung oleh aturanregulasi yang jelas serta pengawasan dari semua pihak.