Distorsi dalam Pengembangan Civil society

Distorsi dalam Pengembangan Civil society

Tampaknya telah menjadi kesepakatan di kalangan pengamat dan politik Indonesia, bahwa Orde Baru telah muncul sebagai suatu politik yang memiliki ciri-ciri khas yang membedakan dirinya dengan rezim-rezim politik sebelumnya di Indonesia. Salah satunya yang terpenting adalah munculnya negara sebagai aktor dominan dalam menentukan pengelolaan

sosial, ekonomi dan politik. 10 Sedemikian besarnya wilayah pengaruh (sphere of influence) negara itu, sehingga kecenderungan yang terjadi selama lebih

dari dua dasawarsa di bawah Orde Baru adalah semakin melemahnya dan tergantungnya masyarakat terhadap negara. Hal ini pada gilirannya telah membuat perkembangan civil society di Indonesia pun mengalami distorsi- distorsi dan cenderung semakin melemah. Negara telah ada tanda-tanda akan mereda. Hal ini dilakukan bukan saja lewat jaringan-jaringan patron- klien, korporatis negara dan institusionalisasi sosial politik, tetapi juga lewat hegemoni ideologi. Pada hemat penulis, lebih dari negara otoriter- birokratis 11 yang dikenal di Amerika Latin dan beberapa negara Asia, negara di bawah Orde Baru telah sukses melakukan mobilisasi ideologi sehingga mampu melakukan penetrasi pada tingkat makna ( signification) di dalam

10 Tentu saja terdapat beberapa perbedaan dalam menjelaskan sifat dan proses munculnya negara sebagai kekuatan dominan di bawah Orde Baru serta permasalahan yang dihadapinya. Namun demikian, penulis melihat adanya kesamaan pandangan mengenai posisi negara yang mengatasi masyarakat ini. Lihat diskusi-diskusi tentang negara Orde Baru dalam B. Anderson dan A. Kahin (eds.) Interpreting Indonesian Politics Thirteen Contributions to the Debate. Cornell Modern Indonesia Project, 1982; M. Mas’oed, The Indonesia Economy and Political Structure during the Early New Order 1966-1971. Disertasi Ph.D. The Ohio State University, 1983; “The State reorganisation of society under the New Order,” Prisma, 47, 1990; P. James, “State Theories and New Order Indonesia”, dalam A. Budiman, (ed.), State, op. cit., 1990.

11 Diskusi mengenai negara otoriter-birokratis (OB) telah banyak dilakukan. Untuk aplikasi kasus Indonesia, lihat D. King, “Indonesia’s New Order as a Bureaucratic Polity, a Neopatrimonial Regime or a Bureaucratic Authoritarian Regime: What Different Does It

Cendekiawan dan Pemberdayaan Civil Society 213

masyarakat, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Civil society, yang mengandaikan adanya tingkat otonomi yang tinggi termasuk pada tingkat

yang disebut Habermas sebagai lifeworld, 12 dengan demikian senantiasa dalam bayang-bayang ancaman kolonialisasi lifeworld dari negara.

Sementara itu, proses modernisasi dan pembangunan yang secara intensif terjadi selama seperempat abad ini, telah dan sedang menciptakan

perubahan-perubahan struktural yang cukup mendasar di masyarakat yang arahnya masih sulit untuk diperkirakan. Salah satu hasil dan penetrasi dan akumulasi kapital selama ini (terutama dalam bentuk industrialisasi) adalah terjadinya proses urbanisasi yang luar biasa dan berakibat jauh pada proses pembentukan sosial yang baru dalani masyarakat. Eksplorasi tenaga kerja yang terjadi selama dua dasawarsa ini, misalnya saja, mau tidak mau secara bertahap akan melahirkan lapisan kelas pekerja baru yang ciri dan perilakunya belum ditemui sebelumnya. Dibandingkan dengan para pekerja sebelum masa Orde Baru, maka para pekerja baru ini pada hakikatnya muncul sebagai respon terhadap proses ekonomi yang berorientasi industri dengan teknologi yang semakin canggih. Tak heran apabila kelas pekerja Indonesia mengalami fragmentasi yang tinggi antara mereka yang memiliki tingkat pendidikan dan keahlian yang relatif tinggi dengan mereka yang

berpendidikan dan berkeahlian rendah. Selain itu, mengikuti Wallerstein, 13 sebagai hasil dari proses inkorporasi intensif ke dalam sistem kapitalis

global, kelas pekerja itu pun memiliki ciri dan orientasi-orientasi berbeda

Makes?” Dalam B. Anderson dan A Kahin (eds.), Interpreting. op. cit., 1982, pp. 104-16; M. Mas’oed, The Indonesian, op. cit., 1983; H. Kuntjoro-Jakti, External Coalition of the Bureaucratic Authoritarian State in Indonesia . Disertasi Ph.D. University of Washington, Seatle, 1988. Menurut hemat penulis, negara pada Orde Baru tidak begitu saja bisa dikategorikan sebagai negara OB, tetapi jauh lebih kuat dan mendalam justru karena penetrasi ideologisnya dalam masyarakat yang membuatnya lebih stabil dalam jangka panjang.

12 Hal ini terutama akan terjadi apabila monopoli interpretasi ideologis oleh negara cenderung mematikan kemampuan interpretif dari elemen-elemen dalam civil society. Yang terjadi lalu adalah krisis lifeworld yang tampil dalam bentuk-bentuk alienasi dan kecenderungan eskapisme, apatisme, dan fundamentalisme. Konsepsi filosofis tentang lifeword, dipaparkan oleh Juergen Habermas dalam Theory of Communicative Action, Vol. 1, Boston: Beacon Press, 1983. (lihat catatan no 21 di bawah). Untuk analisis tentang krisis lifeworld pada masyarakat kapitalis mutakhir, lihat pengarang yang sama dalam Legitimation Crisis. Boston: Beacon Press, 1975. Tentang kaitan antara otonomi lifeworld dan civil society, lihat A. Arato, dan J. Cohen (eds.). Civil society, op. cit., 1993, terutama Bab IX dan X.

13 I. Wallerstein, The Politics of Capitalist World-Economy . Cambridge: University of Cambridge Press, 1984.

214 Demokrasi dan Civil Society

dengan kelas pekerja yang lama. Kaum pekerja di negara-negara kapitalis pinggiran seperti Indonesia menjadi lebih tergantung kepada, dan pada

saat yang sama sensitif terhadap sistem pembagian kerja dan fluktuasi ekonomi global serta memiliki orientasi kosmopolitan yang lebih besar. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan di satu pihak tingkat mobilitas mereka pun menjadi semakin tinggi, tapi di pihak lain tingkat kerekatan dan solidaritas kelas mereka cenderung lebih cair.

Pada sisi pembentukan sosial yang lain, kelompok petani di pedesaan mengalami dislokasi-dislokasi yang semakin meluas sebagai akibat bias pembangunan ekonomi pedesaan, yang ternyata juga membawa dampak berupa percepatan proses marginalisasi petani kecil atau mereka yang tan bertanah, meskipun program-program seperti revolusi hijau dan sebagainya secara kuantitatif telah meningkatkan produktivitas pertanian. Tambahan lagi, kecenderungan pembangunan pertanian yang lebih mementingkan pertumbuhan telah ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses migrasi dalam skala massif dari wilayah pedesaan karena semakin melemahnya

jaminan sosial tradisional (traditional social guarantee) di wilayah pedesaan. 14 Upaya-upaya untuk memperkecil tingkat migrasi dari desa ke kota dengan berbagai rintisan usaha industri pedesaan, baik oleh pemerintah maupun LSM-LSM, tampaknya masih belum mampu mengerem secara sistematik. Akibat struktural yang langsung adalah semakin membesarnya jumlah pekerja yang memiliki tingkat keahlian rendah, yang kemudian pindah dan membentuk semacam lumpen-proletariat class di kota-kota besar.

Kebijakan politik yang ditempuh oleh negara dalam rangka menciptakan dan mempertahankan stabilitas politik yang kokoh, sengajaatau tidak, telah memperlemah kekuatan tawar-menawar, aspirasi dan partisipasi politik dari kelompok-kelompok massa bawah yang sebenarnya paling membutuhkan. Strategi korporatisme negara dan depolitisasi massa bawah yang diterapkan selama ini pada satu sisi memang telah membantu tercapainya stabilitas politik yang berusia panjang. Pada sisi lain, kebijakan itu membawa dampak negatif yakni munculnya massa politik diam dengan kecenderungan atomistik, eksplosif, dan sulit diprediksi arahnya. Dalam

14 Misalnya kelangkaan kerja yang diakibatkan oleh rasionalisasi dan mekanisasi dalam pengelolaan pertanian. Tentang menghilangnya jaminan sosial ini, lihat J. Scott, The Moral Economy of the Peasant: Subsistence and Rebellion in Southeast Asia, New Haven: Yale University Press, 1976.

Cendekiawan dan Pemberdayaan Civil Society 215

jangka panjang, baik negara maupun masyarakat akan dirugikan oleh gejala politik seperti ini. Negara akan terpaksa mengandalkan pendekatan- pendekatan keamanan tanpa batasan waktu yang jelas dalam upaya memantau dan mengawasi kondisi politik massa. Sementara itu, di pihak masyarakat, proses pendewasaan politik (political maturity) akan sulit terjadi. Pertumbuhan civil society yang otonom pun tak pelak lagi akan sangat dipersulit oleh gejala massa politik diam ini, karena wilayah publik menjadi tidak mampu berkembang.

Dalam pada itu, di bawah Orde Baru, pertumbuhan kelas menengah yang dalam tradisi Barat merupakan sokoguru dari civil society yang mandiri, masih belum menunjukkan bahwa ia akan muncul sebagaimana yang

terjadi di negara kapitalis maju. 15 Padahal, tumbuhnya kelas menengah yang mandirilah yang antara lain mendorong berkembangnya ide praktik-praktik pembatasan kekuasaan negara, jaminan rule of law dan representasi politik, kebebasan berpendapat dan hak-hak sipil yang kemudian diperjuangkan bersama-sama masyarakat kelas bawah yang memiliki kepentingan yang sama. 16

Di Indonesia, setidaknya ada dua sebab yang bersifat struktural yang membuat perkembangan kelas menengah, terutama elemen borjuasinya, tampak belum mampu untuk menjadi kelas yang solid dan menjadi katalisator bagi tumbuhnya civil society yang mandiri. Pertama, secara historis struktural, kelas borjuasi Indonesia modern terbentuk lebih sebagai akibat dari penetrasi kapitalis internasional ketimbang muncul seperti, misalnya,

kelas borjuasi dalam tradisi Inggris. 17 Kedua, seperti ditunjukkan oleh

15 Lihat B. Moore, Social Origin of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World. Boston: Beacon Press, 1966, Mengenai kendala-kendala struktural yang dihadapi kelas menengah di Indonesia, lihat A. Budiman, “Agama, Demokrasi dan Keadilan.” Dalam M. Aziz, et. al (eds.). Agama, Demokrasi dan Keadilan, Jakarta: Gramedia, 1993, hal. 18-29.

16 Mengenai peran massa bawah dalam gerakan pro-demokrasi seperti pada Revolusi Perancis, lihat G. Rude, The Crowd in the French Revolution. New York: Harper, 1963; S. Schama, The French Revolution. New York: Vintage, 1989. Tentang proses tumbuhnya kelas pekerja sebagai kekuatan politik mandiri, lihat E.P. Thompson, The Making of the English Working Class in the Nineteenth Century. New York: Vintage, 1963.

17 Mengenai munculnya kelas menengah Inggris yang independen, lihat B. Moore, Social Origin, op, cit., 1966. Tentang pengaruh kapitalis transnasional terhadap munculnya kelas borjuis Indonesia yang khas, lihat misalnya F. Bulkin “Kapitalisme, Golongan

216 Demokrasi dan Civil Society

Robinson, 18 ketika terjadi proses pembentukan kelas borjuasi nasional pascakolonial, yang terjadi adalah kemunculan kelas borjuasi nasional yang

dimonopoli oleh kelompok nonpribumi (Cina). Yang terakhir ini, dalam perjalanan sejarah sering mengalami stigma sosial, politik dan kultural ketika berhadapan dengan kelas borjuis pribumi, yang pada gilirannya ikut bertanggung jawab atas ketergantungan kelompok ini terhadap proteksi negara. Sementara itu, kaum borjuis pribumi pun belum berhasil muncul sebagai tulang punggung kekuatan kelas menengah yang mandiri dan percaya diri. Yang terjadi adalah pertumbuhan distortif dan terpecah sehingga ia cenderung untuk tetapk kecil secara kuantitas dan lemah dalam posisi tawar-menawar sehingga ia pun tetap tergantung pula kepada proteksi negara.

Pada saat Orde Baru muncul dan melakukan mobilisasi sosial untuk proses akumulasi kapital, tak pelak lagi, kelompok kapitalis nonpribumilah yang terutama sudah cukup siap sehingga mendapatkan dukungan- dukungan dari kelompok strategis negara. Kebijakan ini dimabil bukan tanpa risiko, yaitu semakin kuatnya potensi konflik kepentingan dengan kelompok kapitalis pribumi. Upaya-upaya untuk memperkuat yang belakangan ini dengan meningkatkan proteksi-proteksi dan memberikan kemudahan-kemudahan, subsidi-subsidi dan sebagainya sampai sekarang masih belum kelihatan mampu mengatasi kesenjangan historis-struktural di atas. Harus diingat bahwa upaya-upaya protektif semacam itu akan sangat ditentukan oleh tingkat stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, sehingga ketika imperatif ekonomi dunia memaksa terjadinya penyesuaian-penyesuaian struktural dalam ekonomi nasional, maka proteksi-proteksi dan regulasi-regulasi yang menguntungkan kelompok pribumi tidak harus segera ditinggalkan. Tampaknya masih harus dikaji secara serius apakah kebijakan-kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang diambil oleh pemerintah telah dan akan berdampak positif dalam penguatan kelompok kapitalis pribumi yang diharapkan mampu mengimbangi kelompok nonpri yang telah lebih dulu berkembang.

Menengah dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian. Prisma, XIII, 2, Februari, 1984; dan “Nasib Publik dalam Sebuah Republik.” Prisma, XIV, 5, 1985, hal. 12-37; R. Robinson, Indonesia: The Rise of Capital, Sydney: Allen & Unwin, 1986.

18 R. Robinson, Indonesia, op. cit., 1986.

Cendekiawan dan Pemberdayaan Civil Society 217

Perubahan struktural selama dua dasawarsa ini pun, sampai tingkat tertentu, telah mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok profesional dalam masyarakat. Kendati demikian, kelompok yang seharusnya menjadi salah satu pemain utama dalam proses perkembangan kelas menengah ini ternyata belum bisa berbuat banyak. Kendala-kendala struktural dan kultural yang dihadapi oleh kaum profesional di Indonesia, telah seringkali menghambat kemampuan-kemampuan kreatif dan eksploratif mereka. Kecenderungan-kecenderungan teknokratis dan birokratis sebagai konsekuensi-konsekuensi dari paradigma modernisasi yang dipilih, telah

ikut bertanggung jawab bagi mutu profesionalisme 19 yang dipilih sebagai strategi penyaluran dan representasi kepentingan-kepentingan strategis

di Indonesia telah mengakibatkan terancamnya wilayah-wilayah bebas di kalangan kaum profesional Indonesia.

Akhirnya, satu hal yang penting untuk disinggung adalah kondisi lifeworld 20 dalam masyarakat Indonesia selama lebih dari dua dekade di bawah Orde Baru ini. Tak dapat disangkal bahwa modernisasi, terutama percepatan pembangunan ekonomi, telah pula membawa dampak atas struktur makna (meaning structure) di masyarakat. Modernisasi bagaimanapun akan menciptakan diferensiasi pada tingkat signifikasi dengan semakin terdesaknya nilai-nilai dan sistem-sistem makna primordial dan tradisional. Salah satu asumsi dasar paradigma modern adalah bahwa akselerasi pembangunan ekonomi akan dengan serta merta membawa masyarakat tradisional menuju kepada modern yang salah satu indikasinya adalah munculnya apa yang disebut civic culture. Yang terakhir inilah yang dianggap menjadi landasan kultural bagi munculnya suatu tatanan masyarakat demokratis dan politik partisipatoris seperti yang terjadi di Barat.

19 Tentang korporatisme negara dan dampaknya di masyarakat kapital pinggiran, lihat J. Malloy, Authoritarianism and Corporatism in Latin America. Pittsburgh: University of Pittsburg, 1977; A. Stepan, The State and Society: Peru in Comparative Perspective. Princeton University Press, 1978. Korporatisme negara antara lain telah mengakibatkan sulit berkembangnya kekuatan-kekuatan mandiri di luar jaringan kooptasi dan mobilisasi negara termasuk kelompok profesional.

20 Lihat J. Habermas, Theory, op.cit., 1981. Lifeworld secara sederha dapat didefinisikan sebagai sosial yang telah terbentuk dalam tradisi, kebudayaan bahasa yang dikomunikasikan dalam praktik keseharian dalam komunitas. Ia mencakup khazanah pengetahuan (stock of knowledge), sumber keyakinan-keyakinan (reservoir of convictions), solidaritas dan kemampuan- kemampuan yang dimiliki dan digunakan secara otomatis oleh para anggota komunitas.

218 Demokrasi dan Civil Society

Pandangan linier dan monolitik atas sejarah yang demikian tentu saja telah banyak dikritik. Untuk kasus Indonesia, pembangunan ekonomi diiringi pula dengan upaya-upaya sistematik bagi restrukturisasi politik dan ideologis. Di masyarakat, modernisasi juga telah semakin pasti mencairkan ikatan-ikatan primordial dan relativisasi nilai-nilai selama ini dianggap sakral dan absolut. Meskipun demikian, terdapat semacam antimoni dalam proses ini. Di satu pihak, pada tingkat politik ideologi formal secara relatif, negara relatif telah sukses melakukan proyek restruk turisasi ideologi dan politik, yang terlihat dalam penyederhanaan sistem kepartaian, mekanisme lima tahun, dan penyelesaian masalah ideologi dengan asas tunggal dan seterusnya. Pada sisi lain, dalam masyarakat muncul kecenderungan-kecenderungan yang oleh sementara pihak disebut sebagai gejala sektarianisme fundamentalisme, dan gerakan -gerakan berorientasi kedaerahan.

Antinomi semacam itu mengindikasikan antara lain bahwa terjadi krisis-krisis, baik sistematik maupun lifeworld di masyarakat modern dan rasional. Ide-ide dasar seperti kebangsaan (nasionalisme), kedaulatan rakyat (demokrasi), keadilan sosial, dan kemanusiaan, baru dipahami secara legal-formalistik sementara pada tingkat antara teori dan praksis. Reaksi-reaksi masyarakat bawah akhir-akhir ini, yang cenderung spontan, sporadis, dan kadang-kadang melalui kekerasan (violence) menyiratkan masih besarnya kesenjangan tersebut terutama ketika persoalan-persoalan dasar seperti perlindungan hak asasi, jaminan distribusi ekonomi yang adil, dan jaminan kebebasan berpendapat tak dapat diselesaikan lewat pranata legal dan politik yang ada. Demikian pula metode “penyelesaian” masalah yang dipakai untuk pihak keamanan negara, yang masih menyukai pendekatan keamanan ketimbang persuasi, menunjukkan masih adanya kekurangyakinan terhadap kemampuan pranata-pranata politik dan hukum yang ada untuk menyelesaikan masalah, serta masih lebarnya kesenjangan antara keberadaan pranata hukum dan politis yang ada dengan kapasitas interpretif dari para pelaksananya.

Dari pemaparan di atas, maka permasalahan-permasalahan sekitar lifeworld dan sistem, dalam pengertian yang dipakai Habermas dan Arato, 21

21 Dengan sistem di sini, yang dimaksud adalah terutama politik (state) dan ekonomi (kapitalis mutakhir). Untuk menghindari salah pengertian, perlu ditekankan bahwa pendekatan sistem Habermas, dan yang kemudian dikem bangkan lebih jauh oleh Arato dan Cohen dalam memahami civil society, berbeda dengan pendekatan sistem ala Parsons.

Cendekiawan dan Pemberdayaan Civil Society 219

akan menjadi salah satu agenda pokok bagi upaya penguatan civil society menuju masyarakat dernokrasi. Pada titik inilah, menurut hemat penulis, wacana tentang cendekiawan dan perannya di negeri kita tampaknya perlu

difokuskan.