Sistem Politik Orde Baru dan Politik Depolitisasi
Sistem Politik Orde Baru dan Politik Depolitisasi
Telah menjadi pengetahuan umum dalam kajian politik Indonesia kontemporer bahwa keberhasilan Orde Baru dalam memelihara stabilitas politik dan pemerintah dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun sebagian besar disebabkan karena kemampuannya menerapkan model politik yang
berorientasi negara kuat (strong state). 4 Para pendahulu Orde Baru, yakni rezim Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, karena alasan yang berbeda-beda ternyata tidak mampu berbuat yang demikian. Di Irawah rezim demokrasi liberal, umpamanya, negara yang kuat tidak pernah muncul karena ketika itu negara republik yang masih muda tidak memiliki kecenderungan untuk menggunakan model seperti itu. Sebaliknya tampak jelas bahwa di bawah rezim Demokrasi Terpimpin model tersebut mulai diupayakan, menyusul langkah Soekarno untuk membubarkan Dewan Konstituante dalam tahun 1957 dan disusul dengan mengumumkan Dekrit Presiden 1959 untuk kembali kepada UUD 1945. Apa yang terjadi dalam kurun waktu antara 1959-1965 adalah diterapkannya suatu eksperimen
4 Lihat juga bab-bab sebelumnya dalam buku ini.
Reformasi dan Rekomendasi melalui Civil Society 255
negara kuat untuk pertama kalinya setelah masa kolonial, dan ternyata dalam perkembangannya mengalami kegagalan.
Menyusul terjadinya coup d’etat yang gagal pada September 1965, Demokrasi Terpimpin pun mengalami keruntuhan bersama jatuhnya Presiden Soekarno. Sejak terbentuknya Orde Baru pada 1967, model perpolitikan yang sama diteruskan tetapi dengan strategi yang sama sekali berbeda. Pertama-tama, perbedaan yang mencolok antara rezim
Demokrasi Terpimpin dengan Ode Baru adalah bahwa yang disebut belakangan itu telah mengimplementasikan model tersebut dengan membentuk kelompok elite penguasa yang kuat terpadu, yang ideologi politik dan kepentingannya saling mengisi. Kelompok elite tersebut terdiri dari birokrasi (sipil dan ABRI), para teknokrat, kaum borjuis nasional. Mereka inilah yang kemudian mempunyai tugas-tugas di bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian kebijaksanaan rezim Orde Baru serta program-programnya di bawah pimpinan eksekutif yang sangat berkuasa. Terbentuknya elite penguasa yang padu dan kokoh suatu gejala yang tidak pernah didapati pada era sebelumnya - telah memungkinkan elite penguasa Orde Baru memiliki rasa kebersamaan dan pertalian yang kuat diantara para anggota kelompoknya, tanpa merasa khawatir terjadi konflik internal antara faksi-faksi.
Namun yang lebih penting, tidak seperti pendahulunya, Orde Baru ini telah berhasil menciptakan sebuah format politik, yang dengannya proses depolitisasi terhadap masyarakat dapat dilakukan dengan sangat efektif. Dengan bersandar pada apa yang disebut sebagai “konsensus nasional”, rezim Orde Baru menciptakan seperangkat peraturan yang populer disebut dengan paket lima undang-undang yang secara efektil berhasil menundukkan kekuatan sosial dan politik di bawah pengawasan negara. Dengan memberlakukan paket tersebut, Orde Baru sebenarnya secara sistematik telah melakukan penyimpangan dari proses kehidupan politik demokratis karena ia hanya memberikan peluang sangat terbatas kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik, yaitu melalui keterlibatan mereka dalam Pemilu untuk memilih Dewan Perwakilan RakyatlDaerah (DPR dan DPRD) dan itu pun berlangsung di bawah pengawasan yang ketat dari nagara. Ujung-ujungnya, partisipasi politik semu seperti itu lebih berfungsi sebagai instrumen mobilisasi politik sehingga apa yang disebut sebagai pemberdayaan serta pendidikan politik rakyat tak memiliki arti.
256 Demokrasi dan Civil Society
Secara singkat, politik depolitisasi Orde Baru digelar melalui dua strategi, yakni langsung dan tak langsung. Yang pertama (strategi langsung) diarahkan kepada massa pedesaan yang merupakan jumlah terbesar penduduk Indonesia (kira-kira 70%). Strategi ini dikenal sebagai politik “massa mengambang” yang bertujuan membatasi kegiatan partai-partai politik hanya pada tingkat kabupaten saja. Asumsi formal yang mendasari kebijaksanaan tersebut adalah untuk melindungi rakyat dari manipulasi polititk oleh partai-partai yang bersaing, sebagaimana praktik yang terjadi di masa lalu dan berakibat ketidakstabilan kehidupan politik serta memicu keresahan sosial. Dengan demikian, politik massa mengambang dimaksudkan untuk mengurangi sebanyak mungkin atau bahkan menghilangkan kemungkinan terulangnya kejadian seperti itu, dengan cara tidak memberikan akses kepada partai politik ke daerah pedesaan. Sebagai gantinya, hanya pemerintahlah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan politik rakyat di tingkat bawah.
Dalam pelaksanaan di lapangan, kebijaksanaan tersebut ternyata telah memberi peluang bagi terjadinya berbagai manipulasi politik walaupun pelakunya sekarang bukan lagi parpol, tetapi justru aparatur negara sendiri. Hasilnya, Golkar menjadi satu-satunya orsospol yang dapat menangguk keuntungan politik dari kebijaksanaan tersebut karena jaringan birokrasi pemerintah berfungsi sebagai mesin mobilisasi politik yang daya jangkaunya jauh sampai di tingkat bawah. Jelaslah, ditinjau dari segi hukum tatanegara, seandainya tidak terjadi manipulasi politik pun yang teramat sulit dibayangkan - kebijaksanaan massa mengambang jelas bertentangan dengan konstitusi karena ia terang-terangan mengebiri atas kedaulatan rakyat, khususnya mengingkari hak dasar politik rakyat yang berpartisipasi secara aktif dalam organisasi politik.
Sementara itu, strategi depolitisasi yang kedua (tak langsung) dijalankan dengan menggunakan berbagai mekanisme, utamanya korporatisasi, kooptasi dan hegemoni ideologi oleh negara. Dengan menggunakan mekanisme korporatisasi, negara mampu melakukan pengawasan yang sistematis dan ketat terhadap kelompok kepentingan (interest groups) yang ada dalam masyarakat, kalau perlu dengan mekukan intervensi langsung ke dalarn organisasi-organisasinya. Korporatisasi baik eksklusioner maupun inklusioner telah diterapkan oleh negara dengan sangat cermatnya sehingga membuat kelompok oposisi hampir tidak mungkin secara terbuka mampu
Reformasi dan Rekomendasi melalui Civil Society 257
menentang pemerintah. Strategi eksklusioner diaplikasikan pada kelompok kepentingan, organisasi sosial dan politik yang dicurigai ingin independen dari negara. Nasib yang dialami oleh NU (Gus Dur), PDI (Megawati), I IKBP (Nababan), SBSI (Pakpahan), dan PRD (Sudjatmiko) merupakan sebagian contoh betapa berhasilnya penerapan strategi eksklusioner tersebut. Hanya dapat dicatat dalam kasus NU, upaya eksklusioner tersebut telah gagal disebabkan karena kecerdikan Abdurrahman Wahid dalam menghadapi manuver-manuver Soeharto. 5
Sementara itu, strategi inklusioner digunakan Orde Baru untuk menyatukan kelompok-kelompok kepentingan yang ada dalam masyarakat ke dalam kerangka kepentingan-kepentingan negara. Strategi ini dipergunakan terutama melalui seleksi perwakilan kelompok kepentingan dalam masyarakat, dan kalau perlu, melakukan intervensi langsung ke dalam persoalan internalnya. Pembentukan berbagai “wadah tunggal” untuk kelompok kepentingan tertentu merupakan pola yang pokok, misalnya KADIN sebagai wadah kelompok industrialis, KNPI sebagai wadah organisasi kepemudaan, FSPSI untuk serikat buruh, HKTI untuk organisasi petani, KORPRI untuk wadah pegawai negeri sipil, dan sebagainya. Pola ini telah mempermudah negara dalam menyatukan kepentingan-kepentingan berbagai kelompok strategis dalam masyarakat. Bersamaan dengan itu, negara selalu dapat melakukan pengawasan, baik melalui intervensi langsung maupun tak langsung ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengangkatan pengurus/pimpinannya.
Mekanisme tersebut di atas dijalin lebih jauh dengan kooptasi dengan tujuan utama menjinakkan elite dari berbagai kelompok sosial dan politik sehingga dapat dijamin bahwa oposisi dan penentangan terhadap kekuasaan pemerintah dapat dikendalikan dan diawasi oleh pemerintah. Jika kita telaah strategi kooptasi ini, maka ternyata ia sangat efektif untuk membelokkan dan mencegah banyak kekuatan oposisi politik yang potensial berkembang untuk menentang negara. Kasus yang paling terkenal adalah dengan dimasukkan dan dikooptasinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) beserta para pemimpinnya dalam pemerintahan sejak didirikannya pada tahun 1991. Dengan memasukkan ICMI ke dalam kerangka kerja
5 Untuk sejumlah analisis tentang manuver Gus Dur menghadapi upaya Orde Baru untuk membungkamnya, lihat misalnya Douglas Ramage, Politics in Indonesia (London: Routledge, 1995); dan A. Schwartz, Indonesia: Nation in Waiting (London: Routledge, 1994).
258 Demokrasi dan Civil Society
pemerintah dan mengkooptasi para pimpinan organisasi ini, pemerintah sekaligus mampu meraih dua keuntungan. Pertama, ia berhasil dalam meredam potensl kritik dari beberapa kelompok Muslim sehubungan dengan kebijakan politik Islam yang dilakukan oleh Orde Baru, dan kedua ia dapat membatasi meluasnya gerakan oposisi di antara kelompok Muslim, Tidaklah heran bahwa banyak sekali tokoh oposan Muslim yang paling berpengaruh tiba-tiba berubah menjadi pendukung utama Orde Baru setelah pihak yang terakhir ini menggunakan politik “kembali ke Islam” sejak era akhir tahun 80-an. Kasus ICMI jelas bukan merupakan satu- satunya strategi kooptasi yang diluncurkan oleh Orde Baru. Strategi yang sama dilakukan juga terhadap kelompok strategis lainnya pada era 70-an. Paling menonjol di antaranya adalah munculnya kelompok intelektual yang mendirikan CSIS (Center for Strategic and International Studies), sebuah think- tank yang didirikan oleh Jenderal Ali Moertopo dam Sudjono Humardani yang juga merupakan arsitek utama dari Orde Baru.
Dalam perkembangannya, politik depolitisasi Orde Baru telah meluluh-lantakkan jalan menuju demokrasi. Untuk pertama kali sejak berakhirnya masa penjajahan kolonial, bangsa Indonesia secara legal dan sistematik dikurangi hak-hak dasarnya, terutama hak untuk ikut berpartisipasi dalam arena politik. Selain itu Orde Baru juga telah membatasi hak-hak dasar banyak kelompok atau golongan masyarakat seperti kelas pekerja, kelompok mahasiswa, kaum pemuda, kaum perempuan dan lain-lain dengan cara membatasi ruang gerak mereka dalam hal menggunakan hak berserikat secara mandiri. Lebih buruk lagi, politik depolitisasi telah secara semena-mena menyebabkan terjadinya pem-bonsai-an civil society Indonesia. Artinya, civil society Indonesia menjadi tetap tidak berkembang dan tidak mampu mengimbangi kekuasaan negara baik dalam hal perkembangan ekonomi maupun perubahan masyarakat dalam tiga dekade terakhir. Bukan saja civil society menjadi korban dari campur tangan negara, tetapi ia juga menderita karena bahaya yang timbul dari konflik internal dan terpecah belahnya elemen-elemen mereka karena favoritisme yang ada di dalamnya. Yang terakhir terjadi terutama karena dengan korporatisasi dan kooptasi, maka banyak kelompok kepentingan lantas mudah tergoda untuk mempergunakan alat identitas primordial dalam rangka tnendapatkan akses ke dalam pemerintahan agar kepentingan mereka diperhatikan. Dengan demikian, kendatipun Orde Baru secara resmi telah mengumumkan komitmen terhadap Pancasila
Reformasi dan Rekomendasi melalui Civil Society 259
sebagai satu-satunya azas untuk semua kegiatan organisasi politik maupun sosial, pada kenyataannya kelompok-kelompok atau elemen-elemen civil society Indonesia menjadi terfragmentasi dan, pada gilirannya, membuka jalan ke arah sektarianisme dan primordialisme.
Kecenderungan sektarian inilah yang membawa dampak pemiskinan budaya politik Indonesia. Hal ini terutama terlihat dalam hal melunturnya scmangat tanggung jawab dan kepercayaan publik (public trust and responsibility). Lebih-lebih, dengan makin kuatnya cengkeraman kekuasaan dan intervensi negara atas kehidupan publik maka tradisi otonomi yang telah pernah ada di antara kelompok-kelompok masyarakat mengalami kemerosotan dengan cepat. Berkurangnya otonomi ini, pada gilirannya, menimbulkan penurunan rasa tanggung jawab publik di satu pihak, dan tumbuhnya sifat apatis pada politik di pihak lain serta kurangnya kreativitas politik dan perasaan putus asa yang menyeluruh di antara anggota masyarakat, terutama di tingkat akar rumput. Kualitas budaya politik seperti ini secara keseluruhan menjadi salah satu penyebab utama lemahnya perkembangan hubungan sosial dan kelangkaan alternatif- alternatif dalam kehidupan politik. Negara lantas dipandang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai suatu kekuasaan yang “maha kuasa” dan berada di mana-mana. Malangnya, negara sendiri mempertontonkan cara berkuasa seperti itu sehingga malah memperkuat pandangan politik yang sudah rusak tersebut. Kepercayaan bahwa negara atau pemerintah yang berkuasa yang lebih tahu, sedangkan bahwa rakyat sangat awam dalam hal politik ditanamkan kepikiran rakyat sebagai suatu strategi yang disebarluaskan dalam wacana publik seperti pidato atau ceramah-ceramah yang diadakan untuk pendidikan politik. Salah satu akibatnya ialah adanya semacam kondisi mati rasa dalam diri masyarakat yang menghambat mereka untuk bereaksi secara wajar dan cepat meskipun dalam situasi yang makin terpuruk.
Erosi kepercayaan masyarakat menciptakan atomisasi politik diantara individu dan kelompok. Gejala ini dapat dilihat pada tipisnya partisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat dan, sebaliknya, menguatnya komitmen terhadap pemuasan kepentingan pribadi. Karakter lain yang menonjol adalah kurangnya penghargaan kepada institusi sosial, terutama yang berhubungan dengan aturan hukum sehingga rakyat mau mengorbankan proses dan prosedur demokrasi untuk mendapatkan hasil secara cepat.
260 Demokrasi dan Civil Society
Penggunaan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dan proses politik merupakan salah satu contoh dan tidak adanya kepercayaan masyarakat. Sayangnya kecenderungan mempergunakan kekerasan sebagai alat politik di Indonesia kenyataannya tidak hanya merupakan monopoli negara. Bahkan di kalangan apa yang disebut unsur prodemokrasi ada kecenderungan kuat untuk memaafkan penggunaan kekerasan yang terurai dalam pidato-pidato seminar dan lain-lain serta dalam praktik. Kekerasan yang ditunjukkan di Yogyakarta, Lampung dan Surabaya selama demo menunjukkan adanya ke-cenderungan tersebut tak peduli apa saja yang menjadi penyebab kekerasan itu.
Sangatlah logis bahwa ketiadaan otonomi dan kecilnya tanggung jawab dan kepercayaan masyarakat merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya praktik-praktik yang bertentangan dengan HAM. Praktik kekerasan ini terutama dilakukan oleh aparat pemerintah di samping beberapa kelompok di masyarakat. Ketiadaan pengawasan atas apayang yang dilakukan oleh masyarakat melalui organisasi sosial serta politik maupun kelompok-kelompok penekan semakin menambah tingkat kekerasan mereka. Institusi sosial dan politik yang sudah tidak berfungsi seperti DPR, DPRD, MA, partai politik, organisasi keagamaan dan sebagainya, adalah akibat langsung dari depolitisasi. Menurut Dr. Nihon ingi dari LIPI, DPR sudah tidak berfungsi lagi seperti “Dewan Perwakilan Rakyat” akan tetapi “Dewan Perwakilan Rezim” karena kelemahan dan rendahnya tingkat kemandirian lembaga ini. Hal yang juga terjadi dengan Mahkamah Agung (MA), lembaga pengadilan tinggi Indonesia. MA telah menjadi target kritik masyarakat karena kegagalannya dalam menunjukkan kemandiriannya dan kemampuannya sebagai benteng keadilan di negeri ini. Malahan, MA telah membuat beberapa peraturan yang cenderung berpihak kepada Pemerintah dalam beberapa kasus kontroversial seperti Kedung Ombo, Tempo, dan kasus Ohee. Selain itu ada kecurigaan tentang adanya kolusi di antara anggota MA yang tentunya akan menggerogoti kepercayaan publik atas integritas mcreka.
Akhirnya, politik depolitisasi telah terjadi dengan dukungan konsensus dari masyarakat atau, dalam istilah Gramscian, hegemoni negara. Proyek hegemoni ini digelar melalui pidato, seminar dan lain-lain yang berisi tema-tema seperti modernisasi, pembangunan, kestabilan dan keunikan nilai-nilai bangsa, dan sebagainya. Tujuan pcnciptaan konsensus
Reformasi dan Rekomendasi melalui Civil Society 261
itu adalah untuk memobilisasi dukungan masyarakat dan menghindarkan penggunaan represi yang berlebihan dalam mempertahankan legitimasi negara. Pelaksanaan politik masa mengambang, misalnya, telah diterapkan melalui diskusi, pidato politik, dan analisa ilmiah sehingga dapat diterima dengan konsensus rakyat. Contoh lain adalah apa yang disebut dengan keunikan nilai-nilai Asia mau Indonesia yang direproduksi oleh kelompok elite sebagai suatu alat untuk memobilisasi dukungan untuk menolak tuntutan penerapan secara penuh deklarasi universal hak-hak asasi manusia (DUHAM). Dengan mengembangkan gagasan relativisme kebudayaan, pemerintah telah membela pemikiran bahwa norma-norma yang terkandung dalam DUHAM mengambil dasarnya dari nilai-nilai Barat yang asing bagi Bangsa Indonesia. Karena itu keharusan menerapkan konsep hak asasi manusia sesuai dengan nilai-nilai Bangsa Indonesia seperti konsep kewajiban lebih penting ketimbang hak, kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, kepatuhan di atas oposisi, dan hak ekonomi di atas hak-hak politik dan lain-lain menjadi dasar pemahaman Orde Baru tentang HAM.
Tidak mengherankan bahwa kritik atas pelaksanaan HAM manusia pada masa Orde Baru menghadapi tantangan dari negara dengan alasan tidak relevan atau kebarat-baratan. Misalnya tuntutan atas perluasan kebebasan pers, kebebasan berserikat bagi kaum buruh, dan penghapusan kebijaksanaan politik massa mengambang dianggap sebagai tidak relevan dan di luar rambu-rambu. Permintaan yang demikian hanya cocok dalam konteks sosial dan politik Barat, dan kalau itu diterapkan di Indonesia dianggap tidak sesuai. Pandangan dan sikap berstandar ganda terhadap Barat bukan hanya berlaku di kalangan terbatas di antara kalangan elite kekuasaan. Sebaliknya hal ini sudah disebarluaskan di kalangan masyarakat melalui sekolah-sekolah, program penataran, media massa dan forum publik. Mereka yang mendukung DUHAM akan dicap sebagai penganut paham liberal atau orang-orang yang kebarat-baratan yang agenda politik dan tujuan jangka panjangnya harus diwaspadai. Mereka otomatis akan dikategorikan dalam kelompok oposisi yang akan mengganggu sistem politik yang ada berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Padahal, dalam wacana politik Orde Baru tidak dikenal apa yang disebut kelompok oposisi.
Dari diskusi di atas, maka menjadi jelas mengapa proses demokrasi di negeri ini tidak pernah mengalami kemajuan berarti selama tiga dekade
262 Demokrasi dan Civil Society
ini. Perkembangan kehidupan demokrasi telah dihambat karena politik depolitisasi yang ada telah hidup demikian lama tanpa hambatan yang cukup berarti. Karena itu salah satu agenda terpenting dari demokm.
tisasi di Indonesia adalah menghilangkannya dari format politik baru, sehingga rakyat Indonesia mampu untuk memulai mengembangkan diri sebagai aktor politik asli yang mampu mempengaruhi proses politik. Dengan menghilangkan format politik demikian, pemberdayaan civil society dimungkinkan karena hal ini akan menegaskan pengembangan asosiasi dan organisasi yang otonom di masyarakat yang merupakan unsur pokok demokrasi.