Usahatani Terpadu TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usahatani Terpadu

Salah satu upaya mengembangkan dan mempertahankan stabilitas pendapatan petani adalah mengembangkan sistem usahatani terpadu farming system. Farming system adalah suatu konsep pengembangan pertanian yang memandang usahatani sebagai suatu sistem. Dalam hal ini terdapat keterkaitan antar cabang usahatani, baik dalam penggunaan input maupun dalam tingkat output yang dihasilkan. Petani selalu dituntut untuk mampu memadukan berbagai kombinasi cabang usahatani yang memberikan interaksi atau keterkaitan yang saling mendukung. Hardwoord 1979 menjelaskan bahwa farming system adalah paduan dari proses biologis dan aktivitas pengelolaan sumberdaya untuk memproduksi tanaman dan ternak. Menurut Shaner et al. 1982, farming system adalah suatu yang unik dari pengaturan cabang usaha yang berimbang dari suatu usahatani. Unik dalam arti kemampuan petani mengelola, mengendalikan dan memadukan aspek agronomi dan aspek sosial ekonomi dengan memperhatikan aspek lingkungan tertentu. Untuk memperoleh gambaran keberadaan farming system dalam lingkungan tertentu, maka ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Rumahtangga sebagai satu unit kesatuan. Rumahtangga merupakan elemen kunci dalam riset farming system. 2. Sumberdaya rumahtangga petani. Sumberdaya yang dikuasai dapat dibedakan atas: 1 tanah, yang meliputi ukuran tanah, pemilikan tanah, pembagian tanah, penggunaan tanah, hubungan antara pemilik dan penyewa, kualitas tanah, ketersediaan air dan lokasi tanah, 2 tenaga kerja, yang meliputi jumlah, umur, kelamin, anggota keluarga, tingkat produktivitas dan kesehatan, pembagian waktu antara di luar dan di dalam usahatani, sifat dan keinginan untuk bekerja sama dan saling membantu, 3 modal, mencakup kekayaan baik berupa fisk maupun finasial seperti peralatan, pembangunan, hasil yang dapat dijadikan uang tunai, ternak maupun kredit, dan 4 pengelolaan, adalah keterampilan dalam mengorganisir dan memanfaatkan tanah, tenaga kerja dan modal secara efisien. 3. Cabang usaha dalam usahatani. Beberapa karakteristik yang perlu diperhatikan dalam hubungan dengan cabang usaha antara lain: kebiasaan bertani, interaksi antara cabang usaha satu dengan lainnya, kebutuhan biaya dan tenaga kerja serta kebutuhan input produksi, pemanfaatan hasil produksi dan pasaran hasil produksinya Shaner et al., 1982. Norman dan Gilbert 1980 menjelaskan bahwa terdapat dua elemen utama yang sangat berpengaruh terhadap riset farming system yaitu manusia dan teknologi. petani dihadapkan pada faktor eksogen dan faktor endogen dalam pengambilan keputusan usahataninya. Faktor eksogen merupakan faktor yang tidak dapat dikontrol oleh petani sedangkan faktor endogen berada dalam kontrol petani. Faktor eksogen meliputi norma dan perilaku dalam suatu struktur masyarakat tertentu, institusi eksternal seperti pasar dan hal lain yang berada di luar kontrol petani. Adapun faktor endogen meliputi kondisi rumahtangga petani dengan segala faktor produksi yang dikuasainya berupa lahan, modal, tenaga kerja dan kemampuan dalam pengelolaan. Sistem usahatani ternak menururt Amir dan Knipcsheer 1989 adalah khas dan merupakan suatu usaha yang layak sebagai perusahaan pertanian yang dalam prakteknya dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik, biotik dan faktor sosial ekonomi serta disesuaikan dengan tujuan rumahtangga petani, preferensi dan sumberdaya atau faktor produksi yang dimiliki petani. Usaha peternakan rakyat selalu dihadapkan pada berbagai keterbatasan sumberdaya antara lain lahan untuk menyediakan pakan ternak, tenaga kerja dan modal. Pada usaha peternakan tradisional umumnya input pakan tidak dibeli. Usaha ternak ruminansia pada umumnya merupakan salah satu aktivitas produksi atau cabang usaha yang terintegrasi dengan usahatani lainnya, terutama usahatani tanaman pangan dan bersifat sebagai usaha yang saling terkait dan mendukung atau sebagai usaha yang bersifat penunjang dan pelengkap dalam sistem usahatani. Petani ternak tradisional lebih mementingkan nilai kegunaan ternak bagi pemenuhan kebutuhan rumahtangganya Sabrani, 1989. Hal ini dilakukan petani atas dasar berbagai pertimbangan, antara lain sifat komplemen antara cabang usahatani yang dijalankan serta harapan untuk meperoleh pendapatan yang lebih besar. Selain itu diversifikasi usaha juga dilakukan sebagai salah satu cara penanggulangan dalam menghadapi risiko kegagalan usaha seperti kegagalan produksi. Pada tingkat petani, sasaran untuk meningkatkan produktivitas dapat dicapai melalui perbaikan manajemen usahataninya, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada Saragih, 2000. Perbaikan manajemen usahatani umumnya disertai adopsi teknologi, karena itu perubahan perilaku petani ternak terhadap teknologi perlu dipahami, sebab erat kaitannya dengan proses pengambilan keputuasan. Tingkat perubahan akibat adanya adopsi teknologi bervariasi secara lintas daerah karena terdapat perbedaan sumberdaya pendukungnya Schultz, 1984.

2.2. Konsep Integrasi Tanaman-Ternak