Sikap Kritis Kaum Cendekiawan

Sikap Kritis Kaum Cendekiawan

Apabila disepakati bahwa wilayah aktualisasi kelompok cenclekiawan terutama ada pada bidang pemikiran, maka sudah sewajarnya apabila dalam tema penguatan civil society ini, bidang garapan yang relevan adalah pemikiran mengenai situasi civil society Indonesia saat ini dan kemungkinan penguatannya sebagai salah satu prasyarat utama untuk sebuah masyarakat politik yang demokratis. Hal ini mengharuskan cendekiawan memperlihatkan secara kritis dinamika sosial dan politik nasional, yang selama lebih dari dua dasawarsa ini menyaksikan bertumbuhnya negara sebagai entitas yang semakin hari semakin dominan dan lingkup pengaruhnya telah “mengatasi” masyarakat. Seperti telah dikemukakan di depan, di negara-negara kapitalis pinggiran seperti negara bukan saja secara sistematis telah melakukan penetrasi- penetrasi ke dalam masyarakat (lewat regulasi, institusionalisasi dan politik, korporatisasi negara, dan depolitisasi massa), tetapi lewat hegemoni ideologis.

Dalam rangka mensukseskan proyek hegemoninya, negara telah melakukan serangkaian kebijakan dan program yang pada ujungnya ditujukan untuk memperkecil polarisasi-polarisasi ideologis dan kultural yang bisa mengancam keutuhan negara-bangsa. Kebijakan pengasas- tunggalan ideologi organisasi politik dan ormas, program P4, pendidikan moral Pancasila dan seterusnya, merupakan pengejawantahan dari keinginan meredam konflik-konflik yang bersumber pada ikatan-ikatan primordial. Meskipun demikian, keberhasilan negara dengan proyek ideologisnya ini masih perlu ditunggu, karena dalam kenyataan masih

Cendekiawan dan Pemberdayaan Civil Society 223

terdapat jarak antara penerimaan formal dengan praktik-praktik yang dilakukan di lapangan. Berbagai konflik sosial dan politik yang memiliki bobot SARA membuktikan bahwa masih terdapatnya keberatan-keberatan dan perlawanan-perlawanan, baik secara terbuka maupun tidak terhadap kebijakan-kebijakan ideologis yang dilakukan oleh negara.

Di sisi lain, perlawanan-perlawanan yang berorientasi primordial tersebut juga menunjukkan adanya krisis-krisis baik sistematik maupun lifeworld akibat semakin meluasnya proses diferensiasi sosial dan kultural sebagai buah dari modernisasi yang terjadi dalam dua dasawarsa terakhir. Tergusurnya kepastian-kepastian dan konvensi-konvensi tradisional pula menghilangnya kelekatan sosial tradisional dan sebagainya mengakibatkan perlunya suatu konsensus nilai yang baru. Sayang sekali, tawaran-tawaran yang tersedia, baik berupa keterlibatan dalam sistem produksi modern di satu pihak dan di pihak lain reinterpretasi nilai-nilai tradisional maupun yang datang dari luar, umumnya tampil secara distorsif atau bersifat dangkal. Akibatnya, terjadilah kecenderungan-kecenderungan eksterm dalam menghadapi semua yang baru, atau terjadi imitasi dangkal terhadap nilai-nilai dan ekspresi-ekspresi budaya asing.

Dalam kondisi masyarakat seperti ini, dialog-dialog untuk mencari titik temu dan konsensus-konsensus baru dalam mengatasi problem sistemik dan lifeworld sebenarnya amat diperlukan. Demikian pula pranata-pranata sosial dan politik dituntut semakin efektif dalam menyalurkan aspirasi- aspirasi yang semakin heterogen itu. Tetapi tampaknya kepentingan jangka pendek dalam rangka percepatan akumulasi kapital serta keinginan untuk menghindari konflik dan pertikaian dalam rangka menjaga stabilitas politik dan integrasi nasional telah mengganjal upa upaya tersebut. Yang kemudian terjadi adalah semakin menyempi wilayah publik karena imperatif-imperatif keamanan dan stabilitas politik itu.

Dari peta umum di atas, dapatlah secara saksama dicari tempat kerja- kerja yang relevan bagi kelompok cendekiawan yang memilih keprihatinan terhadap perluasan wilayah publik yang mendesak itu. Bidang-bidang kerja tersebut, baik yang berada pada tataran pemikiran maupun praksis bisa dirumuskan secara lebih gamblang dan berpijak pada kebutuhan yang ada.

Dalam rangka mencari relevansi inilah penulis ingin mengajukan pengalaman-pengalaman dari para cendekiawan dalam gerakan

224 Demokrasi dan Civil Society

prodemokrasi di Eropa Timur, yang memiliki permasalahan lemahnya civil society dan menyempitnya wilayah publik, sebagai model wacana cendekiawan Indonesia. Di Eropa Timur, cendekiawan-cendekiawan seperti Havel (Ceko), Michnik (Polandia) dan kawan-kawannya mengembangkan wacana civil society dan mengembalikan wilayah publik yang bebas sebagai strategi utama perjuangan menuju demokrasi di bawah rezim totaliter.

Dengan menggunakan pijakan filosofis yang berasal dari tradisi Pencerahan (Enlightenment), para cendekiawan tersebut mencoba mengupayakan terciptanya sebuah masyarakat terbuka (open society) sebagai antitesis masyarakat tertutup (closed society) yang dilahirkan oleh rezim totaliter. Yang relevan untuk dicatat di sini adalah bahwa civil society yang ingin dibangun oleh para cendekiawan Eropa Timur bukanlah civil society dalam pengertian liberal, di mana salah satu cirinya adalah dominasi ekonomi pasar dan kecenderungan partisipasi politik yan semakin

formalistik dari masyarakat. 24 Civil society yang dimaksudkan dan diperjuangkan adalah yang mampu

mendorong sikap kritis-refletif dan menolak dominasi ekonomi pasar (kapitalistik), serta yang memperkuat partisipasi aktif masyarakat lewat pranata-pranata politik yang dibuat. Civil society yang reflektif ini juga akan menjadi sumber bagi pengembangan budaya politik-demokratis, karena ia menyiratkan keberadaan wilayah publik yang bebas. Kritik terhadap sistem kapitalisme dan demokrasi liberal adalah hilangnya wilayah publik secara penuh seperti yang dicita-citakan. Masyarakat kapitalis liberal, dalam pandangan ini, telah berkembang secara distortif malah mewujudkan masyarakat massa yang cenderung bersikap bodoh, dan ini terutama pada mereka yang berada di tingkat bawah. Dalam hal ini, peringatan Tocqueville amat relevan, yaitu bahwa demokrasi yang tidak dilandasi partisipasi aktif dari masyarakat di dalam pranata-pranata politik dan sosial yang egaliter akan menghapus ciri-ciri demokratis dalam budaya politik dan pranata- pranata sosia1. 25

Berdasarkan kritik terhadap sistem dan budaya totaliter itulah kemudian muncul praksis para cendekiawan di Ceko, Hungaria, dan Polandia dalam

24 Di sinilah apa yang disebut sebagai perjuangan “anti politik” mengac Ia melawan politik dalam artian formal seperti dalam masyarakat kapitalis. Lih G. Konrad, antipolitics. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, 1984.

25 A. Arato, dan J. Cohen. Civil society, op. cit., hal. 19.

Cendekiawan dan Pemberdayaan Civil Society 225

bentuk gerakan-gerakan prodemokrasi. Demikianlah maka munculnya Piagam 77 (charter 77); Civic Forum; Solidaritas dan seterusnya, tak lepas dari wacana cendekiawan yang mencoba membentuk model masyarakat politik baru berdasarkan civil society yang mandiri. Aksi-aksi seperti parallel politics di Polandia, anti-political politics di Cekoslowakia, dan seterusnya tak lain diciptakan sebagai counter discourse bagi sistem politik totaliter.

Pertanyaan yang segera muncul adalah apakah pengalaman di Erops Timur bisa dipakai sebagai model paradigmatik wacana dan praksis cendekiawan di Indonesia? Jawabannya tentu tidak bisa hitam-putih, ya atau tidak. Ada beberapa nuansa yang berlainan antara situasi Eropa Timur dan situasi Indonesia. Pertama, harus diingat konjungtur sejarah (historical conjuncture) dan kondisi politik dan ekonomi yang berbeda antara kedua wilayah itu. Kedua, secara sosiologis-politis, tingkat kerekatan cendekiawan dengan massa di Eropa Timur dan Indonesia amat berbeda. Pada yang pertarna, cendekiawan yang terlibat menggerakan prodemokrasi umumnya muncul dari latar belakang ul yang tidak jauh berbeda dengan kelas bawah. Oleh karenanya bentukan historical bloc antara kelompok cendekiawan kelas menengah dan bawah tampak lebih mudah dilakukan. Pada yang kedua, cendekiawan yang terlibat dalam gerakan prodemokrasi tampaknya terbatas pada mereka yang berlatar kelas sosial menengah ke atas. faktor-faktor ekstrinsik amat mempengaruhi pula bagi keberhasilan gerakan prodemokrasi di Eropa Timur. Krisis-krisis internal rezim komunis dan dukungan kuat negara-negara kapitalis Barat bagi gerakan demokrasi memungkinkan cendekiawan mendapatkan momentum bagi gagasan-gagasan dan perjuangan di bawah rezim komunis yang represif.

Kendati demikian, cendekiawan di Indonesia tetap bisa memakai pengalaman-pengalaman tersebut sebagai model, setidaknya pada tingkat pemikiran, kalau toh tidak pada tingkatan praksis. Upaya penguatan civil society yang diperjuangkan di Indonesia, menurut hemat penulis memiliki beberapa kemiripan dengan permasalahan yang ada di Eropa Timur. Salah satu yang pokok adalah bahwa keduanya berhadap dengan persoalan dominasi negara dalam wacana dan praksis politik, ekonomi dan sosial budaya. Meskipun ciri dan sifat negara di dua wilayah ini jelas berbeda, antara cenderung membatasi otoriter birokratik namun keduanya cenderung membatasi gerak pertumbuhan masyarakat, civil society, dan wilayah publik yang bebas.

226 Demokrasi dan Civil Society

Kemudian, strategi demokratisasi lewat penguatan civil society merupakan strategi kultural dan mengambil pendekatan bertahap sesuai

dengan tingkat perkembangan masyarakat. Jadi, secara normatif strategi penguatan civil society amat bertentangan dengan pendekatan radikal- revolusioner, karena pada yang belakangan ini terdapat kontradik8 kontradiksi internal yang justru menghambat pertumbuhan civil society.

Selanjutnya, cendekiawan di Indonesia bisa memakai model pengalaman di Eropa Timur dalam hal pencarian alternatif mengenai model demokrasi yang diinginkan. Refleksi kritis terhadap dam negatif sistem kapitalis dalam penguatan civil society dan wilayah publik yang bebas memungkinkan pencarian alternatif sistem yang mam secara terus- menerus memberikan kesempatan bagi partisipasi politik dari masyarakat yang bukan hanya bersifat formal. Dalam konteks Indonesia, maka demokrasi Pancasila sebagai alternatif sistem politik teokratis, liberal, maupun sosialistis-komunistis sangat relevan untuk diangkat sebagai tema wacana politik. Dalam hal ini, bagaimana konsep demokrasi Pancasila itu dikembangkan, baik pada tingkat norma maupun praksis sehingga ia memiliki pemihakan yang besar bagi pertumbuhan dari penguatan civil society vis-a-vis negara. Sampai saat pelaksanaan demokrasi Pancasila jelas masih dalam kerangka pemahaman teroretis negara integralistik yang mengandaikan kecilnya tingkat kemandirian civil society.

Akhirnya, keberhasilan gerakan prodemokrasi di Eropa Timur, ikut ditentukan pula oleh kemampuan kaum cendekiawan untuk mengembangkan

wawasan inklusif dan melakukan kerja secara bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap civil society yang mandiri dan wilayah publik yang bebas. Di sini termasuk lembaga-lembaga keagamaan, pers, seni, buruh, petani dan seterusnya yang punya andil besar dalam menopang aktivitas kelompok cendekiawan. Di masa lalu cendekiawan Indonesia pun mampu melakukan hal yang sama, yaitu menciptakan semacam historical block bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan demokratis di dalam masyarakat. Sayang sekali, saat ini terjadi kemunduran karena kecenderungan eksklusifisme telah dan sedang terjadi yang pada gilirannya menghambat visi dan aktivitas cendekiawan, baik dalam wacana maupun praksis lintas kultural dan sektoral. Masih adanya kecurigaan kelompok cendekiawan yang satu terhadap yang lain menunjukkan bahwa dialog antarkelompok cendekiawan dalam upaya

Cendekiawan dan Pemberdayaan Civil Society 227

konsolidasi bagi kebersamaan mereka masih perlu ditingkatkan. Demikian pula kecenderungan elitisme kelompok cendekiawan perlu dikendalikan, kalau tidak mungkin dihilangkan, agar tidak menghambat upaya kerja sama dengan kelompok lain dalam masyarakat.

Bab 10