Filsafat Pragmatisme
3. Filsafat Pragmatisme
Filsafat pragmatisme berbeda dengan filsafat tradisional (idelisme dan realisme). Filsafat ini identik dengan filsafat eksperimentalisme yang menuntut perubahan (change), proses (process), dan realitivitas (realtivity). Pandangan kaum idealis dan realis untuk memperoleh pengetahuan menekankan pada materi pelajaran (subject matter), disiplin, dan isi pelajaran (content), berbeda dengan pandangan kaum pragmatis bahwa pengetahuan dikonstruk melalui proses dan didasarkan pada relativitas yang menuntut perubahan secara ajeg (consistent). Perolehan pengetahuan melibatkan pemecahan masalah (problem solving), lebih jauh pengetahuan ditransfer dari materi pelajaran berdasarkan pertimbangan transaksi antara pelajar dengan lingkungan.
Zais (1976) dan Schubert (1993) menjelaskan bahwa mengenai perubahan sosial menurut kaum idealis dan realis adalah berdasarkan pertimbangan budaya kita. Filosof tradisional mendukung dan meyakini konsep kebenaran yang universal, tetapi menurut kaum pragmatis perubahan sosial seperti itu tidak realistik dan tidak bijaksana. Perubahan sosial menurut kaum pragmatis Zais (1976) dan Schubert (1993) menjelaskan bahwa mengenai perubahan sosial menurut kaum idealis dan realis adalah berdasarkan pertimbangan budaya kita. Filosof tradisional mendukung dan meyakini konsep kebenaran yang universal, tetapi menurut kaum pragmatis perubahan sosial seperti itu tidak realistik dan tidak bijaksana. Perubahan sosial menurut kaum pragmatis
Kaum pragmatis menolak pandangan filosof tradisonal yang mengungkapkan bahwa kemampuan intelektual seseorang sudah terpola atau terbentuk sebelumnya (sudah dibawa sejak lahir), dan pandangan bahwa seseorang belajar didasarkan pada konsep keseluruhan mempengaruhi bagian, dan bagian adalah keseluruhan adalah tentatif. Ide tentang metode mengajar siswa tidak ada kaitannya untuk mencerdaskan berpikir, tetapi mengajar lebih dari pada penemuan (eksploratory), dan menjelaskan (explanatory). Menurut kaum pragmatis bahwa metode mengajar lebih penting dari pada materi pelajaran (how to teach rhater than what to teach). Orientasi metode pembelajaran diarahkan untuk mencerdaskan inteligensi siswa agar menjadi ahli saintis, metode yang dipandang baik menurut kaum pragmatis salah satunya adalah metode penyeledikan (investigation), (Juanda, 2014: 146)
Filsafat pragmatisme dalam hal pengembangan metode ilmiah kembali ke abad 20 (metode eksperimen). Kaum pragmatis menerima pengetahuan didasarkan pada fenomena yang selalu menantang untuk diteliti, berbeda dengan filsafat tradisional. Acuan pemikiran kaum pragmatis adalah Charles Darwin yang menulis buku tahun 1859 Origin of the Spicies sebagai pandangan fondasi klasik yang membahas tentang teori evolusi manusia. Yang termasuk kaum pragmatis lainnya adalah Charles Peirce seorang ahli matematika dan William James ahli psikologi mengembangkan prinsip pragmatisme. Inti ajaran filsafat pragmatisme, yaitu: (1) menolak dogma-dogma dan nilai-nilai yang abadi, (2) menguji metode, dan pembuktian terhadap ide-ide bawaan. Kebenaran tidak absolut atau universal, kebenaran terkait dengan fakta-fakta pengalaman atau dengan perilaku yang nampak (behavior), (Ernest, 1966: 58).
Implikasi kurikulum paham pragmatisme yang dibangun John Dewey terhadap pembelajaran adalah untuk merubah kondisi masyarakat supaya lebih baik atau progresif. Sekolah berorientasi pada lingkungan masyarakat. Kurikulum yang ideal di samping menekankan pada pengalaman belajar siswa juga pada minat dan mempersiapkan siswa untuk hidup masa depan. Kurikulum mengutamakan interdisipliner (terjadi keterkaitan antar ilmu), pembelajaran lebih baik grup dari pada individual , metode mengutamakan problem solving , organisasi pelajaran bukan menekankan pada subject matter saja, melainkan menggunakan metode ilmiah , dan pembelajaran bukan menumpuk-numpuk fakta- fakta atau pendapat orang lain yang disimpan di dalam benak kepala siswa, (Juanda, 2014: 147).
Pertimbangan kaum pragmatis bahwa proses belajar mengajar adalah perbaikan pengalaman belajar berdasarkan metode ilmiah. Belajar banyak mengaktifkan siswa berdasarkan kelompok atau grup dari pada individual, menekankan pemecahan masalah, mata pelajaran merespon perubahan dunia. Bagi guru, yang penting untuk siswa memperoleh pengetahuan melalui problem solving sebagai cara pengembangan kecerdasan inteligensi siswa.
Situasi belajar mengajar berdasarkan gagasan Dewey dalam Juanda (2014: 147) mengutamakan apa yang disebut learning by doing , (belajar sambil melakukan). Artinya, kata Dewey omong kosong siswa mengerti pelajaran tanpa berbuat, atau melakukan atau mempraktikan apa yang di pelajari oleh anak-anak. Belajar bukan mengisi benak anak-anak dengan berbagai pengetahuan, tetapi yang lebih penting adalah doing , setelah itu akan timbul pengalaman belajar (learning experience), dan dari pengalaman ini akan didapat pengetahuan (knowledge).
Kelebihan filsafat pragmatism, orientasi pembelajaran mengutamakan pengalaman belajar pada anak manusia (siswa). Pengalaman ini mencakup segala aspek kegiatan manusia baik yang berbentuk aktif maupun yang pasif. Sementara itu, kekurangannya tak ada nilai (value) yang mutlak (absolute) semuanya sementara (tentative). Seorang tokoh pragmatisme Dewey menghendaki nilai
(value) adalah on going-ness (seglanya berubah), (Sukmadinata, 2005: 40). Selanjutnya Sukmadinata mengungkapkan pinsip ini membawa konsekuensi cukup jauh, bagi Dewey tidak ada yang menetap dan abadi semuanya berubah. Agaknya, asumsi Dewey ini dipengaruhi oleh salah seorang filosof klasik bernama Heraclitus yang ajarannya menyatakan bahwa air selalu mengalir (tak ada yang abadi, semuanya beribah), (Juanda, 2014: 147).