Psikologi Humanistik Maslow

2. Psikologi Humanistik Maslow

a. Belajar Siswa Menurut Teori Humanistik

Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari keempat teori belajar, teori humanistik inilah yang paling abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikan. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya isi dari proses belajar, dalam kenyataan Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari keempat teori belajar, teori humanistik inilah yang paling abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikan. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya isi dari proses belajar, dalam kenyataan

memanusiakan manusia (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya itu) dapat tercapai (Feronika, 2012). Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel (1968) yang disebut belajar bermakna atau Meaningful Learning. Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk Taksonomi Bloom. Selain itu, empat pakar lain yang juga termasuk ke dalam kubu teori ini adalah Kolb, Honey, dan Mumford, serta Habermas yang masing- masing pendapatnya akan dibahas berikut ini :

• Bloom dan Krathwohl

Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan berikut :

Kognitif

Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu:

1. Pengetahuan (mengingat, menghapal).

2. Pemahaman (menginterpretasikan).

3. Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah).

4. Analisis (menjabarkan suatu konsep).

5. Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh).

6. Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya).

Psikomotor

Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu:

1. Peniruan (menirukan gerak).

2. Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak).

3. Ketepatan (melakukan gerak dengan benar).

4. Perangkaian (malakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar).

5. Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).

Afektif

Afektif terdiri dari lima tingakatan, yaitu:

1. Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu).

2. Merespons (aktif berpartisipasi).

3. Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu).

4. Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai).

5. Pengalaman (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup) (Awaludin, 2010). Taksonomi Bloom ini, seperti yang telah kita ketahui,

berhasil memberi inspirasi kepada banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran. Pada tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional, serta dapat diukur. Dari beberapa taksonomi belajar, mungkin taksonomi Bloom inilah yang paling popular, (Awaludin, 2010).

Selain itu, teori Bloom ini juga banyak dijadikan pedoman untuk membuat butir-butir soal ujian, bahkan oleh orang-orang yang sering mengkritik taksonomi tersebut. Kritikan atas klasifikasi kemampuan yang dikemukakan Bloom ternyata diperbaiki oleh para pakar pendidikan dengan mengadakan revisi pada aspek kognitif. Dalam klasifikasi taksonominya pada aspek kognitif, Bloom mengemukakan enam tingkatan kemampuan yang meliputi (1) pengetahuan (2) pemahaman (3) penerapan (4) analisis dan (6) evaluasi. Melalui pakar pendidikan yang terdiri dari Peter W. Airasian, Kathleen A. Cruikshank, Richard E. Mayer, Paur E. Pitrich, James Raths dan Merlin C. Wittrock dengan editor Orin W. Anderson dan David R. Krathwohl dalam buku yang berjudul A Taksonomy for Learning, Teaching and Assesing yang diterbitkan pada tahun 2001 mengadakan revisi aspek kemampuan kogniitif tersebut Selain itu, teori Bloom ini juga banyak dijadikan pedoman untuk membuat butir-butir soal ujian, bahkan oleh orang-orang yang sering mengkritik taksonomi tersebut. Kritikan atas klasifikasi kemampuan yang dikemukakan Bloom ternyata diperbaiki oleh para pakar pendidikan dengan mengadakan revisi pada aspek kognitif. Dalam klasifikasi taksonominya pada aspek kognitif, Bloom mengemukakan enam tingkatan kemampuan yang meliputi (1) pengetahuan (2) pemahaman (3) penerapan (4) analisis dan (6) evaluasi. Melalui pakar pendidikan yang terdiri dari Peter W. Airasian, Kathleen A. Cruikshank, Richard E. Mayer, Paur E. Pitrich, James Raths dan Merlin C. Wittrock dengan editor Orin W. Anderson dan David R. Krathwohl dalam buku yang berjudul A Taksonomy for Learning, Teaching and Assesing yang diterbitkan pada tahun 2001 mengadakan revisi aspek kemampuan kogniitif tersebut

Dalam dimensi pengetahuan di dalamnya memuat objek ilmu yang disusun dari (1) pengetahuan fakta (2) pengetahuan konsep (3) pengetahuan prosedural (4) pengetahuan meta kognitif. Sedangkan dalam dimensi proses kognitif di dalamnya memuat enam tingkatan yang meliputi 1) mengingat, 2) mengerti, 3) menerapkan, 4) menganalisis, 5) mengevaluasi dan 6) mencipta (Sukarman, 2007: 100).

• Teori Kolb

Sementara itu, seorang ahli lain bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu:

1. Pengalaman konkret.

2. Pengamatan aktif dan reflektif.

3. Konseptualisasi.

4. Eksperimentasi aktif. Menurut Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran siswa. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktik peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya itu seringkali terjadi begitu saja, sulit kit atentukan kapan beralihnya.

• Teori Honey

Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa.Menurut mereka, ada empat macam atau tipe siswa yakni 1) aktivis 2) reflektor 3) teoris dan 4) pragmatis.

Ciri dari siswa yang bertipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka cenderung berpikiran terbuka dan mudah diajak berdialog. Namun, siswa semacam ini biasanya kurang skeptic terhadap sesuatu. Ini kadangkala identic dengan sifat mudah percaya. Dalam proses belajar, mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal baru, seperti brainstorming atau problem solving . Akan tetapi, mereka cepat merasa bosan dengan hal- Ciri dari siswa yang bertipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka cenderung berpikiran terbuka dan mudah diajak berdialog. Namun, siswa semacam ini biasanya kurang skeptic terhadap sesuatu. Ini kadangkala identic dengan sifat mudah percaya. Dalam proses belajar, mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal baru, seperti brainstorming atau problem solving . Akan tetapi, mereka cepat merasa bosan dengan hal-

Untuk siswa yang bertipe reflektor, sebaliknya cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung konservatif dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat, baik buruk suatu keputusan. Sedangkan siswa yang bertipe teoris biasanya sangat kritis, senang mnganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Bagi mereka, berpikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting. Mereka biasanya juga sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Untuk siswa tipe pragmatis biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Kebanyakan siswa dengan tipe ini tidak suka berlarut-larut dalam membahas aspek teoretis filosofis dari sesuatu. Bagi mereka, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktikan (Ismail, 2015).

• Teori Habermas

Ahli psikologi lain adalah Habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesame manusia. Dengan asumsi ini, Habermas mengelompokan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Belajar teknis (technical learning).

2. Belajar praktis (practical learning).

3. Belajar emansipatoris (emancipatory learning). Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.

Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dan orang-orang disekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dan orang-orang disekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman

Sedangkan dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi. Sebaba tarnsformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling penting (Ismail, 2015).

b. Fase Kebutuhan Siswa

Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat perlu diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasi dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri.

Implikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Dalam teori ini, peran guru menjadi fasilitator dan memberikan motivasi kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student centered) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negative. Karena seseorang akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan- pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang.

Pembelajaran berdasarkan teori humanistik sangat cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena social. Indikator keberhasilan implementasi adalah siswa merasa senang, bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap Pembelajaran berdasarkan teori humanistik sangat cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena social. Indikator keberhasilan implementasi adalah siswa merasa senang, bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap

Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa. Hal tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori ini, agar belajar bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri.

Maka siswa akan mengalami belajar eksperiensial (experiential learning). Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung

berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling tidak langkah-langkah pembelajaran yang dapat digunakan sebagai acuan.Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut :

1) Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.

2) Menentukan materi pelajaran.

3) Mengidentifikasi kemampuan awal (entry behavior) siswa.

4) Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.

5) Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.

6) Membimbing siswa belajar secara aktif.

7) Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya.

8) Membibing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.

9) Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.

10) Mengevaluasi proses dan hasil belajar. Implementasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berpikir induktif. Teori ini juga sangat mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar (Irwan, 2012).

c. Peran Guru Mengajar Siswa

Peranan guru dalam kegiatan belajar siswa menurut pandangan teori humanisme adalah sebagai fasilitator yang berperan aktif dalam: (1) membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif agar siswa bersikap positif terhadap belajar, (2) membantu siswa untuk memperjelas tujuan belajarnya dan memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar, (3) membantu siswa untuk memanfaatkan dorongan dan cita-cita mereka sebagai kekuatan pendorong belajar, (4) menyediakan berbagai sumber belajar kepada siswa, dan (5) menerima pertanyaan dan pendapat, serta perasaan dari berbagai siswa sebagaimana adanya.

Prinsip-prinsip belajar humanistik yang penting, diantaranya adalah:

1) Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.

2) Belajar yang signifikan terjadi apabila subject matter dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.

3) Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri, diangggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.

4) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.

5) Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.

6) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.

7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses

belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.

8) Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.

9) Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreatifitas lebih mudah dicapai apabila terutama siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan penilaian diri orang lain merupakan cara kedua yang penting.

10) Belajar yang paling berguna secara social di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu (Oktaviani, 2015).