Upaya Islam dalam Membangun Civil society
Upaya Islam dalam Membangun Civil society
Salah satu gejala yang paling menarik dalam wacana dan praksis tentang Islam Indonesia di bawah Orde Baru adalah usaha pencarian yang terus menerus dari kalangan intelektual Muslim agar tetap dapat relevan di dalamnya, bahkan kalau mungkin, bisa mewarnainya. Di dalam dunia perpolitikan, para pemimpin, intelektual dan aktivis Muslim telah, sedang dan akan terus berusaha keras untuk mencari jalan agar umat Islam, yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia, tetap dapat bukan saja eksis sebagai sebuah komunitas dan warga negara yang berdaulat, tetapi juga turut serta dalam proses demokratisasi yang menjadi tuntutan seluruh anggota.
Salah satu pendekatan yang ditawarkan oleh para aktivis dan intelektual Muslim adalah apa yang disebut dengan pendekatan transformasi sosial- budaya. Ini adalah pendekatan yang merupakan gabungan dari pendekatan kultural dan struktural, di mana tekanan diberikan kepada perlunya kulturisasi Islam yang dirangkai dengan upaya perubahan-perubahan sosial untuk membebaskan umat dan masyarakat Indonesia umumnya dari kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan. 1 Di lihat dari dimensi
politiknya, maka pendekatan transformatif ini ditandai dengan wawasan politik populis dan memiliki komitmen “terbentuknya masyarakat yang kuat dalam hubungannya dengan negara” 2
1 Abdurrahman Wahid, Universalisme dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam: Kumpulan Karangan, Jakarta: tp, 1991, hal. 40. 2 Bachtiar Effendy, “Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran Praktik Politik Islam di Indonesia,” Prisma, No. 5, Mei 1995, hal. 17.
Upaya Islam dalam Membangun Civil Society 229
Menurut hemat saya, pendekatan transformatif ini memiliki kedekatan dengan trend mutakhir dalam wacana politik yang dikenal sebagai wacana civil society. Wacana yang mulai populer semenjak akhir dasawarsa 80-an itu dianggap sebagai salah satu pintu masuk penting bagi perjuangan membentuk sistem politik demokratis yang menitikberatkan pada masalah peningkatan kemandirian masyarakat perluasan ruang publik bebas (the free public sphere).
Civil society, sebagaimana dikonsepsikan oleh para pelopornya,tiga ciri utama: 1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu- individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara, 2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan 3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervonis. 3
Akhir-akhir ini wacana tentang civil society telah semakin mendapatkan perhatian dari kalangan aktivis dan intelektual Muslim Indonesia. Berbagai publikasi, baik ilmiah maupun populer, mengenai topik ini semakin sering dijumpai dan disambut dengan antusias, juga halnya dengan forum-forum publik yang diselenggarakan untuk membahas permasalahan sekitar civil society di Indonesia, berikut tempat dan sumbangan Islam terhadap perkembangannya. Kendati harus diakui bahwa wacana ini masih dalam babak awal di kalangan Islam, namun tak berlebihan jika dikatakan bahwa kaum intelektual dan aktivis Muslim Indonesia termasuk yang berada di barisan depan dalam menyiasati perkembangannya di negeri ini.
Tulisan ini tidak berpretensi menyajikan suatu kajian tuntas (exhaustive) mengenai perspektif Islam tentang civil society, khususnya di Indonesia. nkuplah bila ia memberikan tilikan-tilikan dalam (insights) mengenai tensi dan aktualisasi Islam dalam upaya penciptaan dan pemberdayaan civil society di Indonesia, baik sekarang maupun di masa depan.
3 Daniel Bell, “American Exceptionalism Revisited, The Role of Civil N..a ty,” The Public Interest, No. 95, 1989. Lihat juga John Keane, “Remembering the Dead: Civil society and the State from Hobbes to Marx and Beyond,” in John Keane (ed.), Democracy and Civil society, London: Verso, Jean Cohen and A. Ando, Civil society and Political Theory, Cambridge: MIT Press, 1992.
230 Demokrasi dan Civil Society
Modernisasi, Politik dan Islam
Telah banyak kajian yang dilakukan mengenai proses modernisani dan berbagai implikasi politiknya terhadap umat Islam di Indonesia. 4 Pada
umumnya para pengamat politik Islam sepakat proses modernisasi yang berlangsung di bawah Orde Baru telah mendorong dilakukannya upaya- upaya reinterpretasi dan penyesuaian-penyesuaian diri dalam batang tubuh ummat Islam sehingga mereka setidaknya tetap dapat eksis dalam gejolak perubahan yang berlangsung atau, kalau mungkin, malahan dapat menyumbangkan alternatif-alternatif di dalamnya. Ini terutama dirasakan di dalam wacana kiprah politik di bawah Orde Baru yang telah semenjak dini mengagendakan dan melancarkan restrukturisasi mendasar yang kemudian dipergunakan untuk menopang proses akselerasi modernisasi dan pembangunan ekonomi.
Restrukturisasi politik yang dilakukan Orde Baru telah menghasilkan sebuah format politik baru yang ciri-ciri umumnya tak jauh berbeda dengan
negara-negara kapitalis pinggiran (peripheral capitalist states) beberapa negara di Amerika Latin dan Asia. Ciri-ciri itu antara lain adalah 1) munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang posisinya kemudian “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya, 2) menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik, 3) semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat --termasuk kaum intelektual--, 4) diterapkannya model politik eksklusioner melalui jaring korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politik, dan 5) penggunaan secara efektif hegemoni ideologi untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada.
Dengan format politik yang dibuatnya, Orde Baru kemudian berhasil melakukan konsolidasi ke dalam yang hasilnya adalah tersingkirnya
4 Karnal Hassan, Muslim Intellectuals Responses to “New Order” Mu dernization in Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980, Allan Sambon, “Conception of Politics, Power and Ideology in Contemporary Indonesian Islam,” in Jackson, Karl D. and L.W. Pye (eds.), Political Power and Communication in Indonesia, Berkeley, CA: University of California, Nurcholislt Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987. M, Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Sebuab Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1994. M. Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987. M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuab Kaftan Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995.
Upaya Islam dalam Membangun Civil Society 231
kekuatan-kekuatan politik oposisional pada ruang politik resmi. Termasuk dalam hal ini adalah keberhasilan Orde Baru “menjinakkan” kiprah politik kelompok Islam yang dinilai akan menghambat proses stabilisasi politik. Domestikasi politik Islam secara sistematis dan risiko yang diantisipasi dapat dilakukan dengan menciptakan serangkaian kebijakan dan tindakan yang konsisten dan konstitusional. Misalnya melalui proses penyederhanaan partai dan kebijakan massa mengambang marginalisasi tokoh-tokoh Islam yang dianggap menganut “garis keras,” represi terhadap gerakan- gerakan sempalan Islam, kooptasi para pemimpin Islam yang dianggap berpengaruh dan populer, kontrol birokrasi terhadap lembaga-lembaga Islam, baik milik negara maupun swasta, dan yang paling akhir adalah dekonfessionalisasi batang tubuh politik melalui pengasas-tunggalan ormas dan orsospol.
Sudah dapat diterka bahwa respon kalangan Islam terhadap kebijakan utk Orde Baru sangat bervariasi, mulai dari yang keras dan non-konformis seperti munculnya gerakan Islam sempalan pada awal dasawarsa 70-an dan pertengahan dekade 80-an, sampai kepada yang lunak akomodatif seperti ditunjukkan oleh organisasi-organisasi Islam semacam Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Perti, dan juga gerakan mahasiswa Muslim seperti HMI dan PMII. Dapat dikatakan bahwa kelompok garis keras gagal dalam kiprah politik mereka dan bahkan harus menghadapi risiko represi fisik maupun politis seperti yang dialami oleh kelompok Komando Jihad, kelompok Amir Biki dan sebagainya.
Dalam hal kelompok akomodasionis, respon yang ada setidaknya bisa dibagi atas tiga macam. Pertama adalah dengan melalui keterlibatan aktif dalam birokrasi negara atau berkiprah di dalam kerangka jaringan korporasi negara. Beberapa pemimpin dan aktivis politik Muslim seperti Sularso, Bintoro Tjokroamidjojo, Barli Halim, Bustanil Arifin, Madjid Ibrahim, Mar’ie Muhamad dan sebagainya adalah di antara mereka yang
dianggap menerapkan pendekatan terlibat dalam mesin birokrasi negara 5 . Pendukung pendekatan ini juga berusaha menciptakan lembaga-lembaga Islam yang terkait dengan birokrasi misalnya MUI, MDI dan GUPPI. Lembaga-lembaga ini dijadikan wahana untuk melakukan perbaikan dan memperjuangkan kepentingan politiknya.
5 Efendi, op. cit., hal. 16.
232 Demokrasi dan Civil Society
Bagi pendukung pendekatan ini, maka jalan reformasi umat dari atas (the reform from above) dianggap lebih sesuai dengan kondisi politik yang ada. Mereka beranggapan bahwa dengan menggunakan jalur birokrasi itu
mereka bisa melakukan perbaikan dari dalam dan mereka berfungsi sebagai perantara bagi kepentingan politik umat vis-a-vis negara. Asumsi dasar yang dipakai adalah, “hanya dengan cara bergabung dengan institusi politik dan birokrasi yang ada, mereka dapat terlibat dalam proses pembuatan kebijakan” dan dapat menepis kecurigaan “pembangkangan Islam tehadap birokrasi 6 .
Pendekatan ini tentu saja bukan tanpa risiko, terutama bila dikaitkan dengan ide pemberdayaan dan kemandirian dan masyarakat umum. Secara teoretis, pendekatan birokratis ini hanya menyumbang sedikit saja bagi pemandirian dan pemberdayaan umat, karena orientasi birokratik teknokratik yang top-down sangat tidak peka terhadap aspirasi dari bawah. Jadi, kendati kelembagaan yang mereka gunakan memiliki sumber daya yang lebih besar, namun efektivitas kiprah mereka akan terbatas, karena kontrol yang sangat besar dari negara. Setidaknya kecenderungan untuk memandang kepentingan negara harus didahulukan dari kepentingan umat akan sangat besar.
Pendekatan kedua mencoba melakukan respon dari sisi lain, pemberdayaan umat dari luar wilayah negara namun sambil mengupayakan terciptanya hubungan dengan negara atau, setidaknya, faksi-faksi elite negara yang memiliki kepentingan yang sama. Pendukung pendekatan ini adalah para aktivis dan intelektual yang kebanyakan masih atau pernah aktif dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) oleh karenanya memiliki komitmen yang tinggi pada pemberdayaan dan kritis terhadap birokrasi. Mereka juga lebih memiliki jaringan ke bawah ketimbang kaum birokrat, sementara akses mereka pada negara pun bisa diupayakan bahkan diperbesar. Dalam hal strategi pemberdayaan, pendekatan kedua ini menggunakan pendekatan top-down dan sekaligus bottom-up dengan tujuan jangka panjang agar umat Islam bangkit kembali sebagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang pada gilirannya mampu mempengaruhi pengambilan keputusan pada tingkat negara.
Dalam kenyataannya, pendekatan kedua ini lebih populer karena memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi umat ketimbang yang pertama.
6 Ibid.
Upaya Islam dalam Membangun Civil Society 233
Tak heran jika ia mendapat sokongan dari kelas menengah Muslim, terutama kaum profesional dan cendekiawan yang berbasis urban dai berlatar pendidikan cukup tinggi. Mereka ini adalah produk modernitas, dan karenanya akrab dengan wacana modern, baik dalam dataran maupun implementasi pragmatisnya. Keterlibatan langsung dalam proses modernisasi membuat mereka tidak asing lagi dengan idiom-idiom baru serta memahami berbagai perubahan yang terjadi pada level nasional regional, dan global. Pada pendekatan ini, yang menjadi basis normatif adalah bagaimana mengislamkan modernitas dan proses modernisasi di Indonesia, termasuk ruang-ruang sosial, kultural, ekonomi, dan politik yang dihasilkannya. Proses pengislaman ini penting sebagai “cara untuk membangun kembali sebuah identitas dalam sebuah dunia yang
kehilangan makna dan jadi tak berbentuk (amorphous) serta mengasingkan 7 . Modernitas dan modernisasi, yang dilancarkan mengikuti paradigma di luar Islam, dikhawatirkan akan membawa akibat kehilangan otentisitas jati dirinya dan karena rentan terhadap ideologi sekular 8 . Modernisasi yang berlangsung masih merupakan arena peperangan peradaban (al-ghazw al- thaqafy) dan peperangan pikiran ( al-ghazw al-fikr) antara Barat dan Islam, yang sekular dan yang religius.
Pendukung Islamisasi atas modernitas ini memandang proses modernisasi sebagai sesuatu realitas yang tak terelakkan —bukankah mereka adalah sebagian produknya?-- namun berusaha agar ia mengikuti norma-norma Islam yang paripurna dan universal. Karena itu, salah satu pitlyek yang ingin direalisasikan adalah bagaimana agar seluruh kiprah is foal, kultural, ekonomi dan politik memiliki warna Islam. Penciptaan sistem pengetahuan Islam, masyarakat Islam, ekonomi Islam, dan merupakan
manifestasi proyek Islamisasi tersebut. 9 Pendekatan semacam ini mengundang permasalahan serius
terutama apabila diletakkan dalam konteks masyarakat plural seperti
7 Gilles Kapel, The Revenge of God: The Resurgence of Islam, Christianity Judaism in the Modern World, Pennsylvania: Penn State Press, 1994. Bruce lawrence, The Defenders of God: The Fundamentalist Revolt Against the Modern to. San Francisco: Harper and Collins, 1989. H
8 Olivier Roy, The Failure of Political Islam, Cambridge, Mass: Harvard itiversity Press, 1994, hal. 22. 9 Bassam Tibi, “Culture and Knowledge: The Politics of Knowledge as a ovilmodern Project? The Fundamentalist Claim to De-Westernization. “Theory, culture and Society, 12, 1995. Lihat juga Ray, The Failure, op. cit.
234 Demokrasi dan Civil Society
Indonesia. Kecenderungan partikularistik yang inheren di dalamnya akan mempengaruhi pola hubungan umat dengan mereka yang ada di luarnya. Seperti dikatakan oleh Abdurrahman Wahid, kehendak untuk melakukan
pengislaman, terutama melalui negara dan perangkat legal-formal, akan memicu kecenderungan sektarian di dalam umat Islam secara real-politis, menghambat proses integrasi umat Islam dalam kebangsaan Indonesia 10 . Selain itu, dalam konteks politik Orde Baru, kekhawatiran akan timbulnya Islamisasi politik bisa menjurus pada panjangan dari apa yang disebut Mochtar Pabottingi sebagai situasi darurat sehingga memberi legitimasi bagi dipertahankannya status quo. 11
Dalam pada itu, pendekatan ketiga mencoba memilih model traits formatif dengan tekanan pemberdayaan masyarakat dari luar nem dengan
memprioritaskan lapisan bawah. Dalam konteks politik, transformasi tersebut ditujukan bagi seluruh warga negara di mana ulna, Islam menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan. Pendekatan in berupaya untuk mengambil jarak dari negara kendatipun tidak ber.trn menolak keberadaan atau legitimasinya. Yang diinginkan adalah bagaimana kekuatan negara yang sangat besar itu bisa secara gradual diimbangi oleh kekuatan masyarakat yang semakin mandiri dan mampu melakukan pengaturan terhadap kepentingannya.
Pendekatan ini melihat kondisi politik Islam dalam perspektif yang berbeda dengan kedua pendekatan sebelumnya. Kepentingan umat Islam tidak bisa dilihat secara terpisah dari kepentingan bangsa sera keseluruhan dan karenanya melakukan pendekatan parsial seperti pare birokrat dan teknokrat tidak akan menyelesaikan masalah. Dalam pada
itu, menurut Wahid, Islam haruslah dilihat sebagai faktor komplemenier dalam masyarakat plural seperti Indonesia ini. Dengan demikian, uunui Islam seyogyanya tidak memandang dirinya sebagai faktor kompetil yang hanya akan berfungsi disintegratif bagi kehidupan bangsa Indonesia
secara keseluruhan. 12 Ini merupakan ajakan bagi umat untuk berintegnial
10 Douglas Ramage, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the ideology of Tolerance. London: Routledge, 1995, hal. 45-74. 11 Mochtar Pabottingi, “Dilema Legitimasi Orde Baru: Bayangan Politik dan Arah Pemecahannya,” dalam Syamsudin Haris dan Riza I (eds.), Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, Jakarta: Gramdeia, 1995
12 Abdurrahman Wahid, “The Islamic Masses in the Life of State and Nation,” Prisma, No. 35, March, 198
Upaya Islam dalam Membangun Civil Society 235
dengan bangsa, karena Islam di Indonesia memang harus menerima realitas modern yang bernama negara-bangsa (nation-state) 13 . Almarlit int KH. Ahmad Shiddiq, salah seorang tokoh di belakang penerimaan azua tunggal Pancasila oleh NU, misalnya, menegaskan bahwa umat Islam harus menerima Republik yang ada sebagai bentuk final perjuangan umat
untuk mendirikan negara di kepulauan Indonesia ini. 14 Oleh karena itu, pendekatan ketiga ini menolak ide dan proyek
Islamisasi masyarakat dan politik, tetapi bagaimana menciptakanakin Indonesia di mana umat Islam kuat, dalam pengertian “berfungsi dengan
sebaik-baiknya.” 15 Perjuangan politik umat justeru mencari platform yang sama dan titik-titik temu (kalimatun sawa’) dengan kelompok lain dalam masyarakat untuk memperjuangkan sebuah tatanan politik yang modern, demokratis, dan adil. Islam sebagai sistem ajaran harusnya memberi sumbangan berupa etika sosial bagi masyarakat Indonesia modern di samping sumbangan dari sumber lain.
Salah satu hal yang sangat mendesak bagi pendekatan transformatif ini adalah memperkokoh landasan-landasan teoretis yang akan dipergunakan dalam kiprah pemberdayaan. Pada tataran teologis, para pemikir intelektual
kelompok ini telah mengintrodusir teologi transformatif sebagaimana dilakukan oleh Moeslim Abdurrachman, Djohan Efendi, Masdar F. Mas’udi, Abdurrahman Wahid dan sebagainya. Mereka menginginkan perubahan pada level struktural dan kultural sebagai strategi yang paling tepat dalam pemberdayaan ini. Dan di sinilah saya kira wacana civil society terasa sangat relevan untuk dimasukkan ke dalamnya aktivis dan cendekiawan yang memilih pendekatan transformatif diharapkan akan bisa menyumbangkan gagasan dan program-programnya pembentukan civil society di Indonesia yang kuat, mandiri dan menjadi landasan sebuah sistem politik demokratis.
13 James Piscatori, Islam in the World of Nation-States, New York Cambridge University Press, 1986. Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, Austin: University of Texas Press, 1982.
14 Ahmad Shiddiq, Islam, Pancasila dan Ukhuwwah Islamiyah, Jakarta LTN-NU, 1985, hal. 25; Andre Feillard, Traditionalist Islam and the State ln Indonesia: Flexibility, Legitimacy, and Renewal, Honolulu: East-West Center, 1993, hal. 21
15 Ramage, op. cit., hal. 64
236 Demokrasi dan Civil Society