Pranata Politik Pranata Kelembagaan Adat

82 terbatas dan juga tanpa penanganan tanaman yang terampil. Demikian halnya dengan hasil pengolahan tanaman di ladang, hanya dapat menghasilkan panen satu hingga dua kali saja lalu kemudaian lahan tidak dapat digunakan lagi. Kemudian ladang tersebut akan ditinggalkan dan berpindah ke ladang yang baru. Dahulu kala,pembukaan ladang yang baru dimulai dengan pemilihan lahan melalui ritual bersama seorang datu dukun yang disebut parma-mang. Lahan yang biasanya dijadikan ladang adalah lahan yang tidak ditempati atau kawasan hutan alami yang belum dijamah oleh manusia. Kemudian lahan tersebut dibersihkan dengan cara dibakar. Upacara selanjutnya adalah memberikan sesaji kepada penunggu lahan agar tidak mengganggu pengolah ladang dan juga sekaligus sebagai upacara pemilihan hari baik untuk mulai menanam. Selama musim pembukaan lahan ini, masyarakat kampung dilarang untuk keluar-masuk kampung. Hal ini dilakukan untuk menghindari mala petaka dan bahaya yang mungkin terjadi karena penunggu lahan yang merasa terusik. Tapi sekarang keberadaan datu ini sudah tidak menjadi dominan lagi, akan tetapi kebiasaan membuka lahan baru ini masih tetap ada. Tanaman yang sering ditanam di ladang ini adalah tebu, tanaman obat, ubi, jahe, sayu-sayuran dan tiung atau terong belanda. Demikian juga pohon aren yang sengaja ditanam di tengah ladang untuk menghasilkan tuak, sejenis minuman beralkohol, yang menjadi kesukaan masyarakat Batak. Hasil pertanian masyarakat desa Meranti Barat seperti padi hanya menanam untuk konsumsi mereka sendiri tidak untuk dijual sebagai cadangan keluarga selama setahun, sedangkan hasil pertanianperladangan lain biasanya akan dijual sampai keluar desa.

4.2.3.2 Pranata Politik

83 Kehidupan perpolitikan warga masih sangat rendah, hal ini disebabkan karena informasi dan penyuluhan dari lembaga politik sangat terbatas. Hampir tidak pernah kampanye perpolitikan dilakukan di desa ini. Pemahaman masyarakat tentang politik hanya didapat dari cerita di kedai kopi dengan sesama warga.

4.2.3.2 Pranata Kelembagaan Adat

Sistem kekerabatan orang Batak termasuk di Desa Meranti Barat menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut dalihan na tolu bahasa toba, di simalungun disebut tolu sahundulan. Dalihan dapat diterjemahkan sebagai tungku dan hundulan sebagai posisi duduk. Keduanya mengandung arti yang sama : 3 posisi penting dalam kekerabatan orang Batak, yaitu : a. Hula Hula Atau Tondong : yaitu kelompok orang orang yang posisinya di atas, yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut Somba Somba Marhula Hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. b. Dongan Tubu atau Sanina : yaitu kelompok orang orang yang posisinya sejajar, yaitu : temansaudara semarga sehingga disebut manat mardongan tubu artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. c. Boru : yaitu kelompok orang orang yang posisinya di bawah, yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari hari disebut elek marboru artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat. 84 Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut, ada saatnya menjadi Hula-hulaTondong, ada saatnya menempati posisi Dongan TubuSanina dan ada saatnya menjadi Boru. Dengan dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan sistem demokrasi orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.

4.2.3.3 Pranata Sosial