Demokratisasi Melalui Pemberdayaan Civil Society Sebuah Tatapan Reflektif Atas Indonesia*

Demokratisasi Melalui Pemberdayaan Civil Society Sebuah Tatapan Reflektif Atas Indonesia*

Pada akhir dasawarsa delapan puluhan, dunia menyaksikan se rentetan peristiwa politik, yang oleh para pengamat dianggap sebagai awal dari sebuah proses demokratisasi yang akan terjadi dalam skala global. Runtuhnya tembok Berlin, keberhasilan gerakan Solidaritas di Polandia, yang kemudian disusul dengan maraknya gerakan pro demokrasi di Hongaria, Cekoslowakia, dan tumbangnya rezim sosialis komunis di Yugoslavia, telah menawarkan janji-janji akan meluasnya proses demokratisasi di belahan bumi yang lain. Bahkan, untuk orang -orang semacam Francis Fukuyama, proses itu merupakan pemenuhan pesan “profetis Hegelian”, the end of history, yang berwujud keme nangan kapitalisme dan demokrasi liberal di seluruh muka bumi. 1

Suasana euphoria yang melanda masyarakat Barat itu, sayang sekali tak berlangsung lama. Pelan tapi pasti, ia menyurut dan berganti dengan kenyataan-kenyataan keras yang mesti dihadapi. Proses demokratisasi yang semula diharapkan berlangsung lancar, ternyata harus berhadapan dengan

* Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan kritik dan komentar konstruktif atas tulisan ini, terutama kepada Marsillam Simanjuntak, A. Rachman Tolleng, Abdurrahman Wahid, Rocky Gerung, dan Bondan Gunawan, yang, tentu saja tak bertanggung jawab atas segala kekeliruan formulasi maupun interpretasi yang penulis lakukan. Tulisan ini pernah dimuat di Prisma No. 6, 1993.

1 Lihat F. Fukuyama, “The End of History”, dan kritik terhadapnya, misalnya A. Ryan, “Professor Hegel Goes to Washington.” The New York Review of Books. March 26, 1992. hal. 7-13

Demokratisasi Melalui Pemberdayaan Civil Society 81

berbagai kendala internal dalam masyarakat di Eropa Timur, yang oleh Havel disebut “pascatotaliter.” Bermunculannya aksi-aksi protes bercorak rasial

di Jerman dan Perancis, gejolak konflik etnis dan agama di Cekoslowakia, bekas Yugoslavia, dan bekas Uni Soviet . , pemunculan kembali aspirasi-

aspirasi kaum komunis di Polandia dan Rusia, dan lain sebagainya, mau tak mau mengharuskan orang untuk paling tidak meninjau kembali tesis-tesis, prediksi-prediksi dan harapan -harapan muluk yang pernah ditawarkan dan mencoba dengan lebih mendalam mencari alternatif jawaban yang lebih

memadai. 2 Di belahan Amerika Latin, Afrika dan Asia, proses (re)demokratisasi

yang telah diperjuangkan semenjak pasca-Perang Dunia II pun mengalami berbagai kendala, baik internal maupun eksternal. Harapan bagi tumbangnya rezim-rezim otoriter dan semi totaliter di kawasan-kawasan tadi pernah begitu besar, misalnya pada dasawarsa 80-an ketika militer menunjukkan tanda-tanda untuk “kembali ke barak.” Sampai saat ini pun, harapan itu belum pupus meskipun tak lagi sebesar semula. Apa yang terjadi di Indonesia, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Vietnam, dan Kamboja, untuk menyebut beberapa negara di Asia, menunjukkan bahwa proses demokratisasi tetap berlangsung meskipun dengan tingkat akselerasi, intensitas dan kualitas yang berbeda-beda. Demikian juga yang terjadi di Amerika Latin semisal Brazil, Chile, Argentina, Venezuela, Nikaragua dan Meksiko. Gerak proses (re)demokratisasi tampaknya masih cukup kuat, kendati tentu saja dengan tingkat akselerasi yang bervariasi. Di Afrika dan Timur Tengah, negara-negara seperti Mesir, Maroko, Nigeria, Sudan, Iran, Arab Saudi, Oman, terus-menerus me lakukan proses perbaikan tata politik yang tampaknya menjanjikan demokratisasi.

Sayang sekali bahwa bersamaan dengan itu, masih banyak pula negara- negara di kawasan tersebut yang masih atau malah kembali dalam pusaran otoritarianisme dan kediktatoran. Kasus-kasus Aljazair, Irak, Libia, Somalia,

2 Termasuk di sini adalah peninjauan kembali tentang ketakpercayaan bahwa sosialisme masih mampu untuk menawarkan pemikiran-pemikiran alter natif. Demikian pula kemampuan ide-ide dan gerakan-gerakan sosial yang berasal dari tradisi, agama, dan sebagainya. Tentang peninjauan kembali alternatif demokratisasi dari sosialisme, lihat J. Keane, Democracy and Civil Society, London: Verso, 1988. Tentang alternatif yang ditawarkan oleh agama, lihat M. Juergensmeyer, The New Cold War?: Religious Nationalism Confronts the Secular State. California: University of California Press, 1993.

82 Demokrasi dan Civil Society

El-Salvador, Guatemala, Paraguay, Myanmar, Korea Utara, dan sebagainya merupakan sebagian kecil negara-negara yang bisa kita masukkan dalam kategori terakhir ini. Sama halnya dengan yang terjadi di Eropa Timur, kendala-kendala eksternal dan internal sama kuatnya menghalangi proses- proses politik yang mengarah pada demokratisasi. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa dunia masih jauh dart prediksi sejarah linier-utopis ala Fukuyama, dan oleh karenanya, harapan “messianistik” tentang the end of history tampaknya tak akan segera terlaksana.