Redemokratisasi oleh Elite dalam Rezim Otoriter
Redemokratisasi oleh Elite dalam Rezim Otoriter
Seperti dikemukakan di muka, maka redemokratisasi dimungkinkan setelah beberapa tokoh elite dalam rezim otoriter (militer ataupun sipil) berusaha membuka jalan bagi kembalinya pranata-pranata demokrasi. Keputusan untuk go democracy itu akhirnya muncul setetah melalui perhitungan kelompok elite, bahwa kepentingan-kepentingan jangka panjang mereka akan lebih terjamin bila diperjuangkan lewat lingkungan politik yang demokratis. 65 Kasus yang terjadi di Argentina atau Korea Selatan misalnya, mendekati model ini. Di kedua negara itu, rezim militer berusaha membuka jalan bagi proses demokratis karena desakan -desakan dari kelompok elite mereka sendiri. Kemenangan Alfonsin di Argentina setelah perang Malvinas dan berkuasanya Roh Tae Wo setelah mundurnya Chun Do Hwan dapat dilihat dari model ini.
Pada model seperti ini, maka ada beberapa titik kelemahan. 66 Pertama, adanya kemungkinan yang selalu terbuka bagi penghentian proses redemokratisasi dari pemegang kekuasaan karena situasi yang muncul setelah keterbukaan itu ternyata dianggap terlampau mahal untuk
65 A. Stepan, Paths, op. cit., hal. 65-66. 66 Ibid
44 Demokrasi dan Civil Society
ditanggung. Kedua, karena sebenarnya redemokratisasi itu lebih ditujukan untuk menjamin kelangsungan kepentingan elite, maka bisa jadi bahwa peluang bagi demokrasi itu hanya diberikan secara terbatas. Ketiga, kemungkinan bahwa aparat keamanan dari rezim otoriter terus melakukan usaha-usaha untuk mempertahankan hak-haknya tetap ada dan ini akan mengganggu proses tersebut.
Pada kasus redemokratisasi yang dipelopori oleh elite sipil dalam rezim otoriter, maka desakan-desakan untuk melakukan perubahan timbul dari setidaknya tiga hal. Pertama, karena semakin kuatnya desakan dari bawah atau kelompok pendukung rezim lainnya disebabkan tuntutan- tuntutan ekonomi dan politis yang kuat. Kedua, karena se makin kuatnya krisis legitimasi terhadap elite itu sendiri. Ketiga, karena adanya keyakinan dari elite penguasa bahwa mereka bisa mempertahankan kekuasaan lewat pemilihan, sehingga mereka rela membuka peluang ke arah redemokratisasi.
Ancaman bagi proses redemokratisasi elite sipil ini datang dari kelompok militer sebagai lembaga yang khawatir akan terjadinya kemerosotan kekuasaan. Ini disebabkan adanya kekhawatiran bahwa kontrol atas militer pun akan diperkuat dalam redemokratisasi nanti, sehingga akan melenyapkan privilese-privilese yang semula dinikmati di bawah rezim otoriter
Bila redemokratisasi itu datang dari elite militer yang sedang berkuasa, maka biasanya ini muncul dari pribadi-pribadi kepemimpinan militer. Kasus Brazil pada 1974 merupakan contoh. Dalam strategi ini, jelas diperlukan
munculnya figur-figur militer yang berwibawa serta tumbuhnya kekuatan sipil pendukungnya yang semakin besar. Ini disebabkan karena militer sebagai lembaga sering curiga bahwa proses redemokratisasi nanti akan mengurangi kepentingan-kepentingannya. Jika demikian, maka mungkin sekali pihak militer sebagai lembaga akan bergerak menghalang-halangi
pemimpin mereka melakukan transformasi. Jika dukungan dari pihak sipil kurang kuat, maka kemungkinan redemokratisasi yang dirintis oleh tokoh militer ini pun akan meng _ hadapi rintangan berat
Jika militer sebagai lembaga sendiri yang menghendaki adanya demokratisasi, maka menurut Stepan, ini merupakan pilihan terbaik bagi Dunia Ketiga. Militer sebagai lembaga pada suatu waktu bisa jadi menginginkan redemokratisasi karena rezim otoriter yang didukungnya
Negara Birokratik Otoriter dan Redemokratisasi 45
mulai menunjukkan gejala-gejala membatasi ruang gerak dan kepen- tingannya. Tetapi kasus seperti ini bukannya tak mengandung kele mahan. Sebab, proses redemokratisasi seperti ini juga menghendaki dukungan kuat dari civil society. Sayang sekali di Dunia Ketiga tidak ada, karena kuatnya pengaruh rezim otoriter.
Secant ringkas dapatlah dikatakan bahwa proses redemokratisasi dengan strategi (elite) ini, mirip dengan apa yang disebut oleh Barrington Moore dan Trimberger 67 sebagai revolusi dari atas. Redemokratisasi semacam ini hanya mungkin berhasil dalam jangka panjang bila ada keutuhan dan kesatuan koalisi dari militer, kelas borjuis, dan birokrat. Karena itu, strategi top-down ini malahan sering mengasingkan partisipasi massa. Kegagalan mempertahankan koalisi inilah yang akhirnya membawa kehancuran percobaan-percobaan demokratisasi di Amerika Latin. Di wilayah ini, kelompok elite militer dan sipil tidak pernah berhasil mempertahankan infrastruktur politik dalam jangka waktu yang cukup lama karena lemahnya koalisi tersebut.
Redemokratisasi dari Kekuatan Oposisi
Dari sumber ketiga, Stepan melihat ada empat macam strategi menuju redemokratisasi. 68 Pertama, adalah kekuatan oposisi yang dibuat oleh
rakyat untuk menentang rezim otoriter. Kekuatan semacam ini muncul dari lapisan bawah (grass roots), seperti misalnya protes mahasiswa, pemogokan- pemogokan buruh, protes petani, dan sebagainya. Kelemahan strategi seperti ini adalah bahwa ia biasanya hanya menimbulkan pergantian kepemimpinan dalam rezim saja, tanpa disertai perombakan total menuju rezim yang demokratik. Gerakan-gerakan lapisan bawah mungkin saja berhasil menciptakan krisis-krisis bagi pemerintahan. Tetapi di Dunia Ketiga, hal ini umumnya hanya akan memperkuat posisi militer sebagai lembaga dalam politik.
Strategi kedua dari pihak oposisi ini adalah proses redemokratisasi yang lahir dari pakta dan koalisi partai-partai yang menentang rezim
67 Lihat B. Moore, Social Origin Dictatorship and Democracy: Lord and Peasants in the Making of the Modern World. Boston: Beacon Press, 1966; dan A Trimberger, “A Theory of Elite Revolutions.” Dalam J. Goldstone (ed.), Revolutions: Theoretical, Comparative and Historical Studies. San Diego: Harcourt B. Jovanovich, 1986.
68 A. Stepan, Paths, op. cit.
46 Demokrasi dan Civil Society
otoriter. Pakta partai-partai oposisi ini diupayakan sebagai strategi menumbangkan gkan rezim otoriter untuk membuka peluang bagi rezim demokratis yang akan dibuat setelah itu. Jika strategi ini sukses, ia memang
lebih berkekuatan transformatif ketimbang yang pertama tadi, karena ia jelas didukung secara luas oleh kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat. Tentu saja ada beberapa syarat agar pakta yang dibuat oleh partai-partai oposisi tersebut efektif. Menurut Stepan, paling kurang ada dua syarat utama yang harus dipenuhi. Pertama, adanya kepemimpinan koalisi yang memiliki kapasitas organisatoris dan ideologis yang memadai untuk menciptakan koalisi yang besar di antara partai-partai antirezim otoriter. Kedua, adanya kepatuhan dan kesetiaan yang kuat dari para pengikut koalisi terhadap pakta tersebut.
Kasus di Chile akhir-akhir ini merupakan contoh keberhasilan stra tegi ini. Partai-partai koalisi oposisi ternyata mampu menumbangkan rezim militer. Patrico Aylwin, tokoh Partai Kristen Demokrat yang didukung koalisi partai-partai lain mengalahkan rezim otoriter Pinochet yang sejak 1973 berkuasa. Ini berarti, proses redemokratisasi yang berasal dari pakta partai-partai oposisi berhasil meretas jalan menuju redemokratisasi. Yang menarik adalah bagaimana perkembangan se lanjutnya dari pakta partai- partai ini. Kelemahan yang terdapat dalam kasus Chile ini adalah rapuhnya koalisi Partai Kristen Demokrat dengan kelompok-kelompok Marxis pendukungnya. Demikan juga, ancaman dari militer sebagai lembaga tampaknya masih tetap kuat. Ini dibuktikan dengan keberhasilan Pinochet tetap sebagai Kepala Staf AB Chile yang memiliki hak-hak istimewa menurut konstitusi baru republik ini.
Singkatnya, kemampuan pakta dan koalisi partai-partai oposisi dalam proses redemokratisasi akan ditentukan oleh tingkat kepaduan dan keutuhannya. Sekali saja koalisi itu runtuh, maka militer akan muncul lagi sebagai kekuatan politik dan sekali lagi proses redemo kratisasi menjadi terhambat.
Strategi ketiga adalah revolusi yang dipimpin oleh sebuah partai reformis. Kemungkinan proses redemokratisasi cukup besar bila revolusi itu berhasil, karena ada basis partai dan ideologi yang menjadi pe- nopangnya. Partai-partai semacam Partai Kristen Demokrat atau Sosial Demokrat umumnya memiliki ideologi prodemokrasi yang kuat sehingga
Negara Birokratik Otoriter dan Redemokratisasi 47
kalau mereka memegang tampuk kepemimpinan, reformasi-reformasi politik, ekonomi, dan sosial akan dilakukan.
Kelemahan strategi ini adalah keterbatasan partai-partai reformis ini dalam menggunakan alat-alat pemaksa. Oleh sebab itu, mereka sering terpaksa melakukan koalisi dengan militer yang akan ditugasi menangani masalah ini. Akibatnya adalah kemungkinan adanya tekanan-tekanan politik pihak militer yang akan berusaha membatasi reformasi yang di anggap merugikan pihaknya. Kelemahan lain adalah terbatasnya dukung- an dari luar. Menurut Stepan, kebanyakan partai-partai reformis ini hanya memiliki sekutu luar yang berada dalam jaringan kapitalis dunia. Oleh karenanya, reformasi mereka pun terbatas lingkupnya dan kemungkinan besar masih ada dalam batas-batas sistem kapitalis tersebut.
Strategi terakhir adalah perang revolusi yang dipimpin oleh organisasi berideologi Marxis. Godaan untuk menggunakan strategi redemokratisasi jenis ini memang kuat, karena bila berhasil ia akan menciptakan perubahan struktur-struktur politik, ekonomi, dan sosial yang amat mendasar. Revolusi-revolusi partai komunis seperti di Rusia, Cina, Kuba, Vietnam, dan Nikaragua, merupakan kasus-kasus di mana perubahan-perubahan fundamental berhasil dilakukan.
Sayang sekali dalam perkembangannya, janji redemokratisasi itu sering tak terpenuhi setelah revolusi. Kecuali untuk beberapa kasus (Nikaragua yang menghasilkan pemilihan umum demokratis setelah Sandinista menang dengan upaya redemokratisasi Gorbachev di Soviet), yang tcrjadi adalah munculnya rezim otoriter atau malah totaliter baru setelah kemenangan partai komunis. Soviet di bawah Stalin, Kuba di bawah Castro, dan Cina di bawah Mao merupakan contoh-contoh yang terkenal. Di sini, partai komunis setelah revolusi melahirkan kelas baru dan struktur politik, ekonomi, dan sosial baru yang sentralistik dan menutup partisipasi bebas dari masyarakat.
Demikian pula, reformasi-reformasi yang dilakukan oleh partai – partai komunis ternyata lebih banyak mempersulit civil society, terutama di lapisan
bawah yang mula-mula menjadi pendukung utamanya. Industrialisasi di bawah Stalin, misalnya telah menciptakan keterasingan kaum petani. Di Cina, Mao juga gagal menciptakan industrialisasi yang menopang kehidupan para petani. Percobaan Deng dengan “Empat
48 Demokrasi dan Civil Society
Modernisasi”-nya masih belum banyak diketahui dampaknya terhadap proses demokratisasi politik. Kasus tragedi Tian Anmen malahan bisa disebut sebagai kemunduran proses redemokratisasi di Cina.
Dari diskusi di atas, penulis menyimpulkan bahwa strategi menuju redemokratisasi pun seyogianya dilihat sebagai model-model deskriptif dan tentatif. Kenyataannya, strategi yang diambil oleh suatu negara biasanya tumpang-tindih. Tak ada satu pun dari strategi di atas yang berlaku umum. Faktor-faktor kondisi spesifik tiap negara, seperti latar belakang sejarah, struktur politik, sumber daya nasional, ideologi, dan juga kaitan dengan sistem dunia, kesemuanya berdampak terhadap pilihan-pilihan strategi menuju redemokratisasi.
Kubu liberal pluralis telah gagal memahami dinamika rezim otoriter, sehingga resep yang diberikan untuk redemokratisasi melalui strategi top-down hanya memperbesar keterasingan mereka yang di bawah. Apa yang disebut pelembagaan politik oleh Huntington, atau pluralistik oleh Apton tampaknya tidak mampu mengubah rezim-rezim otoriter telah bertanggung jawab dalam memperkuat kekuasaan negara sedangkan pluralisasi juga menciptakan dislokasi-di . slokasi sosial dan politik lapisan bawah. Ditambah lagi dengan kecenderungan pembangunan yang biasa terhadap daerah perkotaan, maka alienasi sektor massa dari proses politik juga semakin besar. Tak pelak lagi, rezim otoriter di negara- negara berkembang tampil makin kuat dibanding dengan civil society,
Sebaliknya, paradigma Marxian yang menyarankan redemokrat isasi secara revolusioner gagal mengantisipasi proses politik setelah revolusi terjadi. Di negara-negara komunis, sentralisasi kekuasaan po litik di tangan partai menjadikan partisipasi politik terhambat. Demikian juga sentralisasi pengambilan keputusan telah membuat kemacetan serta terpusatnya kekuasaan pada negara. Ini berarti juga terasingnya masyarakat sipil dari proses-proses politik yang pada gilirannya hanya mengesahkan munculnya rezim otoriter baru.
Menurut hemat penulis, strategi apa pun yang akan ditempuh dalam proses redemokratisasi, maka ia harus menuju kepada dua hal pokok. Karena menurut David Held, 69 proses redemokratisasi adalah suatu
69 D. Held, Models of Democracy. Stanford, CA: Stanford University Press, 1987.
Negara Birokratik Otoriter dan Redemokratisasi 49
proses yang bersisi dua hal. Di satu pihak menghendaki suatu negara yang kuat yang mampu menjadikan kekuatan pelindung, penengah konflik, dan kekuatan redistributif bagi civil society. Di pihak lain, menghendaki derajat kemandirian civil society yang semakin tinggi sehingga ia mampu berpartisipasi sesuai dengan kemampuan dan ke mauan sendiri.
Jadi dua sasaran proses redemokratisasi adalah menyangkut suatu upaya restrukturisasi kekuatan negara dan civil society. Transformasi rezim saja jelas tidak cukup, karena ia hanya mengenai satu sisi proses itu saja. Yang harus dilakukan adalah, pembatasan yang jelas terhadap kekuasaan dan wewenang-wewenang negara, dan memperluas keman dirian civil society dalam proses politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Dalam rangka meningkatkan kemandirian civil society, maka sangat penting adanya “pembatasan kekuatan-kekuatan korporatif dalam mempengaruhi dan menghambat agenda-agenda politik, pembatasan kegiatan-kegiatan kelompok-kelompok kepentingan yang kuat (baik yang menjadi wakil-wakil kelompok industri ataupun orgar isasi organisasi yang memiliki buruh-buruh di industri kunci) untuk mem perjuangkan kepentingan secara tak terkontrol, dan menipiskan privilese- privilese yang dimiliki oleh sementara kelompok sosial (seperti kelompok-kelompok ras tertentu) dengan mengorbankan kelompok lain. 70
Dalam rangka restrukturisasi kekuasaan dan wewenang negara, maka menurut Held diperlukan terbentuknya lembaga-lembaga kenegaraan
yang terpusat yang akan berfungsi bagi penerapan perundang-undangan, menjamin pelaksanaan hak-hak, membuat kebijakan kebijakan, dan membendung konflik-konflik kepentingan yang tak terelakkan akan terjadi. Untuk menjamin terlaksananya hal-hal tersebut, diperlukan adanya lembaga-lembaga elektoral yang sehat, seperti sistem-sistem perwakilan
dan partai-partai politik yang kompetitif, agar wewenang dan koordinasi kegiatan-kegiatan di atas bisa berjalan baik.
Dari pandangan tersebut, nyatalah bahwa proses redemokratisasi bukanlah suatu proses linear seperti yang dibayangkan oleh kubu liberal- pluralis dan Marxis. Ia adalah proses transformatif yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Proses redemokratisasi lebih layak dimengerti
70 Ibid., hal. 286
50 Demokrasi dan Civil Society
sebagai proses yang konjungtural, yang mengandaikan adanya saling pengaruh antarberbagai faktor yang pada gilirannya menciptakan suatu keadaan atau peristiwa yang khas.